Kecam, Kutuk, Kejar, Hukum
Sekali lagi kekerasan (yang dipercaya) berlatarbelakang agama terjadi di Indonesia. Kali ini di Sleman, Yogyakarta. Sekelompok orang yang sedang berdoa rosario bersama untuk memperingati bulan Maria yang ada di kalender agama Katolik tiba-tiba diserang dan dianiaya. Dalam kejadian itu seorang wartawan juga terluka.
Muaknya sudah sampai ke ubun-ubun. AJI Yogyakarta kecam aksi anarkis ini. Permasuri Kraton prihatin terhadap penganiayaan yang terjadi. Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengeluarkan pernyataan apa-apa. Ya sudahlah, itu sudah bisa diprediksi.
Kalau sudah bicara agama, orang memilih cari jalan aman. Takut dibilang A, takut dibilang B, takut dibilang kafir, komunis, atheis. Saya adalah salah satu orang yang lebih memilih menyimpan sendiri pendapat saya tentang agama meski saya tidak peduli dicap atheis, komunis, atau kumis. Saya memilih tidak berpendapat tentang agama secara umum, apapun itu.
Menurut saya, yang terjadi di Indonesia bukan lagi tentang agama. Ini tentang premanisme, bullying, melawan hukum, jelas-jelas menebar genderang permusuhan terhadap Pancasila dan UUD '45. Oh ya, saya masih percaya Pancasila dan UUD '45. Mana Pemuda Pancasila yang katanya pendukung dan pembela Pancasila? Saya tidak kesal pada PP. Mereka saya pilih dalam konteks ini karena mereka memakai kata Pancasila dengan sangat royal seakan hidup dan mati mereka ditentukan oleh Pancasila. Tetapi bukankah kita semua mengaku pembela Pancasila? Lewat kejadian kekerasan semacam yang terjadi di Sleman, dasar negara kita diinjak-injak oleh orang-orang yang merasa boleh-boleh saja menghancurkan materi milik orang lain, menganiaya sesama warga negara, menciptakan ketakutan, menyebarkan kebencian. Ini masalahnya. Kita menganggap kebencian adalah hal yang tidak berbahaya. Ini bukan masalah agama. Ini masalah kegelapan hati dan sempitnya pikiran. Kebencian sangat sangat berbahaya.
Saya pribadi tidak peduli siapa dan apa yang disembah dan dipercaya oleh orang lain. Dia boleh percaya Muhammad, Yesus, Buddha, dewa-dewi Yunani, bahkan spaghetti dan pohon kaktus sekalipun. Dia boleh berdoa ke timur, barat, utara, selatan, atau sambil tiger sprong. Dia boleh memilih sholat, yoga atau berdoa rosario untuk merasa dekat dengan siapapun yang dia sembah. Menentukan siapa dan apa yang boleh dan tidak boleh disembah oleh orang lain bukan lah urusan saya. Saya bukan bertoleransi. Saya percaya itu hak setiap manusia. Salah satu hak paling dasar bagi saya adalah untuk menentukan sendiri spiritualitas. Hak untuk memeluk agama atau tidak memeluk agama. Namun sebaliknya saya juga percaya bahwa setiap manusia punya kewajiban untuk menyimpan sendiri apa yang dia percaya. Tak perlu memaksa, menghakimi, mengajak-ajak orang lain untuk percaya apa yang dia percaya. Apa lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk menunjukkan betapa benarnya apa yang dia percaya.
Jadi sekali lagi, ini soal kebencian dan kegelapan hati. Bagi saya, sama saja antara orang-orang itu menyerang sekelompok orang yang sedang doa rosario dengan mereka menyerang sebuah panti asuhan berisi anak-anak yang sedang main petak umpet. Intinya adalah: yang mereka sakiti adalah manusia, terlepas usia, gender, ukuran tubuh, kondisi sosial-ekonomi, dan agama. Dan ini adalah sebuah kejahatan. Harus ditindak sebagai kriminalisme. Kecam, kutuk, kejar, hukum. Ini tidak boleh terjadi lagi.
Muaknya sudah sampai ke ubun-ubun. AJI Yogyakarta kecam aksi anarkis ini. Permasuri Kraton prihatin terhadap penganiayaan yang terjadi. Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengeluarkan pernyataan apa-apa. Ya sudahlah, itu sudah bisa diprediksi.
Kalau sudah bicara agama, orang memilih cari jalan aman. Takut dibilang A, takut dibilang B, takut dibilang kafir, komunis, atheis. Saya adalah salah satu orang yang lebih memilih menyimpan sendiri pendapat saya tentang agama meski saya tidak peduli dicap atheis, komunis, atau kumis. Saya memilih tidak berpendapat tentang agama secara umum, apapun itu.
Menurut saya, yang terjadi di Indonesia bukan lagi tentang agama. Ini tentang premanisme, bullying, melawan hukum, jelas-jelas menebar genderang permusuhan terhadap Pancasila dan UUD '45. Oh ya, saya masih percaya Pancasila dan UUD '45. Mana Pemuda Pancasila yang katanya pendukung dan pembela Pancasila? Saya tidak kesal pada PP. Mereka saya pilih dalam konteks ini karena mereka memakai kata Pancasila dengan sangat royal seakan hidup dan mati mereka ditentukan oleh Pancasila. Tetapi bukankah kita semua mengaku pembela Pancasila? Lewat kejadian kekerasan semacam yang terjadi di Sleman, dasar negara kita diinjak-injak oleh orang-orang yang merasa boleh-boleh saja menghancurkan materi milik orang lain, menganiaya sesama warga negara, menciptakan ketakutan, menyebarkan kebencian. Ini masalahnya. Kita menganggap kebencian adalah hal yang tidak berbahaya. Ini bukan masalah agama. Ini masalah kegelapan hati dan sempitnya pikiran. Kebencian sangat sangat berbahaya.
Saya pribadi tidak peduli siapa dan apa yang disembah dan dipercaya oleh orang lain. Dia boleh percaya Muhammad, Yesus, Buddha, dewa-dewi Yunani, bahkan spaghetti dan pohon kaktus sekalipun. Dia boleh berdoa ke timur, barat, utara, selatan, atau sambil tiger sprong. Dia boleh memilih sholat, yoga atau berdoa rosario untuk merasa dekat dengan siapapun yang dia sembah. Menentukan siapa dan apa yang boleh dan tidak boleh disembah oleh orang lain bukan lah urusan saya. Saya bukan bertoleransi. Saya percaya itu hak setiap manusia. Salah satu hak paling dasar bagi saya adalah untuk menentukan sendiri spiritualitas. Hak untuk memeluk agama atau tidak memeluk agama. Namun sebaliknya saya juga percaya bahwa setiap manusia punya kewajiban untuk menyimpan sendiri apa yang dia percaya. Tak perlu memaksa, menghakimi, mengajak-ajak orang lain untuk percaya apa yang dia percaya. Apa lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk menunjukkan betapa benarnya apa yang dia percaya.
Jadi sekali lagi, ini soal kebencian dan kegelapan hati. Bagi saya, sama saja antara orang-orang itu menyerang sekelompok orang yang sedang doa rosario dengan mereka menyerang sebuah panti asuhan berisi anak-anak yang sedang main petak umpet. Intinya adalah: yang mereka sakiti adalah manusia, terlepas usia, gender, ukuran tubuh, kondisi sosial-ekonomi, dan agama. Dan ini adalah sebuah kejahatan. Harus ditindak sebagai kriminalisme. Kecam, kutuk, kejar, hukum. Ini tidak boleh terjadi lagi.
Comments
Post a Comment