Lila Gaia Pramudito

Lila Gaia Pramudito lahir di Rumah Sakit Memorial-Hermann Katy, Texas, Amerika Serikat pada tanggal 15 November 2014 jam 02:01 dini hari. Manusia kecil itu mencuri hatiku sejak tangis pertamanya.




Jujur saya, awalnya tidak ada yang menyangka Lila Gaia Pramudito akan menjadi anggota baru di keluarga kami. Setelah menikah selama 4 tahun lebih, pertanyaan tentang kapan punya anak semakin jarang terlontar dari keluarga maupun teman. Antara sudah malas dengar jawaban kami yang absurd atau takut kami tersinggung. Kami sendiri bersyukur jika diberi keturunan, tetapi tidak akan menghujat dunia jika berakhir berdua saja hingga akhir hayat.

Di suatu pagi di bulan Maret, setelah tamu bulanan yang sudah telat 4 minggu dari waktunya, aku melakukan tes kehamilan di rumah. Tulisan: "PREGNANT" muncul setelah 3 menit berlalu. Hidupku pun berubah. Sejak detik itu seluruh hidup, jiwa dan ragaku bersiap untuk kedatangan Lila.

Kehamilanku cenderung lancar dan mudah. Aku tidak pernah muntah, hampir tidak pernah mual, tidak pilih-pilih makanan, tidak terlampau emosional, dan tetap beraktifitas fisik seperti biasanya. Aku jalan bersama anjing-anjingku setiap pagi, melakukan yoga, bahkan sempat trekking di Kosta Rika ketika usia kehamilanku 5 bulan. Di trimester ketiga memang mulai ada sedikit sakit pinggang dan sulit tidur, tetapi aku tetap menikmati kehamilanku.

Di Amerika Serikat memakai obat penahan rasa sakit dalam proses melahirkan telah menjadi sesuatu yang sangat biasa. Begitu juga dengan operasi cesar dan induksi dengan bantuan obat. Begitu wajarnya hingga kebanyakan rumah sakit dan praktisi medis memandang nyinyir mereka-mereka yang ingin melahirkan normal tanpa obat. Para ibu yang ingin melahirkan tanpa obat seringkali dianggap sok tahu dan membahayakan anak di dalam kandungannya karena mempertanyakan norma normal di dunia obstetrik moderen.

Ketika baru awal-awal hamil aku mendengar begitu banyak cerita horor mengenai proses melahirkan. Perempuan yang baru pertama kali hamil hampir selalu bertanya, "Sakitnya kayak apa sih?". Aku pun demikian. Sambil mendengarkan penjelasan teman-teman yang sudah pernah melahirkan, aku ikut meringis ngilu. Awalnya aku berpikir untuk memakai epidural. "Mengapa aku ingin merasakan sakit yang demikian hebat kalau aku bisa menghindarinya?" pikirku ketika itu. Pendek dan sederhana, aku menjawab sebelum mencoba kritis.

Ketika memasuki trimester kedua aku mulai banyak mencari tahu tentang proses melahirkan. Aku merasa waktu semakin dekat dan aku harus bersiap. Lewat riset yang aku lakukan tentang proses melahirkan menggunakan epidural, aku akhirnya tiba pada sebuah realisasi: aku tidak ingin memakai epidural. Pikiran tentang perempuan-perempuan Indonesia yang dibantu dukun beranak seperti Bu Rohani pun turut berkontribusi terhadap berubahnya pendapatku. Sebuah pencerahan datang padaku: perempuan telah melahirkan tanpa obat sejak jaman dahulu kala. Tidak ada alasan bagiku untuk merasa tidak mampu melakukannya. Tubuh perempuan diciptakan untuk hamil dan melahirkan. Aku perlu menghargai tubuhku dan kehebatannya.

Maka aku mulai mempersiapkan diri. Aku dan suami mendaftar ikut kelas Bradley Method yang fokus pada proses melahirkan natural tanpa obat. Metode ini menekankan pentingnya suami untuk menjadi coach bagi si istri dalam proses melahirkan. Aku banyak membaca buku dan artikel internet mengenai topik ini, dan tak lupa terus berolahraga dan mengkondisikan tubuh. Knowledge is power.

Aku beruntung menemukan dokter yang mendukung keinginanku. Tentu ia mengingatkan bahwa aku harus tetap berpikiran terbuka terutama jika dihadapkan pada keadaan yang mendesak dan membutuhkan penanganan medis secara cepat. Intinya, ia mendukung keinginanku untuk tidak memakai obat, membiarkan bayiku lahir tanpa induksi, dan tidak melakukan episiotomy. Ia hanya mensyaratkan aku untuk kooperatif bila ia perlu melakukan tindakan medis untuk menyelamatkan aku ataupun Lila. Aku tentu saja setuju.

Ketika kehamilanku menginjak 39 minggu di hari Jumat tanggal 14 November, aku datang ke dokter untuk pemeriksaan rutin. Menurut pengamatan bu dokter pagi itu aku bukaan 1. Pulang dari dokter aku mulai merasakan kontraksi ringan. Aku memasuki fase laten proses persalinanku pada pukul 10 pagi. Bagi perempuan yang baru pertama kali melahirkan, fase ini biasanya berlangsung selama 12-24 jam, pembukaan serviks 1-3 cm.



Aku mencoba tetap aktif dalam fase latenku, namun juga mencoba tidur siang untuk menyimpan tenaga. Sesuai dengan saran yang kuterima dari kelas Bradley method, dalam fase awal ini aku mencoba berjalan kaki keliling kompleks, duduk di atas bola pilates, dan berendam air panas untuk mengatasi sensasi kontraksi dan membuat Lila masuk ke posisi optimal untuk persalinan.

Pukul 8.30 malam kontraksi ku mulai berjarak 5 menit dan berlangsung selama 1 menit. Dokterku memberi aturan 5-1-1 untuk berangkat ke rumah sakit. Artinya kontraksiku harus berlangsung selama paling tidak 1 menit, berjarak paling tidak 5 menit antar kontraksi, dan pola ini terjadi selama minimal 1 jam. Pukul 9.45 malam akhirnya aku menyerah dan meminta suamiku untuk mengantarku ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit suster langsung memeriksaku. Pembukaanku saat itu adalah 3-4 cm dengan kantung air ketuban yang siap pecah. Pukul 11 malam aku masuk ruang persalinan. Aku beruntung karena malam itu dokterku tugas jaga. Semua suster sudah mengetahui rencanaku untuk melahirkan normal tanpa intervensi obat-obatan dan karena dokterku sudah memberikan restunya, para suster sama sekali tidak mencoba menawariku epidural. Sebagai kompromi aku hanya perlu memakai kateter infus kalau-kalau aku butuh menerima obat dan/atau cairan secara cepat.





Sejak memasuki ruang persalinan aku mencoba beragam posisi untuk meminimalisir rasa sakit saat kontraksi. Aku duduk di bola pilatesku, berjalan-jalan keliling ruangan, menyender pada meja, berjongkok, dan bolak-balik ke kamar mandi. Setiap kali kontraksi datang aku menutup mata dan membayangkan sedang menyelam di Roatan, Honduras, tempat menyelam favoritku. Aku mencoba terus bernafas dan tidak fokus pada sensasi yang melibas.

Pukul 12 malam kontraksiku datang dengan jarak waktu yang semakin pendek. Semakin sulit bagiku untuk berdiri, apalagi bergerak. Maka aku memilih untuk duduk bersila di atas tempat tidur dan bersandar pada tempat tidur yang ditegakkan hampir 90 derajat. Setiap kali kontraksi datang aku menutup mata dan mencoba tidak teriak. Teriakan nada tinggi hanya membuang energi dan membuat serviks ku tegang. Maka aku mengeluarkan erangan bernada rendah sambil membuang nafas. Aris bolak-balik mengingatkanku untuk terus membuang nafas karena tanpa sadar aku seringkali menahan nafas. Aris dan ibuku berdiri di samping kiri dan kanan tempat tidur memegang tanganku. Aku meremas kencang tangan mereka setiap kali kontraksi datang.






Pukul 1.30 suster datang untuk mengecek pembukaanku. Aku sudah pembukaan 8. Aris dan ibuku bersorak karena sudah semakin dekat waktunya Lila untuk hadir ke dunia. Sementara aku merasa putus asa karena berarti masih ada 2 cm lagi yang harus kulalui dan kontraksiku sudah sangat intens. Setiap kali aku ingin menyerah, Aris menyemangatiku untuk tidak melakukannya. Tidak sekalipun ia meragukan kemampuanku untuk melakukan persalinan tanpa intervensi.

Pukul 1.50 aku mendadak mendapatkan keinginan kuat untuk mendorong. Begitu kuatnya keinginan itu hingga aku berteriak ketakutan. Aku sungguh takut akan apa yang sedang terjadi pada tubuhku. Momen itu begitu asing dan aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Mendengar teriakanku suster datang lagi untuk memeriksa dan tanpa tunggu lama ia memanggil dokter dan seluruh tim persalinanku untuk masuk ruangan. Lila sudah siap untuk melihat dunia.

Dalam sekejap ruangan yang tadinya sepi itu penuh orang dan terang-benderang. Semua bersiap dengan masker, sarung tangan, dan penutup kepala. "Lift your legs up, Andini, and hold up your thighs," pinta dokterku. Lalu ia memecahkan kantung ketubanku. Seketika aku merasakan rasa lega yang luar biasa dan Lila yang posisinya semakin turun. "Okay, with the next big contraction I want you to push hard!" seru dokterku. Aku pun bersiap menyambut kontraksi selanjutnya. Perempuan yang sedang dalam proses persalinan bisa merasakan kedatangan setiap kontraksi. Seperti ombak raksasa, momentum itu terbangun pelan hingga akhirnya mencapai titik klimaks dan turun lagi. "Push!" rasanya seluruh ruangan berteriak menyemangatiku. "Hold! Now just do small pushes, Andini. Small pushes," pinta dokterku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan tubuhku dari mendorong Lila keluar terlalu cepat. Satu dorongan kemudian aku mendengar suara tangisan pecah di ruangan, membahana dan merdu. Suara anakku. Perutku langsung terasa kosong. Lila Gaia Pramudito pun diletakkan di dadaku.






Karena mendorong terlalu keras aku mengalami robek tingkat kedua. Sambil memeluk Lila dokter mengeluarkan plasentaku dan menjahit robekku. Aris diberi kesempatan memotong tali pusar anak perempuannya. Aku bernafas lega karena proses persalinan akhirnya berlalu.

Tanpa obat, proses melahirkanku sangat menyakitkan. Aku bicara sejujurnya. Rasa sakit yang kurasakan tidak bisa disamakan dengan apapun. Tubuhku memasuki sebuah zona yang sama sekali baru dan didorong hingga ke titik paling ekstrem dalam spektrum rasa sakit. Meski luar biasa sakit, namun tubuh dan pikiranku mampu mengatasinya. Aku mampu mengatasinya. Ketika seorang teman menanyakan bilamana aku akan melakukan proses persalinan tanpa intervensi lagi bila kami sampai punya anak kedua, aku menjawab tanpa ragu bahwa aku akan melakukannya lagi. Mengapa tidak?




Proses persalinanku sangat istimewa karena aku melakukannya bersama dua orang yang paling kusayang di dunia: ibuku dan suamiku. Mereka menjadi sumber kekuatanku untuk mengatasi setiap kontraksi. Dan hadiah terbaik di akhir perjuanganku adalah Lila Gaia yang mungil namun sempurna.





Kini aku lebih menghargai tubuhku. Betapa luar biasa kemampuannya, betapa luar biasa kekuatannya. Mekanisme tubuh seorang perempuan untuk melahirkan seorang anak ke dunia sungguh tak tertandingi. Aku bersyukur karena sudah berhasil merasakan setiap ngilu dan sakit dalam proses persalinanku. Selama ini kukira aku mengenal tubuhku. Tetapi hingga hari itu, hari ketika Lila ku lahir, aku tak benar-benar tahu tubuhku dan kemampuannya. Aku mencintai tubuhku. Sungguh. Terima kasih, Semesta.

Comments

Post a Comment

Popular Posts