Just Roll with the Punches!

Kemarin sore kami tiba di Punta Cana, Republik Dominika. Dari semua perjalanan yang pernah kami lakukan, mungkin yang kali ini adalah yang paling minim persiapannya. Biasanya sebelum melakukan sebuah perjalanan saya akan rajin menghabiskan waktu membaca ulasan-ulasan di Tripadvisor. Kali ini tidak demikian. Saya masih belum kelaar dari euforia perjalanan ke Peru dan bulan Desember penuh dengan kesibukan. Akhirnya persiapan perjalanan ke Negara ini terbengkalai.


Kami memilih Republik Dominika karena dua hal; kami menemukan tiket murah tanpa transit dan kami belum pernah ke sini. Ketika tiket dibeli dan hotel dibooking, dari diskusi yang sambil lalu bersama Aris kami memutuskan bahwa pilihan terbaik untuk moda transportasi adalah menyewa mobil. Karena kami pergi bersama Lila, akan sulit bila melakukan tur harian bersama beberapa orang lain. Kami perlu sesuatu yang fleksibel.

Nah, bodohnya, kami baru membooking mobil di H-2 keberangkatan. Harga yang kami dapat sudah berlipat ganda dan banyak perusahaan penyewaan sudah kehabisan stok. Kami menyepelekan kekuatan musim liburan akhir tahun di Negara-negara Karibia. Menghindari musim dingin, banyak turis datang ke sini dari Amerika, Kanada, bahkan Eropa.

Sesampainya di Bandar udara Punta Cana kami langsung ke tempat penyewaan mobil. Setelah pembahasan panjang lewat Bahasa Inggris dan Bahasa Spanyol yang patah-patah, disimpulkan bahwa mobil yang ingin kami sewa tidak tersedia. Bahkan tidak ada mobil yang tersedia. *masukkan muka datar bin gondok di sini*



Akhirnya dengan itikad baik si empunya sewa mobil menawarkan transport gratis ke hotel kami di Bayahibe, 40 menit dari Punta cana. Ia juga menjanjikan bahwa akan segera mengantarkan mobil yang ingin kami sewa begitu dikembalikan oleh orang yang sedang memakainya. Perlu diingat bahwa kami sudah mendapatkan konfirmasi secara elektronik bahwa mobil yang kami pilih akan tersedia begitu kami tiba di Punta Cana. Anehnya, tidak saya pun Aris merasa kesal. Mungkin akhirnya kami sudah terbiasa dengan cara kerja Negara Dunia Ketiga. Fleksibilitas adalah keahlian yang akhirnya kami kuasai. Improvisasi adalah hal kedua yang bisa merubah kegagalan jadi keberhasilan.

Bayahibe dahulu adalah sebuah kampung nelayan yang sepi. Kini kota mungil ini ramai dengan restoran, hotel-hotel kelas melati dan penyedia tur ke pulau-pulau di sekitar. Pantai cantik dan keindahan alam bawah laut jadi daya tarik utamanya. Di luar kota Bayahibe (yang besarnya tak lebih dari PIM 1, 2 dan 3) terdapat resor-resor mewah dengan pantai-pantai cantik yang khusus bagi tamu hotel. Kami memilih tinggal di tengah kota Bayahibe, tepat di Antara rumah-rumah penduduk. Harga adalah pertimbangan utama tetapi kami juga memang pada dasarnya senang mendapatkan interaksi dengan penduduk setempat. Meski demikian, alasan paling utama adalah tetap biaya. Haha.



Diantar pemilik perusahaan penyewaan mobil, kami tiba di Bayahibe ketika matahari sudah tenggelam. Perbedaan waktu Antara Houston dan Republik Dominika adalah dua jam. Republik Dominika dua jam lebih cepat. Ketika sampai di kota ini jujur saja saya dan Aris agak kecewa. Bayangan akan kota yang cantik luruh. Pantainya pun belum kelihatan karena di luar sudah gelap.

Ketika kami berjalan kaki untuk mencari makan malam, kami melewati beberapa tempat (di jalan, di depan toko kelontong) dengan orang-orang (lokal dan turis) yang sudah setengah mabok, berjoget-joget di jalanan diiringi lagu diskodut khas Amerika Latin dengan gelas plastik merah isi pletok atau botol bir. Meski tidak ada yang mengganggu kami, namun tetap saja rasanya deg-deg an melewati situasi yang demikian itu. Lila bengong saja melihat semuanya dari dalam gendongan. Saya hanya berpegang erat pada kata-kata resepsionis hotel: Bayahibe kota yang aman.

Kami makan malam di pinggir pantai di salah satu restoran yang berjejer. Perlita Morena adalah nama restoran itu. Si pemilik restoran, kakek tua asal Chili, menyapa kami dengan ramah. Ia teramat manis terhadap Lila dan tak henti mengajak kami bicara dalam Bahasa Spanyol. Bukan karena ia berpikir kami bisa bicara Bahasa Spanyol, tetapi karena ia tidak bisa Bahasa Inggris dan ia suka bicara dengan tamu-tamunya. Meski pengalaman makan di restoran itu cukup menyenangkan, namun saya tidak bisa memungkiri ada satu hal yang membuat saya agak jengah: banyak sekali tamu laki-laki (orang Eropa atau Amerika Selatan dan tua) menggandeng perempuan-perempuan lokal muda. Sepertinya prostitusi adalah hal yang biasa terjadi di sini ketika malam datang. Turisme selalu punya harga. Sedih rasanya.

Pulang dari makan malam, hampir serentak saya dan Aris buka mulut tentang Bayahibe. Kota ini tidak seperti yang kami bayangkan. Kami lalu membahas bagaimana enaknya. Mobil sewaan belum ada, maka kami hanya bisa berada di Bayahibe sampai keadaan berubah. Apakah aman? Apakah akan merusak mood liburan? Apakah Lila tidak apa-apa? Kami bahkan mulai melihat laman sebuah resor all-inclusive  dan mempertimbangkan pindah ke sana. Masalahnya adalah harga per malam di resor itu adalah enam kali harga semalam di hotel kami di Bayahibe. Dan hotel kami di Bayahibe tidak bermasalah. Nyaman, bersih, dan aman.

Pagi ini kami bangun dengan kadar kepanikan yang sudah jauh menurun. Kami ingin melihat Bayahibe di bawah sinar mentari. Setiap kota punya dua wajah. Setiap kita punya baik dan buruk. Jika tidak diberi kesempatan untuk memukau, tentu lah tak adil bagi Bayahibe. Banyak orang jatuh cinta padanya. Mungkin kami pun bisa.




Setelah sarapan kami lalu berjalan mencari pantai dan toko diving untuk Aris. Kami menemukan sebuah pantai kecil penuh karang, namun pemandangannya cukup memukau. Maka kami menghabiskan waktu sejenak di sana. Setelah itu kami mengarah ke dive shop yang letaknya di satu lokasi dengan sebuah restoran yang memandang ke pantai. Di sini (di depan restoran) pasirnya lembut tak berkarang dan pemandangannya mempesona. Orang-orangnya pun ramah. Seperti biasa, Lila jadi idola.


Saat ini sudah jam 4 sore. Lila sedang tidur siang dan Aris sedang diving sejak jam 1.30 tadi. Saya tadi berjalan kaki pulang ke hotel berdua Lila melewati rumah-rumah penduduk yang hampir semuanya memutar lagu berbahasa Spanyol dengan ketukan dan nada yang genit. Bau makanan menyeruak dari jendela-jendela. Perempuan-perempuan duduk di teras rumah, bertukar cerita tentang suami atau persiapan Natal. Tawa renyah anak-anak kecil mewarnai siang yang terik di Bayahibe. Karibia bukan cuma tentang pantai berpasir putih dan laut yang birunya keterlaluan. Manusia-manusianya adalah yang membuat Karibia berbeda. Budaya yang campur aduk dan kemampuan untuk menikmati hidup adalah spesialisasi Karibia dan penduduknya. Tak perlu melawan, ikuti saja arusnya. Atau dalam hal ini, ikuti saja inspirasi yang datang untuk mengatasi segala rencana yang berantakan. Tak perlu nelangsa karena, paling tidak, kami ada di Republik Dominika.



Comments

Popular Posts