Sedikit Cerita dari Karantina di Jakarta



Dari lantai 26 sebuah hotel di Jakarta Pusat beragam suara terdengar hampir setiap saat. Paling sering adalah sirene voorijder yang membelah jalan untuk presiden, menteri, pejabat, atau entah siapa lagi. Lalu juga suara ambulans dan klakson-klakson mobil. Di tengah malam, ada suara-suara motor dengan knalpot sember saling kebut-kebutan. Menjelang subuh, suara adzan. Tak pernah sepi.
 


Karantina wajib kedatangan luar negeri pada akhir Juni lamanya adalah 5 hari. Kini sudah diganti jadi 8 hari. Dari kamar kami, memandang Bundaran HI, tak pernah Jakarta terasa begitu jauh dan asing. Sejak kedatangan kami di Indonesia pada tanggal 22 Juni hingga akhir karantina di tanggal 27 Juni, angka kasus covid meningkat drastis. Berada dalam kamar hotel membuat kami seakan aman dan steril, namun berita-berita dari grup whatsapp tetap membuat tegang. Ini serius. Indonesia darurat. 


Karantina keluarga kecil kami diwarnai ketegangan sendiri. Dari hasil PCR pertama di hotel, Lila dinyatakan positif. Anehnya, hanya Lila. 


Kabar itu disampaikan pihak hotel lewat telepon ke kamar kami. Mereka bilang CT Lila 23. "What the hell is CT?" pikirku waktu itu. Jujur, itu kali pertama aku mendengar kata itu dan kemudian segera melakukan pencarian google. Sementara di hadapanku, Lila sedang loncat-loncat di kasur. Tidak ada demam atau satu batuk pun. Makannya lancar, tidak lemas, tidak sesak, bawel luar biasa, tidak ada apa-apa! Padahal anak ini punya asma. Maka kami meminta test ulang oleh lab lain dengan biaya sendiri. Pihak hotel dan satgas Covid bersikeras itu tidak diperbolehkan. "Sudah peraturannya tidak boleh test ulang," kata mereka bolak-balik. Kami bersikeras, mereka bersikeras. Omong kosong macam apa itu? Pilihan kami terbatas: pindah ke Hariston Hotel di Jakarta Utara (Rp 1,4 juta per hari per orang, minimal 14 hari - PCR ulang di hari ke 9 dan 13) atau Wisma Atlet (ketika itu wisma atlet sudah hampir penuh). Tidak ada pilihan isolasi mandiri meskipun kami warga negara Indonesia. Kami segera angkat telepon. Kami minta bantuan pada siapapun yang kami pikir bisa membantu. Betapa kami bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang baik yang tak meninggalkan kami dalam kebingungan dan kesendirian. Kami mengatur strategi, mulai dari mendatangkan lab ke hotel (mereka tidak memperbolehkan petugas lab itu untuk masuk ke kamar kami), hingga menghubungi keluarga dan teman-teman dokter dan non-dokter yang memberi informasi dan support mereka untuk test ulang dan apa yang harus kami lakukan bila Lila harus ke rumah sakit atau ke Wisma Atlet. Kami tidak mau membawa Lila ke Hotel Hariston.


"Saya minta copy dari semua peraturan itu. Tentang tidak boleh test ulang, tentang kebijakan untuk isolasi di Hotel Hariston dan tidak boleh hotel lain," pinta saya pada pihak hotel. Saya juga minta pertanyaan tertulis dari satgas Covid di hotel bahwa Lila memang positif. Saya juga minta nama lengkap dan tanda tangannya. Permintaan ini tak pernah digubris. Komunikasi selanjutnya dari hotel adalah sebuah telepon yang mengatakan: "Bapak, Ibu dan Lila boleh stay di hotel kami sampai PCR kedua di hari ke 4 karantina." Di dasar hati kami tahu ada yang janggal tentang semua ini. Tapi kami tak punya bukti. Hanya gut feeling. 


Setelah segala kehebohan hari itu mereda, aku dan Aris berdiskusi. Kami mencoba mengingat kembali pengambilan sample test PCR di hari pertama. Awalnya hotel bilang test pertama tidak akan dilakukan di kamar. Kami harus keluar kamar dan ke ruangan khusus. Tapi di hari pertama karantina tiba-tiba pihak lab yang datang ke kamar. Prosesnya juga sangat cepat. Mungkin tak lebih dari 5 menit dari mereka datang, sample dari kami bertiga diambil, dan kemudian mereka keluar. Tak pernah nama kami dicocokkan  dengan nama di tabung sample. Masuk kamar, colok, lalu mereka keluar. Maka kami pun bertekad merekam semua proses pengambilan sample untuk PCR kedua. Tak mau lagi kami kecolongan. 


Di hari ke 4 kami semua test PCR kedua. Kami pastikan semua proses terekam. Hasilnya keluar keesokan harinya, jam 4 pagi. Kami semua negatif. Tak pernah saya merasa selega itu! Lega karena Lila dan kami semua sehat dan juga lega karena kami bisa melanjutkan perjalanan. Besok paginya kami "bebas" tapi Jakarta tak lagi terasa bersahabat. Maka kami memutuskan untuk langsung berangkat ke Bali. Kami bahkan tak sempat dan tak bisa bertemu keluarga terdekat. 


Satu bulan kami habiskan di Bali. Selama itu pula mulai bermunculan berita tentang kejadian yang seperti kami alami ketika karantina. Makin lama makin banyak beritanya. Makin banyak orang yang berani maju dan bercerita. Kami bahkan bertemu langsung dengan seorang warganegara Belanda di Bali yang mengalami kejadian serupa. Di satu sisi ada rasa lega karena ternyata kecurigaan kami betul adanya. Tapi di sisi lain juga ada rasa kecewa yang teramat sangat pada bagaimana sistem yang dibuat untuk kepentingan bersama malah dicari celah lemahnya, pada mereka yang menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka, merekayasa fakta untuk merugikan orang lain, pada mereka yang tega mengambil untung dari kesulitan orang lain. 


Mundur maju saya menuliskan pengalaman ini. Saya tak merasa pantas berkeluhkesah ketika saudara-saudara se-Tanah Air sedang kesulitan, berduka, dan setengah mati bertahan hidup. Tapi mungkin jika saya bicara, ada yang bisa belajar dari pengalaman ini. Maka, tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang sedang  berduka dan kesusahan karena covid, izinkan saya membagi cerita ini. 


Semoga hari-hari yang lebih baik akan segera datang untuk Indonesia dan kita semua. Doa saya selalu untuk Indonesia yang tak sempurna, namun sangat saya cinta. 

Comments

Post a Comment

Popular Posts