Saudari, Ayo Berdiri!

Usia saya waktu itu kira-kira delapan tahun. Saya pulang les balet bersama mbok asisten rumah tangga naik angkot. Lalu seorang laki-laki, mungkin usianya pertengahan 20-an, masuk ke dalam angkot yang saya tumpangi. Ia menundukkan badannya untuk masuk lalu ia meletakkan jari telunjuknya di lutut kanan saya sebelum ia kemudian duduk di seberang saya.

Mungkin ini hanya gerakan refleks supaya ia tidak jatuh. Mungkin tidak ada maksud apa-apa di balik gerakan itu. Tetapi anehnya saya masih ingat momen itu hingga detik ini, hampir 30 tahun kemudian. Saya masih ingat perasaan saya saat itu: marah, kesal, violated, bingung. Saya tidak suka ia menyentuh saya, meski hanya dengan satu jari.

Tumbuh besar di Indonesia, sejak kecil saya sudah sering mengalami cat calls oleh laki-laki yang tidak saya kenal, baik yang seumuran atau lebih tua. Itu makanan perempuan sehari-hari. Hanya jalan kaki tapi bisa tiba-tiba mendapat siulan, panggilan, ejekan oleh mulut-mulut jahil. Badan saya dari dulu mungil, dada saya cenderung rata, dan cara berpakaian saya biasa-biasa saja. Semua hal itu tidak membuat panggilan-panggilan dan teriakan-teriakan yang membuat saya tidak nyaman kemudian berhenti. Semua perempuan mengalaminya. Hanya karena kami perempuan.

Waktu SMP sekolah saya mengharuskan semua murid perempuan memakai singlet di bawah kemeja seragam supaya BH tidak berbayang. Kami juga diharuskan pakai bicycle pants di bawah rok. Kenapa? Karena anak laki-laki suka mengintip atau mengangkat rok anak-anak perempuan. Karena anak laki-laki berpikir menarik tali BH anak perempuan dan mengangkat rok kami adalah sesuatu yang lucu. Berpikir tentang itu sekarang, saya jadi kesal sendiri karena waktu itu tidak protes pada sekolah. Tidak murka pada teman-teman laki-laki. Pada guru dan biarawati yang membuat peraturan-peraturan itu. Mengapa anak perempuan yang harus mencegah sexual harassment? Mengapa anak-anak perempuan disuruh pakai singlet dan bicycle pants dan bukannya diajar untuk mengatakan sesuatu, untuk marah, untuk murka? Mengapa bukan anak laki-laki yang diajar untuk tahu batas? Untuk tahu caranya menghargai sesama manusia. Tidak, anak laki-laki malah mendapat pesan bahwa perempuan lah yang seharusnya tidak mengundang sexual harassment. Dan anak laki-laki tumbuh jadi laki-laki dewasa.

Sejak SMP saya sering diejek teman-teman laki-laki. Mereka bilang saya feminis. Tapi kini saya sadari bahwa dahulu saya hanya feminis nanggung. Saya tidak berdiri membela sesama perempuan. Di bangku sekolah semua orang punya nama panggilan. Bukan hanya nama panggilan yang lucu dan menggemaskan, tetapi juga yang kasar dan sesungguhnya sangat tidak sopan. Selalu ada anak-anak perempuan yang dipanggil 'perek', 'lonte', 'pelacur' hanya karena sebuah gosip tentang mereka, atau karena mereka memakai rok yang pendek dan baju yang ketat. Bayangkan, anak-anak SMP atau SMA dipanggil 'perek' atau 'lonte' oleh teman-teman satu sekolah! Lebih menyedihkan lagi adalah biasanya panggilan-panggilan ini lahir dari mulut-mulut perempuan-perempuan juga. Saya ikut bersalah karena membiarkan hal-hal seperti itu terjadi. Bukannya berdiri membela sesama perempuan, saya malah jadi penonton, bahkan kadang ikut mengucapkan, membiarkan anak itu menanggung panggilan-panggilan itu sendiri. Sekarang tindakan seperti itu ada namanya: bullying.

Kini saya adalah seorang ibu. Ibu dari seorang anak perempuan. Dan sebagai seorang ibu saya tidak henti-hentinya khawatir akan dunia, akan anak saya, akan cara untuk mempersiapkan anak saya menghadapi dunia. Dunia yang masih saja berkiblat pada laki-laki, pada budaya patriarki. Pada budaya patriarki yang masih mencemooh feminisme, masih memandang perempuan sebelah mata. Dunia masih menyalahkan perempuan untuk semua ketidakadilan dan penderitaan yang dialami oleh perempuan. Dunia masih lebih percaya kata-kata laki-laki. Dunia masih memberikan panggung dan peluang kepada laki-laki untuk mengambil keputusan. Termasuk keputusan-keputusan yang menyangkut perempuan.

Sudah lama saya tidak dipanggil feminis. Dahulu, di bangku sekolah, saya lebih vokal, lebih marah, lebih cepat tersulut. Kini saya lebih banyak diam, memperhatikan, menyaksikan, tidak ambil bagian. Tetapi kini rasanya saya kembali tersulut. Kejadian yang menyulut: tetap diangkatnya Brett Kavanaugh menjadi bagian Supreme Court of the United States of America setelah Professor Christine Blasey Ford mengungkapkan kepada publik bahwa ketika usianya 15 tahun, Kavanaugh (dahulu 17 tahun) yang sedang mabuk hampir memperkosanya di sebuah pesta.

Dr. Ford dan Kavanaugh sama-sama bersaksi dan bicara tentang perkara itu di depan anggota-anggota senat Amerika Serikat dan di hadapan kamera-kamera televisi. Dr. Ford menceritakan yang terjadi padanya malam itu. Ia mengambil sumpah dan dengan pelan dan sopan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sesekali ia menahan tangis. Ia mengaku bahwa ia amat sangat ketakutan. Sejak pengakuannya tentang Kavanaugh ia dan keluarganya mendapat begitu banyak ancaman pembunuhan. Dr. Ford tahu siapa yang ia hadapi. Ini bukan tuduhan yang enteng. Terutama karena yang dituduh adalah seorang laki-laki kulit putih pilihan Presiden Amerika Serikat. Laki-laki kulit putih yang kaya, berpendidikan bagus, dan didukung oleh partai Republikan.

Wawancara Dr. Ford yang santun dengan anggota senat sangat timpang dengan wawancara Kavanaugh yang penuh emosi. Kavanaugh bicara dengan penuh amarah seakan ia amat tersinggung bahwa ia bisa ada di kursi itu. Bahwa ia bisa disangsikan. Jelas terlihat ia merasa punya privilege. Jelas terlihat ia tidak pernah dipertanyakan, selalu dipuja-puja. Ia tidak bisa mengontrol emosinya. Bicaranya kalang kabut dan seringkali kasar kepada anggota senat yang mengajukan pertanyaan dan terlihat sangsi padanya. Terlepas dari apakah tuduhan Dr. Ford benar-benar akurat, Kavanaugh sudah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya: the epitome of white male privilege in the United States of America. Saya pikir hanya film dan serial televisi saja yang bisa bikin tokoh seperti itu. Saya begitu tercengang melihat tokoh itu ada di dunia nyata. Menjijikkan.

Laki-laki dapat privilege lebih besar dari perempuan adalah kenyataan di seluruh muka bumi. Apalagi laki-laki dari kelompok mayoritas. Pilu hati ini menyadari bahwa mungkin hingga Lila dewasa, keadaan seperti itu masih belum berubah. Bahwa ia akan selalu jadi warga negara kelas 2 atau kelas 3 hanya karena ia perempuan dan lebih lagi, ia bukan perempuan kaukasia. Dr. Ford yang perempuan Kaukasia, berpendidikan tinggi, dan datang dari keluarga menengah atas saja masih tidak dipercaya, dianggap cari sensasi, dihina-hina karena mengatakan kejujurannya. Apalagi perempuan yang bukan kaukasia, dari kelas ekonomi rendah, dan imigran pula? Bagaimana nasib mereka bila diperkosa, diserang, dijahati oleh laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi? Siapa yang mau percaya? Tak aneh banyak perempuan memilih diam. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Di malam setelah Kavanaugh dan Dr. Ford bersaksi di depan senat, saya keluar mengajak anjing-anjing saya buang air. Ketika itu jam 10 malam. Kompleks rumah sudah sepi. Saya yang biasanya tak merasa takut berjalan di kompleks ketika sudah sepi dan gelap tiba-tiba tak bisa berhenti melihat ke sekitar dan seakan berjaga-jaga terhadap kemungkinan diserang tiba-tiba oleh laki-laki tak dikenal. Saya benci merasa seperti itu. Saya benci mengetahui bahwa jika saya sial, ada kemungkinan saya bisa diserang oleh laki-laki dan, amit-amit, diperkosa. Ini kenyataan bagi banyak perempuan. Selama laki-laki masih menganggap perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tak selevel, selamanya perempuan akan jadi pihak yang ditindas.

Ini harus berubah. Perempuan harus marah, harus bertindak. Bukan hanya demi kita sendiri tapi demi anak-anak perempuan kita. Perempuan harus berdiri bersama dan tidak saling mencerca. Sudah cukup kita dipecah-belah. Saudari, ayo berdiri!





Comments

Popular Posts