Menyusui adalah Perjuangan



What the hell?!” teriakku panik di suatu pagi. Buru-buru aku ke kamar mandi, mengisi penuh baskom dengan air hangat, meletakkannya di lantai lalu segera mencelupkan kedua payudaraku ke dalamnya. Dengan dada di dalam baskom, setengah badan telungkup di lantai, dan wajah yang hanya 10 centimeter dari keset, aku bergumam sendiri, “Tak pernah terbayangkan 10 bulan yang lalu bahwa titik terendah dan titik tertinggi dalam hidupku bisa terjadi dalam waktu bersamaan.” Ini kisahku tentang menjadi perempuan menyusui.

Bajuku penuh noda susu, rambutku berdiri dan mengembang di satu sisi, wajahku kusut masai bagai habis ronda semalam suntuk, dan payudaraku… payudaraku sekeras batu bata! Hari itu anakku usianya 10 hari. Ia menyusu dengan gencar setiap dua atau tiga jam sekali, kadang bahkan setiap jam. Malamnya, seperti biasa, aku bangun setiap dua jam untuk menyusuinya lalu sekitar pukul 4 pagi ketiduran dengan sukses. Aku terbangun pukul 7.30 pagi dengan dada yang hampir pecah.

Dulu, sebelum punya Lila, aku selalu beranggapan breastfeeding atau menyusui adalah hal yang mudah. Beberapa temanku dengan alaminya bisa menyusui anak mereka sambil ngobrol atau makan tanpa merubah konsentrasi terhadap lawan bicara. Mereka membuatnya terlihat begitu gampang. Atau mungkin aku yang tidak tahu bahwa mereka sudah melewati fase ‘mimpi buruk’. Itu istilahku. Kalian boleh tidak setuju.

Lila lahir dengan berat badan yang di bawah rata-rata anak Amerika Serikat. Dalam kilogram berat lahirnya adalah 2,5 kilogram. Tapi si bayi mungil ini sejak awal sudah ganas menyusu. Rasanya yang kulakukan selama di rumah sakit hanya menyusui Lila. Untungnya rumah sakit yang kupilih sangat mendukung ASI eksklusif sehingga setiap kali aku merasa kesulitan para suster sigap membantuku dengan berbagai trik. Meski beratnya rendah, para suster tidak pernah menyarankanku untuk mencoba susu formula. Mereka selalu mengatakan bahwa persediaan susu itu akan datang jika Lila terus menyusu. Aku akan dan bisa mencukupi kebutuhan anakku.

Selama di rumah sakit Lila juga tidak pernah masuk ruang nursery, selalu bersamaku di dalam kamar. Meski tetap berakhir dengan puting yang lecet dan berdarah, namun Lila dan aku belajar bersama untuk menyempurnakan teknik menyusu dan menyusui. Hari-hari pertama itu sungguh krusial dalam membangun persediaan susuku.

Aku bersyukur karena dengan dinamika antara aku dan Lila untuk terus konsisten menyusu dan menyusui akhirnya produksi susuku mulai terbangun, bahkan kadang berlebih. Begitu berlebih hingga seringkali aku berakhir dengan payudara yang keras, penuh susu. Ibuku selalu mengingatkan untuk rajin memijat payudara agar tidak terjadi penggumpalan kelenjar susu. Bila itu terjadi maka bisa dipastikan aku bisa menangis kesakitan. Dan sialnya, sekali waktu, hal itu sungguh terjadi. Benar saja, aku menangis guling-guling kesakitan. Waktu melahirkan saja aku tidak sampai menangis seperti itu.

Selain mengerasnya payudara, rasa sakit yang membuatku ingin melepas dan melempar payudaraku ke tembok adalah yang menyerang puting susuku. Setiap gesekan dengan baju atau BH rasanya seperti disilet. Aku meringis setiap saat dan harus berjalan bungkuk karena ingin menghindari setiap gesekan dengan baju atau nursing pad. Belum lagi ketika harus menyusui Lila dengan puting yang babak belur itu di jam 2 pagi ketika seluruh dunia sedang tertidur nyenyak. Meski menyusui adalah hal yang teramat natural bagi semua mamalia, namun sungguh, proses awal untuk membuatnya natural penuh dengan darah dan air mata. Paling tidak dalam kasusku.

Di fase awal menyusui itu aku sering berpikir tentang bagaimana anjing atau mamalia yang lain bisa dengan mudah langsung menyusui anak-anaknya. Bahkan anak-anak mereka itu bisa langsung mencari puting induknya dan menyusu hingga tak sanggup lagi minum. Tetapi ibuku yang jurusan peternakan untuk S1 nya mengatakan bahwa sapi juga bisa kena mastitis (infeksi akibat terjadinya penumpukan susu di payudara). Dalam kasus yang parah si sapi bahkan bisa diamputasi payudaranya. Aduh!

Tubuh perempuan terus didorong untuk merambah ranah yang baru sejak pertama kali ia mengetahui bahwa ia hamil. Kehamilan selama 9 bulan membuat Rahim mengembang hingga berkali-kali lipat. Bersama itu ada mual-mual, kaki bengkak, varises, sakit pinggang serta punggung, susah tidur, bahkan ambeien. Lalu disambung dengan melahirkan dan kemudian menyusui dan mengurus si bayi. Salut sungguh aku pada tubuh perempuan.

Setelah 3 minggu bersama Lila, menyusui (atau saat setelah dan antara menyusui) sudah mulai tak menyiksa. Tubuhku nampaknya mulai terbiasa dengan pasokan yang dibutuhkan bayiku. Puting ku pun rasanya sudah makin tangguh. Aku kini bisa beroperasi normal tanpa meringis kesakitan atau mencelupkan dada ke baskom.

Di hari Lila lahir aku dihujani dengan ucapan selamat. Teman-teman atau saudara yang sudah jadi ibu biasanya menambahkan: “Semangat ya ASI-nya!” Aku yang belum paham betul hanya menanggapi ucapan itu sambil lalu. “Apa susahnya sih nyusuin anak sendiri?” kataku dalam hati. Dan kepongahanku dijawab langsung oleh Pemilik alam semesta. Aku dipaksa untuk menjadi rendah hati. Menjadi seorang ibu bukan hal yang mudah. Proses belajar yang harus dilalui terkadang keras dan tak masuk akal.

Menyediakan ASI eksklusif bagi anak butuh komitmen dan kerja keras. Butuh rasa penasaran dan sifat keras kepala. Butuh puting yang babak belur dan payudara sekeras bata. Butuh dukungan dan semangat dari orang-orang yang dicinta. Beruntunglah mereka yang langsung lancar dengan ASI nya atau tak mengalami sakit dalam proses menyeimbangkan supply dan demand. Bagi perempuan kebanyakan sepertiku, proses menyediakan ASI bagi Lila membutuhkan aku untuk meraih ke dalam relung batin terdalam dan mencari kekuatan untuk terus berjalan melawan rasa sakit serta keinginan untuk menyerah.

Aku beruntung dikelilingi orang-orang yang mendukungku untuk terus menyusui Lila. Aku juga beruntung karena susuku lancar dan cukup bagi Lila. Aku sadar betul banyak perempuan yang setengah mati mencoba menyediakan ASI bagi anaknya, namun entah bagaimana, ASI itu tak kunjung datang atau mencukupi. Tidak ada yang salah dengan formula, terutama jika itu untuk kebaikan si anak. Ibu mana yang rela anaknya kelaparan atau kurang gizi? Apresiasi terhadap seorang ibu tak seharusnya dibatasi kepada keputusan mereka untuk menyediakan ASI atau formula. Kini ku sadar betul bahwa hubungan ibu dan anak dalam soal menyusui berbeda-beda. Keputusan itu unik bagi setiap individu dan tak seharusnya dinilai baik atau buruk oleh orang lain.

Hormatku untuk para perempuan dan tubuhnya. Lebih dari sekedar indah, tubuh yang kita miliki ini tangguh luar biasa. Jangan biarkan mata kita terpaku pada standar keindahan yang dimiliki masyarakat. Indahnya tubuh perempuan tak hanya satu ukuran. Tak ada perempuan yang hanya satu dimensi. Cerita yang sudah dilalui  tubuh itu jauh lebih penting dan berharga dari penilaian yang diberikan orang lain kepadanya.

Tetap semangat!


Comments

Popular Posts