Untuk Sri Hastuti di Hari Perempuan Sedunia



Hari ini Hari Perempuan Sedunia. Dari semua perempuan yang membuat hidupku berwarna  ada satu yang saat ini ingin kubagikan kisahnya: Sri Hastuti, eyang putriku, ibu dari ibuku, manusia yang tiada dua.

Banyak orang mengenalnya sebagai Ibu Sis. Sis adalah kependekan dari Siswardi, nama suaminya. Demikian kebiasaan di Indonesia, paling tidak hingga angkatan ibu dan bapakku (baby boomers). Perempuan dikenal sebagai istri seseorang; Ibu Joko (istri Pak Joko), Ibu Yusuf (istri dari Pak Yusuf), Ibu Sis (istri dari Pak Sis), dan seterusnya.

Tanpa mengecilkan rasa hormatku pada eyang kakungku (Pak Sis), aku merasa eyang uti ku seharusnya dipanggil dengan namanya sendiri, nama yang disematkan khusus baginya oleh orang tua yang mencintainya. Karena Sri Hastuti bukan hanya istri dari seorang Pak Sis. Sri Hastuti adalah individu yang merubah hidup banyak orang. Ia keras dan tegas, kuat dan perkasa, namun juga teramat takluk pada cinta, kasih sayang, dan Tuhan.

Eyang Uti, Eyang Kakung, dan Muti (sepupuku) - Jakarta, 1987
Eyang Uti dan Eyang Kakung pernah tinggal di Cimahi, Bogor, Kalimantan, Papua, Jakarta, dan Belitung karena Eyang Kakungku sempat bekerja di sebuah bank milik pemerintah setelah ia pensiun dari Angkatan Darat. Meski bekerja jadi manajer bank, namun tidak berarti eyang kakungku berlimpah harta. Hidup mereka jauh dari mewah. Kesederhanaan adalah cara yang dipakai untuk membesarkan anak-anak mereka. 

Eyang Uti adalah manusia yang tidak bisa diam. Ia selalu ingin bergerak, melakukan sesuatu, menolong, ambil bagian, menawarkan tawa, menghaturkan doa di sisi ranjang mereka yang sedang menghadapi maut, apa saja yang ia bisa. Ia pernah jadi atlet lempar cakram, pernah bekerja jadi sekretaris di usia 50 tahun, bekerja di diskotek jadi bagian keuangan, ditanggap jadi badut untuk ulang tahun cucu-cucunya, dan jadi guru bagi begitu banyak anak. Dari semua hal unik yang pernah dilakukan Eyang Uti ku, jadi guru adalah hal yang mengukir namanya di begitu banyak hati.

Eyang Uti pernah jadi guru bagi anak-anak ekspatriat, jadi guru bahasa Inggris ku dan sepupu-sepupuku (juga banyak anak-anak lain), dan jadi guru bagi anak-anak pemulung juga anak-anak di kampung sekitar rumahnya di Cinere yang perlu belajar baca, tulis, dan hitung tapi tidak mampu masuk TK.

Eyang Uti di depan anak-anak didiknya (Cinere 2008 - Pesta Ulang tahun eyang ke 78)

Eyang Uti ku pernah mendirikan sekolah di tengah kampung pemulung di Pondok Labu, Jakarta Selatan (sekarang sekolah itu sudah tidak ada), dan kemudian mendirikan kelompok bermain di sebuah lahan kecil di dekat rumahnya di Cinere (sekolah ini juga sudah tidak ada sejak beliau meninggal dan ibuku tak sanggup lagi meneruskan). Ia tidak mau menerima sumbangan dari siapapun karena ia tidak mau diatur-atur dalam soal menjalankan sekolahnya. Ia sudah kebal dibilang hendak meng-kristenisasi anak-anak yang ia didik (karena Eyang Uti ku seorang Katolik). Ia maju terus karena ia peduli pada anak-anak itu. Ia tidak peduli suara-suara sumbang karena memang tak pernah ia bawa-bawa agama di ruang kelas. Di dalam kelasnya semua anak-anak sama pentingnya, semua agama sama baiknya. Agama yang dianut atau tidak anut anak-anak itu tidak punya arti bagi Eyang Utiku. Ia keras dan punya integritas.

Pendidikan adalah hal yang penting bagi Eyang Uti. Aku ingat setiap bagi raport, aku dan semua sepupuku (12 orang totalnya) selalu harus lapor pada Eyang. Ia akan mengecek semua nilai yang kami peroleh dan kemudian memberikan uang sesuai nilai yang kami peroleh. Aku lupa jumlahnya berapa, tetapi ia punya nominal untuk setiap angka kecuali yang keterlaluan rendahnya. Bagi Eyang Uti berprestasi di sekolah itu penting. Kadang ini membuat beberapa cucunya stress karena yang dapat nilai jelek bisa kena murka, tetapi di akhir hari, ia mencintai setiap cucunya terlepas dari nilai yang kami peroleh.

Di hari Perempuan Sedunia ini aku ingat Eyang Uti ku. Aku ingat caranya menjadi ibu, menjadi guru, menjadi badut, menjadi teman, menjadi nenek. Aku ingat caranya menghargai ilmu, caranya menjunjung sekolah. Aku ingat bagaimana uang tidak membuatnya gelap mata. Aku ingat dirinya yang hingga akhir hayat tak bisa diredam. Aku ingat caranya percaya pada doa. Aku ingat caranya percaya pada pentingnya punya selera humor dalam menghadapi hidup dan segala manis serta pahitnya. Aku ingat caranya menyayangiku dan membuatku merasa penting.


Aku ingat ia membuatku merasa lebih penting jadi anak perempuan yang pintar dan berani daripada anak perempuan yang cantik. Tak sekalipun ia pernah bicara atau berkomentar soal pentingnya menjadi anak perempuan yang cantik. Jadi pintar dan ajak orang lain untuk ikut pintar jauh lebih penting baginya daripada penampilan fisik yang bagaimanapun juga. Orang yang kaya dan penuh kuasa juga tak pernah membuat Eyang Uti ku silau. Baginya mereka yang kaya raya juga cuma manusia, sama seperti si anak pemulung yang tidak pernah ganti baju.

Meski banyak puja-puji baginya di tulisan ini, aku sadar betul bahwa Eyang Uti ku tidak sempurna. Layaknya manusia ia punya banyak cela. Bagiku tak mengapa. Aku tidak pernah bisa percaya orang yang tak punya cela. Lebih baik jadi apa adanya dan tak pura-pura sempurna. Dari celanya pun aku belajar dan mencoba menjadi lebih baik.

Selamat Hari Perempuan, hai perempuan. Jadi lah apapun yang kamu inginkan. Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan asal hak orang lain tidak kamu ambil dan zalimi. Mari bersama kita turunkan kearifan yang kita peroleh dari para pendahulu kepada anak-anak kita, laki-laki dan perempuan. Bersama kita bisa putuskan rantai kedunguan dan melawan kebencian. Kita bisa jadi sumber terang dan bijak. Mari kita saling mengangkat dan merayakan, merangkul dan mencintai. Perempuan, kamu bisa.

 



Comments

Popular Posts