Menari Saja Lah!


Waktu SMP dulu saya ingat pernah kesal sekali pada dua orang teman dekat. Di suatu hari Sabtu, sepulang sekolah, mereka bermain rollerblade dan tidak mengajak saya. Sudah hampir dua puluh tahun berlalu dan saya masih ingat betul perasaan di hari itu. Bukan dendam, saya hanya malu luar biasa karena ketika itu menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang penting.

Hari ini seorang teman mengutarakan bahwa ia sedang merasa kacau. Ia tidak terlalu nyaman berada di dalam lingkungan pertemanannya tetapi ia juga ingin merasa terasosiasi dengan sesuatu. Ia merasa perlu menjadi bagian dari sesuatu.

Di masa sekolah orang biasanya punya kelompok pertemanan. Penting rasanya untuk datang ke sekolah dan tahu bahwa sekelompok orang ini akan bermain, makan siang, belajar, atau pulang bersama kita. Penting rasanya untuk diasosiasikan kepada sesuatu. Kalau yang satu disakiti, semua ikut merasa tersakiti, meski seringkali tak jelas apa alasannya. Kelompok pertemanan pun berevolusi karakteristiknya. Kelompok pertemanan di SD berbeda dengan yang di bangku kuliah. Gaya pertemanan yang sangat intens di jaman SD, SMP, atau SMA, tidak lagi terjadi di bangku kuliah. Kedekatannya berbeda, pendekatannya berbeda.

Lebih menarik lagi adalah bagaimana pertemanan intens di bangku sekolah kemudian mulai renggang dan berjarak ketika sudah tidak lagi berada di sekolah atau lingkungan yang sama. Orang berubah, situasi berganti, kebutuhan akan pertemanan yang macam apa juga tak lagi sama. Mereka yang dahulu dekat dengan kita kini mungkin jadi salah satu orang yang terjauh. Ada jarak yang bukan hanya fisik.

Tinggal di luar negeri, jauh dari keluarga dan teman-teman kadang menimbulkan rasa rindu akan sesuatu yang berbau Tanah Air. Berinteraksi dengan manusia-manusia dari Negara yang sama bisa membuat perasaan rindu luntur. Tetapi masalahnya adalah seringkali ketika merantau pertemanan yang terjalin hanya dilatarbelakangi kesamaan asal muasal saja. Ketika pertemanan yang seperti ini menjadi intens maka muncullah friksi-friksi karena ketidakcocokan karakter. Bagi saya ini hal yang wajar. Beggars cannot be choosers.

Dalam 31 tahun hidup di dunia saya belajar bahwa teman pun adalah orang lain. Dan prinsip saya adalah: siapapun yang bukan diri saya tidak bisa saya atur-atur kelakuan dan cara berpikirnya. Jadi saya tidak punya ekspektasi terhadap teman-teman saya. Dan sebaiknya mereka juga tidak punya ekspektasi terhadap saya karena saya pasti akan membuat mereka kecewa.

Saya sudah banyak berubah sejak drama rollerblade itu. Drama rollerblade yang patut saya syukuri. Dari kejadian itu saya belajar bahwa mereka yang saya anggap dekat bisa jadi tidak menganggap saya dekat. Mereka yang saya anggap teman, bisa jadi punya teman yang mereka lebih sukai. Atau mereka hanya lupa mengajak saya. Tak perlu sakit hati. Dari kejadian itu saya belajar bahwa satu-satunya orang yang bisa membuat saya baik-baik saja adalah saya. Satu-satunya orang yang bisa saya harapkan untuk membuat saya merasa utuh dan dicintai hanyalah saya.

Di sini saya berteman karena saya merasa senang menghabiskan waktu bersama orang-orang itu. Isi pembicaraan kebanyakan hal yang remeh-remeh saja: cara mengurus anak, kehamilan, menu makan malam buat suami, diskon belanja, politik atau berita artis dari Indonesia, kadang juga tentang uneg-uneg rumah tangga atau lika-liku hidup rantau. Tidak ada yang terlalu serius karena memang sesungguhnya setiap orang di lingkaran pertemanan ini punya karakter, minat, dan latar belakang yang berbeda-beda. Saya merasa nyaman dengan yang seperti ini terutama karena jarang sekali pembicaraan berfokus pada seseorang yang tidak ada di tempat, alias jadi ngegosip. Kalaupun di belakang saya ternyata ada gossip ya saya sih tidak peduli. Bahkan jika saya yang jadi subyeknya.

Di usia yang sudah kepala 3 ini saya tidak lagi mencari sahabat baru. Sahabat bagi saya adalah orang yang bisa jadi tumpahan segala emosi. Seseorang yang tahu segala borok dan cacat yang saya miliki dan tetap menerima saya tanpa berpikir dua kali. Seseorang yang tidak takut menjadi cermin bagi segala kekurangan yang saya miliki. Seseorang yang tidak takut berkata: “Loe salah” atau sekalian “What you did was real shitty” ke depan muka saya. Sebaliknya, mereka pun tidak mutung ketika saya gantian menjadi kaca bagi ketidaksempurnaan mereka. Saya punya orang-orang yang demikian itu. Tidak banyak, tetapi saya punya. Hebatnya lagi, dengan mereka-mereka ini tidak dibutuhkan komunikasi intens setiap waktu. Kami bisa melakukan hal yang berbeda-beda, berteman dengan orang yang berbeda-beda, namun di satu titik kami akan pulang ke tempat yang sama dan bicara seakan tidak pernah ada waktu yang berlalu.

Jadi tadi saya bilang ke teman saya yang sedang kacau itu: “You belong to you. You are perfect, you are enough.” Kalau kita tidak bisa menjadi teman terbaik buat diri sendiri maka kacau lah semuanya. Terus mencari ke sana ke mari untuk sebuah asosiasi semu sangatlah melelahkan. Repot-repot mencari ke luar sementara yang kita butuhkan ada di dalam.

Kesepian adalah masalah utama dari mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah saja. Ketika sepi melanda maka pikiran pun sulit diatur, bergerak ke sana ke mari, menciptakan plot, menginisiasi spekulasi. Ini yang bahaya. Kebahagiaan jadi sesuatu yang sangat abstrak. Sampai saat ini yang jadi senjata saya untuk memerangi kesepian adalah mencipta dan bergerak. Ciptakan apa saja meski mungkin tampak kecil dan tak bermakna. Bisa tulisan, masakan, lukisan, foto, atau jahitan. Lalu bergerak! Lakukan apa saja selain tidur dan nonton TV. Jalan ke luar rumah, bersihkan rumah, cuci baju, mandikan anjing, atau berdansa sendirian dengan lagu yang diputar kencang-kencang. Siapa peduli?

Sulit memang mengangkat diri dari perasaan sepi dan tidak bahagia. Tak usahlah dianalisa terlalu dalam kesedihan dan ketidakbahagiaan itu. Sungguh, lebih baik pasang musik kencang-kencang dan menarilah dengan gila hingga puas. Saya kadang bahkan melakukannya dengan telanjang. Haha!

 

Comments

Popular Posts