Eksekusi Hati Nurani
Kemarin di Indonesia delapan orang narapidana dihukum mati. Hanya satu yang WNI. Tujuh orang lainnya adalah warga negara Australia, Brazil, dan Nigeria. Mereka terbukti bersalah dalam melanggar Undang-undang yang menyangkut narkotika. Dunia memohon agar eksekusi tidak dilakukan, namun Presiden Joko Widodo memilih melakukan yang sebaliknya.
Jujur saja saya tidak mengikuti kasus demi kasus dari delapan orang ini. Saya baru memilih mencari tahu ketika berita tentang eksekusi mereka muncul di mana-mana. Facebook penuh dengan mereka yang tidak menyetujui dan mereka yang menyetujui. Anggun, penyanyi asal Indonesia yang sudah lama bermukim di Perancis, memilih untuk tidak mendukung hukuman mati. Muncul surat dari seorang ibu di Indonesia bagi Mbak Anggun tentang bagaimana narkoba sudah merusak Indonesia dan sebagai seorang ibu tentu ia tidak ingin narkoba menyentuh anaknya. Eksekusi mati menunjukkan bahwa Indonesia sangat serius melawan kuasa narkoba. Banyak lagi surat-surat terbuka yang bermunculan berkenaan dengan keputusan eksekusi mati ini.
Hari ini saya berdoa dan menangis bagi mereka yang dieksekusi mati. Bagi keluarga mereka, bagi teman-teman mereka. Bagi saya ini bukan kemenangan bagi Indonesia. Ini bukan kemenangan bagi siapa-siapa.
Saya setuju bahwa setiap negara punya hukumnya dan berhak untuk menerapkan hukumnya. Bahwa delapan orang ini sudah melanggar hukum adalah benar adanya. Mereka kebanyakan terbukti bersalah karena menyelundupkan narkotika ke Indonesia. Delapan orang ini bukan baru minggu lalu masuk penjara. Sebagian sudah menghabiskan satu dekade di balik bui. Di sana ada penyesalan, permintaan maaf, pertobatan, dan hidup yang tidak lagi sama.
Barusan saya menemani anak saya tidur siang. Kami sempat saling pandang-pandangan selama beberapa menit sebelum akhirnya ia memejamkan mata dan hanyut ke alam mimpi. Ia adalah dunia saya, seluruh hidup saya. Saya mencintainya hingga saya tidak mengerti bahwa cinta bisa demikian besar dan kuatnya. Ia adalah segalanya bagi saya. Saya berdoa agar Semesta selalu menjaga Lila agar hidupnya aman dan ia senantiasa sehat serta bijaksana. Maka saya mengerti ketakutan para orangtua terhadap kuasa narkoba. Saya kemarin hampir pingsan ketika Lila mengambil mainan yang sudah jatuh ke karpet dan memasukkannya ke mulut. Pikiran tentang narkoba membuat saya ketakutan. Dunia saya akan hancur lebur jika sesuatu terjadi pada Lila. Tapi saya pun sedih dan pilu bagi para orangtua dari delapan orang yang dihukum mati kemarin. Meski terbukti melawan hukum, mereka tetap manusia. Mereka adalah anak dari seseorang, kakak atau adik dari seseorang, suami bagi seseorang, sahabat bagi seseorang. Dan kejadian yang membawa mereka ke balik bui akarnya jauh berasal hingga ke masa lalu. Seperti saya, mereka juga adalah manusia yang bisa bikin keputusan yang salah dan buruk. Hukuman mati menunjukkan kejumawaan, tetapi tidak akan 100% merubah kondisi peredaran narkoba di Indonesia. Maka saya ikut sedih bagi keluarga mereka, karena saya dan mereka sama-sama manusia.
Di depan regu tembak delapan orang itu menghembuskan nafas terakhir. Mereka berada di posisi itu karena narkoba. Pendeknya, mereka mati karena narkoba. Sayangnya, meski dengan kepergian delapan jiwa itu, sistem hukum di Indonesia masih sama saja. Berkat kukuhnya pendirian Presiden Indonesia terhadap hukuman mati ini, sistem hukum di Indonesia pun kelihatannya jadi berada di atas singgasana, menyebarkan imaji berkuasa, patut ditakuti. Ya ditakuti, tapi tidak dihormati. Semua hanya ilusi. Sistem hukum di Indonesia masih tetap korup. Manusia-manusia yang berhak mengambil keputusan tetap saja korup. Mereka-mereka ini berlagak suci, seakan bukan bagian dari permasalahan.
Begitu kompleksnya rantai peredaran narkoba di Indonesia, penyelundupan narkoba hanya sebagian saja dari masalah yang ada. Joko Widodo bicara tentang memerangi narkoba. Bagaimana kalau bukan hanya akibatnya yang diobati, tetap sebabnya yang dicari? Apa akarnya hingga Indonesia jadi sasaran empuk bagi peredaran narkoba? Apa muasalnya hingga anak-anak Indonesia banyak yang terjerumus narkoba? Mungkin jari yang dipakai untuk menunjuk ke luar bisa mulai diarahkan ke diri sendiri. Indonesia perlu berkaca. Setiap kita perlu melihat ke diri sendiri sebelum mencaci orang lain.
Dukacita bagi mereka yang ditinggalkan.
Jujur saja saya tidak mengikuti kasus demi kasus dari delapan orang ini. Saya baru memilih mencari tahu ketika berita tentang eksekusi mereka muncul di mana-mana. Facebook penuh dengan mereka yang tidak menyetujui dan mereka yang menyetujui. Anggun, penyanyi asal Indonesia yang sudah lama bermukim di Perancis, memilih untuk tidak mendukung hukuman mati. Muncul surat dari seorang ibu di Indonesia bagi Mbak Anggun tentang bagaimana narkoba sudah merusak Indonesia dan sebagai seorang ibu tentu ia tidak ingin narkoba menyentuh anaknya. Eksekusi mati menunjukkan bahwa Indonesia sangat serius melawan kuasa narkoba. Banyak lagi surat-surat terbuka yang bermunculan berkenaan dengan keputusan eksekusi mati ini.
Hari ini saya berdoa dan menangis bagi mereka yang dieksekusi mati. Bagi keluarga mereka, bagi teman-teman mereka. Bagi saya ini bukan kemenangan bagi Indonesia. Ini bukan kemenangan bagi siapa-siapa.
Saya setuju bahwa setiap negara punya hukumnya dan berhak untuk menerapkan hukumnya. Bahwa delapan orang ini sudah melanggar hukum adalah benar adanya. Mereka kebanyakan terbukti bersalah karena menyelundupkan narkotika ke Indonesia. Delapan orang ini bukan baru minggu lalu masuk penjara. Sebagian sudah menghabiskan satu dekade di balik bui. Di sana ada penyesalan, permintaan maaf, pertobatan, dan hidup yang tidak lagi sama.
Barusan saya menemani anak saya tidur siang. Kami sempat saling pandang-pandangan selama beberapa menit sebelum akhirnya ia memejamkan mata dan hanyut ke alam mimpi. Ia adalah dunia saya, seluruh hidup saya. Saya mencintainya hingga saya tidak mengerti bahwa cinta bisa demikian besar dan kuatnya. Ia adalah segalanya bagi saya. Saya berdoa agar Semesta selalu menjaga Lila agar hidupnya aman dan ia senantiasa sehat serta bijaksana. Maka saya mengerti ketakutan para orangtua terhadap kuasa narkoba. Saya kemarin hampir pingsan ketika Lila mengambil mainan yang sudah jatuh ke karpet dan memasukkannya ke mulut. Pikiran tentang narkoba membuat saya ketakutan. Dunia saya akan hancur lebur jika sesuatu terjadi pada Lila. Tapi saya pun sedih dan pilu bagi para orangtua dari delapan orang yang dihukum mati kemarin. Meski terbukti melawan hukum, mereka tetap manusia. Mereka adalah anak dari seseorang, kakak atau adik dari seseorang, suami bagi seseorang, sahabat bagi seseorang. Dan kejadian yang membawa mereka ke balik bui akarnya jauh berasal hingga ke masa lalu. Seperti saya, mereka juga adalah manusia yang bisa bikin keputusan yang salah dan buruk. Hukuman mati menunjukkan kejumawaan, tetapi tidak akan 100% merubah kondisi peredaran narkoba di Indonesia. Maka saya ikut sedih bagi keluarga mereka, karena saya dan mereka sama-sama manusia.
Di depan regu tembak delapan orang itu menghembuskan nafas terakhir. Mereka berada di posisi itu karena narkoba. Pendeknya, mereka mati karena narkoba. Sayangnya, meski dengan kepergian delapan jiwa itu, sistem hukum di Indonesia masih sama saja. Berkat kukuhnya pendirian Presiden Indonesia terhadap hukuman mati ini, sistem hukum di Indonesia pun kelihatannya jadi berada di atas singgasana, menyebarkan imaji berkuasa, patut ditakuti. Ya ditakuti, tapi tidak dihormati. Semua hanya ilusi. Sistem hukum di Indonesia masih tetap korup. Manusia-manusia yang berhak mengambil keputusan tetap saja korup. Mereka-mereka ini berlagak suci, seakan bukan bagian dari permasalahan.
Begitu kompleksnya rantai peredaran narkoba di Indonesia, penyelundupan narkoba hanya sebagian saja dari masalah yang ada. Joko Widodo bicara tentang memerangi narkoba. Bagaimana kalau bukan hanya akibatnya yang diobati, tetap sebabnya yang dicari? Apa akarnya hingga Indonesia jadi sasaran empuk bagi peredaran narkoba? Apa muasalnya hingga anak-anak Indonesia banyak yang terjerumus narkoba? Mungkin jari yang dipakai untuk menunjuk ke luar bisa mulai diarahkan ke diri sendiri. Indonesia perlu berkaca. Setiap kita perlu melihat ke diri sendiri sebelum mencaci orang lain.
Dukacita bagi mereka yang ditinggalkan.
Comments
Post a Comment