Machu Picchu: Mimpi yang Jadi Kenyataan
Machu Picchu. Hampir semua orang tahu penampakannya berkat foto-foto yang tersebar di internet. Foto yang paling khas selalu diambil dari atas dengan pemandangan Machu Picchu di bagian bawah dan tebing-tebing hijau mengelilinginya. Untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri adalah pengalaman yang sangat sureal. Mimpi yang jadi kenyataan.
Bus yang membawa kami ke Machu Picchu berangkat dari kota bernama Aguas Calientes pada pukul 05.35. Antrian panjang menyambut kami ketika tiba di stasiun bus. Ternyata bukan hanya kami yang ingin menikmati Machu Picchu sebelum lautan manusia lainnya datang ketika matahari sudah tinggi.
Tersedia 30 bus untuk membawa mereka-mereka yang ingin melihat Machu Picchu. Setiap bus berangkat jika semua kursi sudah diduduki. Lagu khas Peru menemani perjalanan melewati jalur yang berkelok-kelok menuju puncak. Pemandangan indah tersaji setiap waktu.
Pagi itu hujan membasahi Andes. Sudah diprediksi. Setiap pagi hampir selalu turun hujan di Machu Picchu. Kami sudah sedia jas hujan, juga bagi Lila. Sayangnya kami lupa membawa cover hujan bagi tas backpack yang dipakai menggendong Lila. Kami pun membeli ponco seharga 5 soles untuk melindungi Lila ketika berada di dalam carrier itu.
Untuk masuk ke Machu Picchu dibutuhkan paspor dan tiket masuk. Tanpa paspor tiada satu orangpun dapat lewat. Tiket tidak dijual di lokasi, melainkan harus dibeli online atau lewat perusahaan penyedia tur. Tiket masuk Machu Picchu bagi orang asing diberi harga USD50, sedangkan untuk orang lokal adalah USD26. Jika ingin mendaki Huayna Picchu untuk mendapatkan pemandangan yang lebih spektakuler dari Machu Picchu maka harga tiket ditambah lagi USD10. Setiap harinya hanya boleh 400 orang mendaki Huayna Picchu. Dilakukan dalam dua kloter; pukul 07.00 dan 10.00. Aris mendaki ke atas pukul 07.00.
Kabut masih menyelimuti pegunungan Andes ketika kami tiba di atas. Matahari sudah terbit sejak pukul 05.00, namun tetap saja pemandangan yang tersaji membuat tercekat. Semua orang sibuk dengan kameranya, seakan takut kehilangan momen. Machu Picchu bergeming. Ia setia menunggu setiap wajah diabadikan bersamanya.
Titik pengabadian foto yang jadi kekhasan Machu Picchu terletak di bagian atas. Dibutuhkan kurang lebih 15 menit naik tangga untuk mencapainya. Dari situ tersedia rute untuk menikmati setiap sudut dan ruang situs fenomenal itu. Ketika ada yang nekat melawan rute yang telah ditetapkan maka segera saja akan terdengar suara peluit dari petugas untuk memberi peringatan.
Mengunjungi Machu Picchu di pagi hari berarti mendapatkan kesempatan untuk pelan-pelan menikmati tanpa perlu takut terbakar matahari. Ketika Aris mendaki Huayna Picchu saya dan Lila berjalan-jalan sendiri dan kemudian bersantai di cafe di dekat pintu masuk, menikmati sepotong vegetarian quiche dan air putih dingin. Pengunjung diperbolehkan keluar masuk area Machu Picchu asalkan selalu memegang paspor dan tiket.
Dibutuhkan kurang lebih 2 jam untuk naik dan turun Huayna Picchu. Pukul 10.00 saya dan Lila bertemu dengan Aris kembali. Kami berfoto bersama Llama dan kembali ke titik foto awal untuk mengabadikan gambar kami bersama Machu Picchu (untuk kesekian kalinya).
Machu Picchu sungguh mempesona. Bahkan lebih dari yang saya bayangkan. Konon situs ini dipakai sebagai tempat peristirahatan bagi bangsawan Inka masa lalu. Karena lokasinya yang sangat terpencil, maka Machu Picchu selamat dari rengkuhan Spanyol. Situs ini pun mampu mempertahankan integritasnya.
Untuk melindungi salah satu keajaiban dunia ini, pemerintah Peru membatasi kunjungan wisatawan sebanyak 2.500 orang setiap harinya. Puncak kunjungan ke Machu Picchu terjadi pada bulan Juli dan Agustus atau pada musim kering. Bulan November hingga Februari adalah musim hujan. Meski kami memilih tanggal 26 November untuk berjumpa dengan Machu Picchu, namun cuaca sangat bersahabat. Hujan rintik di pagi hari hanya bertahan 30 menit dan sisanya kami mendapat cuaca yang cerah.
Bagi saya mengeksplorasi Machu Picchu tidak terlalu sulit. Hal yang membuatnya berat bukanlah trek untuk menikmati situs itu melainkan panas matahari. Meski demikian saya bersyukur karena sudah memakai trekking boots yang nyaman dan kokoh. Jaket yang saya bawa untuk melindungi diri dari dingin saya lepas setelah hujan berhenti. Terlalu panas.
Trek di Machu Picchu sangat rapih dan semua adalah tangga. Di beberapa bagian memang ada tangga yang curam, namun jika kehati-hatian selalu digunakan rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Di hari kami mengunjungi Machu Picchu kami berjumpa dengan banyak orang tua, bahkan dua bayi lainnya. Intinya adalah untuk tidak terburu-buru dan menikmati Machu Picchu dengan penuh hormat, baik kepada situs itu juga kepada sesama pengunjung.
Pukul 11.00 siang, setelah lima jam menikmati Machu Picchu kami pun mengucap selamat tinggal. Di bus dalam perjalanan kembali ke Aguas Calientes, Lila langsung tertidur. Machu Picchu sangat fenomenal. Dan dapat menikmatinya bersama Aris dan Lila adalah berkah yang teramat besar.
Bus yang membawa kami ke Machu Picchu berangkat dari kota bernama Aguas Calientes pada pukul 05.35. Antrian panjang menyambut kami ketika tiba di stasiun bus. Ternyata bukan hanya kami yang ingin menikmati Machu Picchu sebelum lautan manusia lainnya datang ketika matahari sudah tinggi.
Tersedia 30 bus untuk membawa mereka-mereka yang ingin melihat Machu Picchu. Setiap bus berangkat jika semua kursi sudah diduduki. Lagu khas Peru menemani perjalanan melewati jalur yang berkelok-kelok menuju puncak. Pemandangan indah tersaji setiap waktu.
Pagi itu hujan membasahi Andes. Sudah diprediksi. Setiap pagi hampir selalu turun hujan di Machu Picchu. Kami sudah sedia jas hujan, juga bagi Lila. Sayangnya kami lupa membawa cover hujan bagi tas backpack yang dipakai menggendong Lila. Kami pun membeli ponco seharga 5 soles untuk melindungi Lila ketika berada di dalam carrier itu.
Untuk masuk ke Machu Picchu dibutuhkan paspor dan tiket masuk. Tanpa paspor tiada satu orangpun dapat lewat. Tiket tidak dijual di lokasi, melainkan harus dibeli online atau lewat perusahaan penyedia tur. Tiket masuk Machu Picchu bagi orang asing diberi harga USD50, sedangkan untuk orang lokal adalah USD26. Jika ingin mendaki Huayna Picchu untuk mendapatkan pemandangan yang lebih spektakuler dari Machu Picchu maka harga tiket ditambah lagi USD10. Setiap harinya hanya boleh 400 orang mendaki Huayna Picchu. Dilakukan dalam dua kloter; pukul 07.00 dan 10.00. Aris mendaki ke atas pukul 07.00.
Kabut masih menyelimuti pegunungan Andes ketika kami tiba di atas. Matahari sudah terbit sejak pukul 05.00, namun tetap saja pemandangan yang tersaji membuat tercekat. Semua orang sibuk dengan kameranya, seakan takut kehilangan momen. Machu Picchu bergeming. Ia setia menunggu setiap wajah diabadikan bersamanya.
Titik pengabadian foto yang jadi kekhasan Machu Picchu terletak di bagian atas. Dibutuhkan kurang lebih 15 menit naik tangga untuk mencapainya. Dari situ tersedia rute untuk menikmati setiap sudut dan ruang situs fenomenal itu. Ketika ada yang nekat melawan rute yang telah ditetapkan maka segera saja akan terdengar suara peluit dari petugas untuk memberi peringatan.
Mengunjungi Machu Picchu di pagi hari berarti mendapatkan kesempatan untuk pelan-pelan menikmati tanpa perlu takut terbakar matahari. Ketika Aris mendaki Huayna Picchu saya dan Lila berjalan-jalan sendiri dan kemudian bersantai di cafe di dekat pintu masuk, menikmati sepotong vegetarian quiche dan air putih dingin. Pengunjung diperbolehkan keluar masuk area Machu Picchu asalkan selalu memegang paspor dan tiket.
Dibutuhkan kurang lebih 2 jam untuk naik dan turun Huayna Picchu. Pukul 10.00 saya dan Lila bertemu dengan Aris kembali. Kami berfoto bersama Llama dan kembali ke titik foto awal untuk mengabadikan gambar kami bersama Machu Picchu (untuk kesekian kalinya).
Pemandangan dari atas Huayna Picchu |
Pemandangan dari atas Huayna Picchu |
Pemandangan dari atas Huayna Picchu |
Pemandangan dari atas Huayna Picchu |
Machu Picchu sungguh mempesona. Bahkan lebih dari yang saya bayangkan. Konon situs ini dipakai sebagai tempat peristirahatan bagi bangsawan Inka masa lalu. Karena lokasinya yang sangat terpencil, maka Machu Picchu selamat dari rengkuhan Spanyol. Situs ini pun mampu mempertahankan integritasnya.
Untuk melindungi salah satu keajaiban dunia ini, pemerintah Peru membatasi kunjungan wisatawan sebanyak 2.500 orang setiap harinya. Puncak kunjungan ke Machu Picchu terjadi pada bulan Juli dan Agustus atau pada musim kering. Bulan November hingga Februari adalah musim hujan. Meski kami memilih tanggal 26 November untuk berjumpa dengan Machu Picchu, namun cuaca sangat bersahabat. Hujan rintik di pagi hari hanya bertahan 30 menit dan sisanya kami mendapat cuaca yang cerah.
Bagi saya mengeksplorasi Machu Picchu tidak terlalu sulit. Hal yang membuatnya berat bukanlah trek untuk menikmati situs itu melainkan panas matahari. Meski demikian saya bersyukur karena sudah memakai trekking boots yang nyaman dan kokoh. Jaket yang saya bawa untuk melindungi diri dari dingin saya lepas setelah hujan berhenti. Terlalu panas.
Trek di Machu Picchu sangat rapih dan semua adalah tangga. Di beberapa bagian memang ada tangga yang curam, namun jika kehati-hatian selalu digunakan rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Di hari kami mengunjungi Machu Picchu kami berjumpa dengan banyak orang tua, bahkan dua bayi lainnya. Intinya adalah untuk tidak terburu-buru dan menikmati Machu Picchu dengan penuh hormat, baik kepada situs itu juga kepada sesama pengunjung.
Pukul 11.00 siang, setelah lima jam menikmati Machu Picchu kami pun mengucap selamat tinggal. Di bus dalam perjalanan kembali ke Aguas Calientes, Lila langsung tertidur. Machu Picchu sangat fenomenal. Dan dapat menikmatinya bersama Aris dan Lila adalah berkah yang teramat besar.
Comments
Post a Comment