Jadi Diri Sendiri di Tengah Badai

Sulit untuk jadi diri sendiri. Sungguh.

Apalagi dengan bisingnya sosial media. Setiap hari, setiap jam, kita dibombardir dengan pendapat orang lain; tentang suatu peristiwa, tentang seseorang, tentang kita. Begitu riuhnya pendapat yang dibagi, kita kadang tak tahu lagi apakah pendapat kita itu milik sendiri atau sesungguhnya milik orang lain.

Orang menyampaikan pendapat, orang beradu pendapat, orang memberi jempol, memberi apresiasi, memberi hujatan, meniadakan 3 detik untuk berpikir sebelum menuliskan sesuatu. Kata-kata dilempar di dunia maya seakan tidak ada harganya. Padahal kata-kata, ketika sudah menyakiti, tak bisa ditarik kembali. Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah yang dipergunakan untuk bersembunyi. Ini terjadi setiap hari. Kita berputar-putar di lingkaran kebencian, apresiasi semu, distorsi informasi. Kita jadi bagian dari lingkaran ini. Kita memberi makan lingkaran ini. Kita membuatnya makin besar, makin berkuasa. Termasuk saya.

Hingga hari ini, bahkan setelah begitu lama internet jadi bagian hidup saya, kadang saya masih merasa canggung berhadapan dengannya. Berhadapan dengan internet. Apalagi dengan semakin hebohnya sosial media. Saya makin berhati-hati menulis blog. Padahal dahulu saya memulai blog ini karena saya merasa perlu menulis. Menulis tentang apa yang menurut saya penting. Kalau saya tidak melakukannya, rasanya seperti sembelit otak. Saya jadi cranky dan menyebalkan karena tidak bisa membuang beban di kepala dan hati. Masalahnya, sekarang semakin banyak yang membaca blog saya. Jangan salah, saya senang banyak yang membaca blog ini. Saya senang dapat apresiasi. Padahal mungkin semu. Meski saya tahu ada yang tidak. Saya tahu masih ada ketulusan.

Kalau saya berani jadi diri sendiri, mungkin sudah jauh lebih banyak tulisan di blog ini tentang semua hal yang saya rasakan. Saya akan berani bicara tentang hal-hal yang tidak populer, tentang diri saya, tentang apa yang saya anggap benar dan salah.

Tapi mungkin jadi diri sendiri juga berarti tahu kapan harus diam. Kapan harus berhenti memberi makan ego dan kekusutan dunia maya. Karena bagaimana lagi caranya untuk mengenal diri sendiri kalau tidak menghabiskan waktu dengannya? Sebagaimana dahulu kala kita mencoba mengenal orang lain. Kita bicara, kita tidak terdistraksi handphone dan layar yang berpendar-pendar. Maka mungkin kalau saya ingin jadi diri sendiri saya harus tahu apa yang perlu dibagi dan apa yang perlu ditulis di jurnal pribadi. Tak semua hal perlu diketahui seluruh dunia. Jempol dan hati yang diberi di dunia maya tak bisa menggantika koneksi nyata antar manusia lewat kata-kata yang bermakna dan tatap muka.

Maka saya berniat untuk lebih giat menulis. Menulis tentang hal-hal yang membuat saya dan orang lain senang dan terhibur, syukur-syukur juga membuat berpikir dan berkontemplasi. Menulis di jurnal pribadi tentang kejujuran-kejujuran yang menurut saya tak perlu dibagi dengan seluruh dunia. Saya bertekad untuk membuat lebih banyak investasi pada hubungan-hubungan pribadi dan langsung yang tidak mempergunakan dunia maya sebagai medium. Saya berniat untuk kembali jadi manusia. Tertarik untuk bergabung?

Comments

Post a Comment

Popular Posts