Serangan Panik

Panic attack didefinisikan (dan diterjemahkan) oleh news-medical.net sebagai: episode ketakutan yang sangat intens dan mendadak. Episode ini bisa bertahan selama beberapa detik hingga berpuluh menit.

Serangan panik ditandai oleh gejala umum (termasuk dan tidak terbatas) sebagai berikut: gemetar, dyspnea (sesak napas), jantung berdebar, nyeri dada (atau sesak dada), hot flashes, sensasi terbakar (terutama di daerah wajah atau leher), berkeringat, mual, pusing (atau vertigo), hiperventilasi, parestesia (sensasi kesemutan), sensasi tersedak atau menyesakkan, dan derealisasi (kesulitan memahami realita).

Panic attack pertama dan satu-satunya yang pernah terjadi pada saya terjadi di dalam air. Di perairan Pulau Komodo ketika akan memulai sebuah sesi scuba diving. Untuk pertama kalinya dalam 3 tahun saya menyelam (dan kurang lebih 40 sesi menyelam), baru saat itu saya ingin naik ke permukaan tanpa pikiran tentang safety stop (dari kedalaman 15 meter), memuntahkan regulator, dan bernafas dengan normal. Baru kali itu saya ingin memilih menunggu di atas kapal, daripada menjelajahi dunia bawah laut. Jantung saya berdetak terlalu cepat, saya bernafas dengan pendek dan cepat (hiperventilasi), dan mendadak semua terasa gelap serta mengukung. Karim adalah manusia yang membuat saya tetap berada di bawah air dan membantu saya mengusir rasa panik dengan kembali mengatur nafas. Ia adalah Dive Master yang menemani saya dan suami selama 3 hari di Taman Nasional Komodo.

Apa yang memantik serangan panik tersebut? Suami saya. Atau tepatnya, pikiran tentang kehilangan suami saya. Di sesi menyelam sebelumnya (sesi pertama dalam kunjungan kami di Komodo) suami saya kesulitan melakukan negative entry. Negative entry adalah ketika penyelam masuk ke air dengan koprol ke arah belakang dari pinggir kapal lalu langsung turun ke kedalaman tertentu dengan kepala di bawah dan kaki digerakkan ke atas dan bawah untuk memberikan dorongan. Ini biasanya dilakukan di tempat-tempat dengan arus air yang kencang supaya penyelam tidak terombang-ambing di permukaan laut sebelum turun ke bawah dengan positive entry. Di sesi pertama saya melihat suami saya sedikit terseret arus dan kesulitan menemukan karang untuk dipegang. Ia baik-baik saja, bahkan sesi pertama itu cukup menyenangkan setelah kejadian tersebut.

Entah kenapa di sesi kedua kepala saya penuh dengan kekhawatiran tentang suami saya. Padahal ia penyelam yang jauh lebih baik dari saya. Ia selalu penuh perhitungan dan tenang. Begitu masuk ke dalam air kekhawatiran itu menyerang dengan lebih intens. Saya berhasil melakukan negative entry dan kemudian melihat bahwa suami saya juga berhasil melakukannya. Saya bahkan melihatnya mulai menyesuaikan diri dan merasa nyaman. Tetapi kemudian saya malah diserang panik. Karim berada di depan, sementara suami saya di belakang saya, sibuk memperhatikan ikan dan terumbu karang. Karena merasa tidak bisa bernafas, saya mulai panik dan mencoba segala cara menarik perhatian Karim. Saya tarik fin nya (karena secara posisi saya lebih dekat dengan Karim daripada dengan suami saya) dan di saat itulah ia melihat mata saya membelalak lebar. Saya memberikan tanda dengan kedua tangan bahwa saya merasa panik sekali. Sinyal itu buatan saya sendiri karena rasa-rasanya saya tidak tahu ada sinyal tangan untuk serangan panik. Karim segera menangkap apa yang sedang terjadi. Ia mengenggam tangan saya hingga saya lepas dari serangan panik yang bertahan kurang lebih 30 detik. Sungguh, hari itu ia adalah pahlawan saya.

Karim dan Kami

Memori tentang momen itu muncul hari ini karena saya sedang banyak berpikir tentang proses melahirkan. Kehamilan saya sudah berusia 6 bulan dan saya sedang gencar melakukan riset tentang proses melahirkan. Entah mengapa semua cerita yang saya dengar dari teman-teman sangat menyeramkan. Pikiran tentang rasa sakit dan rasa sakit itu sendiri bisa sekali mengundang serangan panik. Dan ketika serangan itu datang nafas menjadi cepat dan reaksi pertama tubuh (atau tepatnya pikiran manusia yang kemudian memberikan komando kepada tubuh) adalah untuk membuat bagian yang sakit itu menjadi kaku dan kencang. Sebaliknya, dari yoga saya belajar untuk bernafas ke pusat rasa sakit dan melepaskan diri.

Tentu, saya memang belum tahu rasa sakit dari melahirkan. Saya hanya bisa bicara teori. Tetapi saya sungguh ingin proses melahirkan saya nanti menjadi sebuah momen yang sakral dan natural. Saya tidak ingin membiarkan rasa sakit menjadi pusat dari segala cerita saya di hari itu. Dan jika Semesta memberikan restu, saya tidak ingin dioperasi dan memakai obat penahan rasa sakit. Saya ingin menghargai tubuh dan instingnya. Dan jika saya tiba di titik di mana segalanya jadi tidak masuk akal dan saya ingin menyerah, saya ingin suami saya memegang tangan saya dan membuat saya yakin bahwa segala rasa sakit itu akan berlalu, bahwa ia ada bersama saya. Saya perlu teman bernafas dan ia sudah terbukti sebagai sahabat terbaik selama 9 tahun terakhir. Hingga saat ini saya masih yakin ia jauh lebih baik daripada segala obat pereda rasa sakit.

Semoga Semesta memberi restu.

Comments

Popular Posts