Dua Wajah Bayahibe
Akhirnya kami mengambil keputusan untuk pindah dari kota
(kota yang sangat kecil, mungkin lebih tepat dibilang kampung) Bayahibe.
Setelah diskusi panjang semalam dengan Aris, akhirnya kami mencari sebuah hotel
yang letaknya di pinggir pantai, di luar kampong Bayahibe. Kami menemukan yang
harganya tidak keterlaluan mahalnya dan segera membuat reservasi. Siang ini
kami akan pindah ke sana.
Kemarin kami berangkat makan malam cukup awal. Jam 5 sore kami sudah duduk di restoran, memesan sepiring pasta carbonara dan chicken salad. Sayangnya, hampir semua restoran di sini pelayanannya lelet. Ketika kami pikir pesanan kami akan cukup cepat dibuat (hanya pasta saus putih dan sayur-mayur dipotong-potong!), kedua makanan itu keluar dapur hampir 45 menit kemudian. Alhasil kami baru keluar restoran setelah matahari tenggelam. Lagi-lagi kami harus melewati jalanan yang ramai dengan orang-orang (yang baru mulai) mabok.
Natal adalah sesuatu yang penting di Republik Dominika. Berdasarkan pengamatan, penting dalam hal ini artinya adalah alasan untuk berpesta. Maka berpestalah para penduduk Bayahibe menyambut Natal yang datangnya masih besok.
Musik menggelegar dari gang-gang kecil dan di depan sebuah toko kelontong. Sungguh aneh, dari semua restoran dan bar yang ada di Bayahibe, toko kelontong ini yang paling ramai manusia setiap malamnya. Tadi malam volume musik yang dipasang lebih luar biasa dari malam sebelumnya. Di belakang semua kehebohan itu, sebuah pohon Natal setinggi kurang lebih 10 meter berkilauan tertimpa lampu jalan temaram. Di samping pohon Natal, Maria, Yusuf, bayi Yesus, dan beberapa domba yang terbuat dari jalinan kawat besi bergeming.
Setelah melewati si toko kelontong yang hiruk pikuk dengan bergegas (sambil menutup telinga Lila yang bengong di dalam gendongan), saya dan Aris membagi tatapan tahu sama tahu. Kami harus pindah dari sini. Cukup dua malam dan dua hari melihat Bayahibe. Sosoknya di siang hari cukup membuat jatuh hati, tetapi begitu mentari undur diri, kampung ini berubah jadi laksana Sodom dan Gomorah.
Malam tadi kami tidur dengan nyenyak, mengetahui bahwa esok kami akan berada di daerah yang lebih nyaman dan tenang, baik di siang ataupun malam hari. Di luar terdengar sayup-sayup musik disko, mulai dari yang berbahasa Spanyol hingga satu album 21 milik Adele yang di-remix jadi ajrut-ajrutan.
Saya terbangun pukul 03.00 pagi karena suara musik yang tidak sayup-sayup lagi, meski masih tak mengganggu tidur Lila dan Aris. Malam sebelumnya saya juga terbangun pukul 03.00 dan musik berhenti tepat di jam itu. Semua orang pulang ke rumah masing-masing. Tadi malam berbeda.
Musik jadi makin kencang. Sumbernya mendekat dan ditambah dengan suara orang-orang yang bersorak-sorai dan klakson motor sember yang meramaikan keramaian di dini hari itu. Saya mulai bisa membayangkan sebuah arak-arakan di luar sana. Lalu lagu Jingle Bells dalam Bahasa Spanyol (yang juga di-remix disko) menggelegar teramat keras. Saya pikir arak-arakan itu ada di depan pintu kamar kami dan pemimpinnya akan mengetuk untuk minta sumbangan atau mengajak ikut berpesta. Aris dan Lila terbangun. Aris dengan muka kesal, Lila dengan muka bingung. Saya menunggu bocah itu menangis. Ia pasti kaget.
Tapi tak disangka, si kecil Lila malah tersenyum. Ia lalu mulai menggoyang-goyangkan pundak dan melempar kedua tangan mungilnya ke udara. Ia berjoget mengikuti nada yang berdentum dan nyanyian yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Saya dan Aris tak bisa menahan tawa dan akhirnya kami berjoget bertiga di tempat tidur. Anak itu membuat saya kaget/kagum setiap hari.
Siang ini kami akan pindah ke penginapan yang konsepnya apartemen. Satu kamar dengan dapur, ruang keluarga/ruang makan, dan balkon memandang laut. Penginapan yang namanya Dominicus Marina Resort ini letaknya di Dominicus, sekitar 10 menit dari Bayahibe menggunakan mobil.
Daerah Dominicus dipenuhi resor-resor all-inclusive. All-inclusive meliputi: akomodasi, makan, dan akses ke semua amenity hotel. Tamu-tamu diperlakukan bak raja, diberi makan kapanpun mereka mau. Resor-resor raksasa ini punya akses pantainya sendiri, tertutup bagi non tamu.
Tempat kami menginap tak punya akses pantai, tetapi memandang laut. Dan mereka memiliki pantai buatan yang konsepnya cukup menarik. Beberapa kolam dangkal dibuat di pinggir laut. Pasir lembut berwarna pucat disebar di sekeliling kolam dan diisi air laut supaya memberi kesan seakan tamu berada di pantai sungguhan.
Meski awalnya kami agak kecewa ketika mengetahui penginapan itu tak punya akses pantai, namun pada akhirnya si pantai buatan ini malah lebih nyaman bagi kami dan Lila. Si kecil senang sekali main di kolam-kolam itu. Maka hari ini kami mengucap, selamat tinggal Bayahibe dan halo Dominicus!
Comments
Post a Comment