Indonesia Tempatku Pulang
Bolak-balik ingin menulis sesuatu di sini, tetapi bolak-balik kuhapus lagi setiap kata. Dunia maya sedang terlalu bising. Dan aku tak bisa menemukan suaraku di kebisingin itu. Mungkin aku juga tak mau. Tetapi satu hal yang aku tahu, menulis membuatku waras. Maka kucoba saja dan mungkin hatiku akan sedikit tenang.
Bulan lalu aku pulang ke Indonesia. Hanya 3 minggu tapi aku paksakan untuk pulang. Hati dan pikiranku sedang berat-beratnya sebelum pulang. Tiada masalah pribadi, pernikahanku baik-baik, anakku sehat. Aku hanya merasa perlu pergi dari berat dan gelapnya energi yang sedang berputar-putar di Amerika. Pemimpin negara ini berhasil membuat kotak-kotak yang nyata, manusia-manusia yang curiga, dan hilangnya welas asih. Aku diam hanya mengobservasi, tetapi hatiku berat. Tak bisa kupahami mengapa begitu banyak kemarahan dan kebencian. Melelahkan.
Maka aku pulang. Pulang ke Tanah Air ku yang juga tak sempurna, banyak cela. Tapi entah mengapa, hatiku tenang di sana. Mungkin karena aku tak bersua dengan kelompok religius garis keras atau menyaksikan tingkah laku mereka. Aku banyak berjumpa dengan kawan dan saudara yang membuatku tertawa, hatiku gembira. Aku butuh 3 minggu itu bersama mereka. Sekedar pengingat bahwa aku masih menerima banyak cinta dan aku masih mampu memberi banyak cinta. Tanah Airku penuh cinta dan semangat positif. Aku melihatnya dengan mata dan kepala. Manusia-manusia Indonesia sedang bergerak. Dan aku jadi ingin ikut bergerak.
Tapi 3 minggu berlalu teramat cepat. Tiba-tiba sudah kembali lah aku di tanah asing yang jadi tempat tinggal ku selama hampir 9 tahun terakhir. Sebelum carut marut politik di sini, aku merasa baik-baik saja. Tetapi kini sungguh sulit untuk merasa baik-baik saja. Di dalam hatiku ada ketakutan, kekhawatiran, dan kekecewaan. Dan sulitnya, aku merasa tak pantas merasa semua itu karena aku hanyalah tamu di sini. Aku merasa tak punya tempat di sini, merasa tak pantas ikut marah, ikut mengeluh. Nasibku ada di tangan orang-orang lain. Dan aku benci merasa tak punya kuasa.
Sejak naiknya Presiden yang baru awal tahun lalu, berita-berita politik terus membuat sesak nafas. Lebih menyesakkan lagi adalah bukan hanya berita politik, tapi juga tentang HAM, imigrasi, kesehatan, dan keamanan nasional. Ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dan sejak terpilihnya Presiden yang baru hal-hal yang dulu seakan tak mungkin terjadi di Amerika kini terjadi di Amerika. Setiap hari khawatir tentang keamanan suami, anak, dan diri sendiri sungguh melelahkan. Apakah ini karma karena selama ini memalingkan wajah dari penderitaan-penderitaan di dunia atau karena menyebabkan penderitaan-penderitaan itu? Perang dan wabah penyakit ada di mana-mana. Manusia masih mati dan hilang di tangan pemerintah-pemerintah diktator di dunia. Apakah negara ini akan mengalami hal yang sama? Tapi ini Amerika! Bukankah harusnya negara ini yang berdiri membela ketidakadilan? Bukankah harusnya negara ini yang memimpin kemajuan?
Entahlah, aku seakan tak tahu lagi mana yang nyata, mana yang mimpi. Melihat Indonesia dan perkembangan yang terjadi di sana membuat semangat terbakar. Melihat Jokowi dan bagaimana dia sangat berbeda dari Presiden-Presiden yang pernah dimiliki Indonesia membuat semangat tersulut. Aku tahu masih ada korupsi dan kebusukan-kebusukan di dalam pemerintah Indonesia. Aku tidak naif. Tapi paling tidak di Indonesia, orang tidak boleh punya senjata. Dan anak-anak sekolah tidak mati di tangan sesama murid. Paling tidak Presiden Indonesia bisa bicara dengan kearifan dan kerendahan hati. Paling tidak di Indonesia aku bisa ikut memilih pemimpin yang sesuai dengan visi dan mimpi ku tentang Indonesia. Di sini hanya ada kepongahan. Dan kemarahan. Aku lelah.
Bulan lalu aku pulang ke Indonesia. Hanya 3 minggu tapi aku paksakan untuk pulang. Hati dan pikiranku sedang berat-beratnya sebelum pulang. Tiada masalah pribadi, pernikahanku baik-baik, anakku sehat. Aku hanya merasa perlu pergi dari berat dan gelapnya energi yang sedang berputar-putar di Amerika. Pemimpin negara ini berhasil membuat kotak-kotak yang nyata, manusia-manusia yang curiga, dan hilangnya welas asih. Aku diam hanya mengobservasi, tetapi hatiku berat. Tak bisa kupahami mengapa begitu banyak kemarahan dan kebencian. Melelahkan.
Maka aku pulang. Pulang ke Tanah Air ku yang juga tak sempurna, banyak cela. Tapi entah mengapa, hatiku tenang di sana. Mungkin karena aku tak bersua dengan kelompok religius garis keras atau menyaksikan tingkah laku mereka. Aku banyak berjumpa dengan kawan dan saudara yang membuatku tertawa, hatiku gembira. Aku butuh 3 minggu itu bersama mereka. Sekedar pengingat bahwa aku masih menerima banyak cinta dan aku masih mampu memberi banyak cinta. Tanah Airku penuh cinta dan semangat positif. Aku melihatnya dengan mata dan kepala. Manusia-manusia Indonesia sedang bergerak. Dan aku jadi ingin ikut bergerak.
Tapi 3 minggu berlalu teramat cepat. Tiba-tiba sudah kembali lah aku di tanah asing yang jadi tempat tinggal ku selama hampir 9 tahun terakhir. Sebelum carut marut politik di sini, aku merasa baik-baik saja. Tetapi kini sungguh sulit untuk merasa baik-baik saja. Di dalam hatiku ada ketakutan, kekhawatiran, dan kekecewaan. Dan sulitnya, aku merasa tak pantas merasa semua itu karena aku hanyalah tamu di sini. Aku merasa tak punya tempat di sini, merasa tak pantas ikut marah, ikut mengeluh. Nasibku ada di tangan orang-orang lain. Dan aku benci merasa tak punya kuasa.
Sejak naiknya Presiden yang baru awal tahun lalu, berita-berita politik terus membuat sesak nafas. Lebih menyesakkan lagi adalah bukan hanya berita politik, tapi juga tentang HAM, imigrasi, kesehatan, dan keamanan nasional. Ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dan sejak terpilihnya Presiden yang baru hal-hal yang dulu seakan tak mungkin terjadi di Amerika kini terjadi di Amerika. Setiap hari khawatir tentang keamanan suami, anak, dan diri sendiri sungguh melelahkan. Apakah ini karma karena selama ini memalingkan wajah dari penderitaan-penderitaan di dunia atau karena menyebabkan penderitaan-penderitaan itu? Perang dan wabah penyakit ada di mana-mana. Manusia masih mati dan hilang di tangan pemerintah-pemerintah diktator di dunia. Apakah negara ini akan mengalami hal yang sama? Tapi ini Amerika! Bukankah harusnya negara ini yang berdiri membela ketidakadilan? Bukankah harusnya negara ini yang memimpin kemajuan?
Entahlah, aku seakan tak tahu lagi mana yang nyata, mana yang mimpi. Melihat Indonesia dan perkembangan yang terjadi di sana membuat semangat terbakar. Melihat Jokowi dan bagaimana dia sangat berbeda dari Presiden-Presiden yang pernah dimiliki Indonesia membuat semangat tersulut. Aku tahu masih ada korupsi dan kebusukan-kebusukan di dalam pemerintah Indonesia. Aku tidak naif. Tapi paling tidak di Indonesia, orang tidak boleh punya senjata. Dan anak-anak sekolah tidak mati di tangan sesama murid. Paling tidak Presiden Indonesia bisa bicara dengan kearifan dan kerendahan hati. Paling tidak di Indonesia aku bisa ikut memilih pemimpin yang sesuai dengan visi dan mimpi ku tentang Indonesia. Di sini hanya ada kepongahan. Dan kemarahan. Aku lelah.
Comments
Post a Comment