Jakarta via Istanbul
Rumahku bukan di Jakarta, tetapi ketika orang bertanya, aku biasanya tidak menjawab, “Aku pulang ke Depok.” Jakarta lebih dikenal dan merupakan tempat kelahiranku. Jadi maaf Depok, bukan maksud melukai perasaanmu.
Sudah dua tahun sejak kepulangan terakhirku. Selama dua tahun itu kadang muncul perasaan ingin pulang. Rindu rumah. Tetapi sering kali aku lebih sibuk dengan apa yang aku lakukan sehari-hari, menikmati waktu bersama suami, adik ipar dan ketiga anjingku. Kadang ketika komunikasi jarang dilakukan dengan orang yang berada di nun jauh di sana, bisa sedikit hilang rasa rindu itu. Mungkin juga karena aku berusaha menghilangkannya. Perasaan itu bisa sungguh menyakitkan dan seringkali aku tidak ingin menghadapinya.
Ketika aku akhirnya membeli tiket pulang dan memutuskan untuk berlibur di Indonesia selama 2 bulan lebih, aku bahagia luar biasa. Bayangan tentang bertemu ibu, bapak, adik, keluarga besar, dan teman-teman membuatku bersemangat dan ingin segera pulang. Tetapi tebak yang terjadi kemarin atau sejak beberapa hari sebelum aku pulang. Aku tidak ingin pulang. Aku begitu senewen untuk pulang hingga rasanya aku tidak ingin pulang. Sangat menggelikan bukan? Aku menangis berurai air mata ketika mengucap perpisahan dengan anjing-anjing dan suamiku.
Di mobil menuju Bandar udara aku menangis lagi. Sempat aku utarakan kepada suami bahwa aku merasa berat untuk pulang. Bingung dan senewen. Aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi di sana. Dan mungkin bagian terberat adalah suamiku tidak bersamaku. Betapa luar biasa bahwa kini aku sulit sekali berpisah dengan suamiku. Dia manusia yang menyebalkan. Sungguh. Tetapi setiap hari bersamanya adalah berkat yang teramat besar bagiku. Aku sungguh rindu dia saat ini.
Sambil memandangku yang berurai air mata ia mengatakan padaku kemarin di dalam mobil, “Just be present. Kalau kamu pulang, ya kamu harus ada di sana. Kalau kamu di sini ya kamu harus di sini.” Aku tercengang. Itu caraku berpikir jika sedang waras. Aku tidak waras beberapa hari terakhir. Maksud dari kalimatnya, bagi pembaca yang tidak mengerti, adalah: tidak perlu lah rasa cemas itu. Nikmati saja yang terjadi saat ini. Maka aku berhenti menangis. Ingin membantah dan memberikan penjelasan mengapa aku pantas sedih dan menangis, tetapi dia benar. Maka aku berhenti menangis.
Ia mengantarku ke pintu bandar udara, membantuku menurunkan koper dan mengucap selamat tinggal. Aku lebih memilih yang seperti itu. Aku tidak ingin menangis di depan umum jika dia sampai mengantarku ke dalam. Maka kemarin, tepatnya 15 jam yang lalu aku memulai perjalanan panjangku ke Jakarta, sendirian. Total perjalananku sendiri adalah sekitar 32 jam sejak meninggalkan Houston.
Untuk pertama kalinya aku memilih untuk naik Turkish Airlines. Ada waktu tunggu sekitar 8 jam antara kedatanganku di Turki dan keberangkatan pesawatku ke Jakarta. Perjalanan dari Houston ke Istanbul, Turki memakan waktu hampir 12 jam, jadi aku sudah membayangkan untuk membunuh waktu dengan berjalan-jalan di Istanbul, meski hanya beberapa jam sebelum berangkat ke Jakarta.
Warga Negara Indonesia butuh visa untuk masuk Turki. Sungguh gampang untuk mendapatkan visa tersebut. Cukup mempergunakan internet dan printer, maka dalam waktu kurang dari 5 menit visa itu sudah bisa berada di tangan. Harganya $25 sekali masuk Turki. Aku sudah sempat melakukan riset tentang Istanbul dan apa yang bisa aku lakukan untuk layover 8 jam. Banyak orang pernah melakukannya dan hampir semua mengatakan bahwa gampang untuk menavigasi daerah turis Istanbul.
Ada beberapa pilihan dari bandar udara Ataturk. Bisa naik taksi, bisa naik tram atau kereta, dan bisa juga ikut tur kota. Kalau cuma beberapa jam pilihan paling enak adalah naik taksi atau kereta, lalu berjalan-jalan di area Sultanahmet. Tadinya rencanaku begitu. Satu hal yang berbeda antara aku dan orang-orang yang pernah layover di Istanbul dan menuliskan pendapat mereka di internet adalah mereka melakukannya di siang hari. Pesawatku tiba di Istanbul pukul 4 sore dan aku baru keluar pemeriksaan paspor setengah jam kemudian, pukul 4.30. Melihat jam, masih ada waktu untukku berjalan-jalan. Jadi tadi aku sungguh sudah siap untuk berjalan-jalan. Koper aku titipkan di jasa penitipan koper untuk biaya 15 Lira dan aku sudah membeli koin untuk memakai sistem kereta bawah tanah Istanbul. Harga per koin adalah 3 Lira untuk sekali jalan. Kalau ke area Sultanahmet dari bandar udara Ataturk diperlukan 2 koin. Satu untuk Aksaray-Ataturk (airport) ke Zeytinburnu (kata ini tidak diucapkan seperti tulisannya, karena lebih terdengar seperti getinbu -???- sungguh membingungkan) dan satu koin lagi untuk Zeytinburu ke Sultanahmet. Kembali ke bandar udara dengan biaya yang sama lagi.
Nah, tadi aku sudah buru-buru turun dari pesawat dan keluar dari bandar udara untuk mengejar waktu, karena kebanyakan daya tarik wisata di Istanbul tutup ketika matahari terbenam, kecuali Blue Mosque yang legendaris. Maka tadinya aku ingin ke Blue Mosque karena katanya masjid itu cantik sekali di malam hari. Lalu mungkin makan malam di dekat situ. Rencanaku gagal total. Tepatnya, aku pilih untuk gagalkan. Adik iparku melakukan perjalanan yang sama denganku saat ini satu bulan yang lalu. Bedanya adalah ia menginap semalam di Istanbul dan dijemput mobil hotel dari bandar udara.
Sesungguhnya tidak sulit menemukan stasiun Metro (subway) di bandar udara Ataturk, tetapi jalan menuju stasiun itu agak bikin waswas. Bersih sih dan tidak ada gelandangan seperti di New York, tetapi juga agak sepi. Itu yang bikin waswas, terutama karena aku sendirian. Entah mengapa laki-laki di sini suka memandangi perempuan dengan terang-terangan. Benar-benar memandangi dari atas ke bawah, di depan muka si perempuan, seakan yang dipelototi adalah daging rendang dan mereka kelaparan. Sungguh bikin jengah dan sungguh bikin makin rindu suamiku.
Saat ini aku sedang mencoba menganalisa apakah kejadian yang terjadi selanjutnya adalah salahku. Tetapi aku sungguh tidak ingin menyalahkan diriku karena menjadi diriku sendiri. Jadi begini ceritanya..
Sesampainya di stasiun Metro aku kebingungan karena tanda-tanda yang ada sungguh tidak jelas. Ada mesin-mesin untuk membeli koin kereta tetapi aku tidak tahu cara kerjanya atau berapa koin yang harus aku beli. Semua orang terlihat sibuk atau pura-pura sibuk, jadi aku sempat kebingungan sendiri di depan salah satu mesin, mencoba membaca instruksi berbahasa Inggris dengan huruf berukuran kecil. Ketika sedang bingung itu tiba-tiba ada 3 laki-laki menanyakan padaku cara memakai mesin itu. Mereka punya kartu subway dan bingung cara memakainya. Mereka tidak bisa bahasa Inggris dan aku menjawab dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa aku tidak mengerti bagaimana cara kerja mesin tersebut. Satu orang bicara denganku dan yang dua hanya memandangi (lagi-lagi seperti aku rendang Padang) Lalu aku pindah ke mesin yang lain, menjauhi mereka.
Akhirnya salah satu petugas membantuku memakai mesin dan memberitahu rute yang harus aku ambil untuk mencapai area Sultanahmet. Dengan bersemangat aku turun ke bawah, ke tempat tunggu kereta dengan peta Metro di tangan. Jelas sekali aku bukan orang lokal. Turis. Perempuan. Sendirian. Di ujung tangga, ternyata 3 pria itu ada di sana, menunggu kereta. Aku refleks tersenyum dan mengatakan, “You did it. You used the card.” Aku kadang terlalu ramah, entah mengapa. Mungkin karena sudah jadi kebiasaan, terutama sejak tinggal di Texas. Orang suka sekali ngobrol di sana. Pria yang tadi mengajakku bicara kemudian menanyakan aku akan turun di stasiun mana. Atau kira-kira itu yang aku tangkap karena dia bicara bahasa Turki. Aku menunjukkan stasiun yang aku tuju dan si pria bilang mereka juga mau ke sana. Lampu kuning pertama.
Aku mulai merasa tidak enak. Aku tadinya berdiri di dekat mereka, tetapi lalu ketika perasaan tidak enak itu muncul aku segera pindah tempat agak jauh, mencari sekelompok ibu-ibu berjilbab, berharap bisa membuatku merasa aman. Paling tidak aku merasa sesama perempuan harusnya saling melindungi, terlepas pakaian yang dipilih. Orang-orang lain yang sedang menunggu kebanyakan laki-laki dan semua bermuka masam. Aku berdiri di antara ibu-ibu itu selama beberapa waktu dengan tangan tersilang di depan dada, mencoba terlihat segalak mungkin. Ukuran badan ini tidak pernah menjadi alat terhebat untuk mengintimidasi orang-orang yang ingin aku intimidasi. Tidak juga ketiga laki-laki itu, karena mereka mendekati aku lagi. Bahkan yang paling suka bicara itu memutuskan untuk meletakkan tasnya di depanku dan duduk di kursi sebelah kiriku. Sebelum duduk, mereka bertiga bicara dan tertawa-tawa sambil mencuri pandang ke arahku. Dua pria lainnya kemudian berdiri di depanku. Di sebelah kananku ibu-ibu berjilbab, di depanku 2 laki-laki itu dan di kiriku si bawel yang tidak kenal menyerah. Aku mulai merasa dikerubung. Lampu kuning kedua.
Si bawel mulai mengajakku ngobrol lagi dalam bahasa Turki. Ada beberapa kata yang aku tangkap dan aku simpulkan bahwa ia sedang menanyakan aku orang apa, karena ia menyebut “Japan”, “Cina”, dan beragam kata lain yang tidak bisa aku mengerti. Akhirnya, dalam keputusasaan, aku tunjukkan cincin kawinku dan aku bilang, “My husband is Indonesian.” Dia kemudian mengangkat kedua jempol dan bilang, “Oke, Oke.” Aku kira dia mengerti apa maksudku yang sebenarnya: “Get the f*ck away from me, you creepy buttface!” Itu maksudku yang sebenarnya. Aku terlalu sopan untuk mengatakannya. Si bawel tidak mengerti atau pura-pura bloon. Ia kembali bicara, sambil sesekali mencuri pandang ke teman-temannya. Lampu merah.
Sejak pertama kali ia menanyakan aku hendak ke mana dan ia bilang bahwa ia juga akan ke sana, kepalaku sudah penuh dengan strategi untuk tidak terjebak dengan ketiga pria ini dalam jalan-jalanku di Istanbul. Semakin lama, mereka terlihat semakin ngotot dan membuatku semakin takut. Perasaanku mengatakan mereka akan mengikuti aku kemanapun aku pergi dan aku tidak tahu Istanbul dan aku sendirian dan sejenak lagi gelap. Aku ingin pulang ke Jakarta dengan komplit, tak kekurangan suatu apapun. Maka ketika si bawel menarik nafas di antara kalimat-kalimat berbahasa Turkinya, aku ambil langkah seribu, kembali menaiki tangga stasiun langsung ngacir ke bandar udara. Aku berjalan secepat yang aku bisa dengan kaki-kaki pendek yang kupunya, tidak menengok ke belakang satu kalipun.
Ketika aku mengambil koperku dari tempat penitipan, si bapak pemilik bisnis kaget melihatku dan bertanya, “What happened?” Aku tidak menjawab yang sejujurnya, bahwa ada tiga pria yang membuatku ketakutan setengah mati karena mereka mungkin saja berencana menculik dan memperkosaku. Aku hanya menjawab, “Nothing. I just want to wait at Starbucks.” Jadi itu lah yang terjadi. Aku membayar visa Turki sebesar $25 untuk dibuat takut oleh tiga laki-laki di stasiun Metro, bayar 15 Lira untuk koper yang aku titipkan selama 15 menit dan duduk di Starbucks terminal kedatangan di bandar udara Ataturk, minum Café Latte yang rasanya biasa saja. Suara suamiku bolak-balik terdengar di belakang kepala, “Just be present.” Aku sedang mencoba melakukannya. Aku menikmati saat ini, minum kopi di Starbucks (di Turki!) dan menulis tentang perjalanan pulangku ke Jakarta. Oh ya, aku tidak bisa memakai wi-fi di sini karena tidak punya nomor telepon Turki. Tidak masalah, aku suka menulis tanpa gangguan.
Menghabiskan $25 untuk visa yang tidak aku pakai maksimal membuatku sedikit kesal, tetapi aku lebih kesal tentang kejadian menyangkut 3 pria tadi. Aku kesal karena aku merasa aku patut disalahkan. Aku kesal karena aku sempat menyalahkan diriku sendiri karena mencoba ramah kepada mereka. Sesungguhnya bukan ramah juga ya. Awalnya aku hanya memperlakukan mereka seperti aku ingin diperlakukan. Ketika kemudian mereka tidak bisa menangkap sinyal-sinyal dariku untuk menjauh, maka aku menarik batasnya.
Aku kesal karena sebagai perempuan begitu sering aku disalah mengerti. Ketika aku tersenyum, aku dianggap menggoda. Ketika aku menjawab ketika ditanya, aku dianggap mengundang keakraban yang terlalu akrab. Ketika aku pakai baju yang tidak tertutup, aku dianggap murahan. Bahkan ada perempuan yang sudah pakai baju tertutup dan masih dianggap menggoda atau mengirim sinyal-sinyal untuk dilecehkan. Aku capek dengar perempuan terus disalahkan untuk petaka-petaka menyangkut laki-laki yang mereka alami. Aku capek dengar orang bilang: “Ini dunianya laki-laki.” atau “Salah perempuan itu kenapa pakai rok mini naik angkot.”. Ini dunia kita bersama! Perempuan tidak numpang dan tidak ngontrak dengan harus terus-menerus mengikuti aturan laki-laki.
Waktu sekolah dulu, teman-teman pria sering bilang aku feminis. Tentu dengan nada mengolok. Katanya aku pembela emansipasi. Seperti itu adalah sesuatu yang salah. Aku memang pendukung emansipasi, tetapi bukan cuma tentang perempuan bisa jadi pilot atau astronot. Aku pembela rok mini dan bikini. Aku percaya perempuan boleh tersenyum dan ngobrol dengan laki-laki tanpa dianggap menggoda, mengajak tidur, minta dikawinin, mau dipacarin, dan sebagainya. Aku percaya perempuan boleh minta dibelikan emas berlian dan tidak serta merta berarti setelah itu ia harus selalu siap diajak tidur. Aku bahkan percaya PSK tidak boleh dipaksa untuk melayani jika mereka bilang tidak. Aku percaya perempuan punya hak untuk menolak, termasuk dalam hal dapur dan kasur. Terutama kasur. Kalau soal dapur ya anggap saja sumbangan untuk mereka yang tidakmau bisa masak sendiri. Karena aku pembela emansipasi, maka aku juga menganggap laki-laki punya hak untuk melakukan hal yang sama.
Aku tahu pria-pria tadi mungkin saja hanya ingin ngobrol dan mungkin tidak berencana menculik dan memperkosaku. Tetapi mungkin saja yang sebaliknya kan? Sebagai perempuan aku (kita!) tidak boleh terlalu hati-hati. Lebih baik berpikiran buruk daripada merasa tidak enak karena menyakiti perasaan dan berakhir tragis. Aku memilih untuk tidak berakhir tragis, meski ada kemungkinan aku tidak berakhir tragis. Semoga pembaca yang budiman mengerti maksudku. Dengarkan saja kata hati dan insting. Lakukan segala yang kita bisa untuk melindungi diri. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Ketiga pria tadi tentu tidak merepresentasikan seluruh pria Turki (atau pria pada umumnya). Banyak sekali teman-teman asal Turki dari suami dan adik ipar ku yang baik luar biasa. Tetapi bukan itu intinya. Bukan tentang Turki-nya. Kejadian yang aku alami bisa terjadi di mana saja dan perempuan akan selalu jadi pihak yang dianggap menyebabkan apapun yang terjadi kemudian. Maka jangan biarkan apapun terjadi kemudian.
Kalau soal pria memelototi perempuan, memandangi seperti menelanjangi, aku rasa itu hal yang banyak terjadi di Negara-negara dan area-area yang tingkat pemahaman tentang jendernya masih rendah. Termasuk di beberapa area di Amerika Serikat dan Eropa. Hal seperti itu terjadi di mana-mana. Membuat kita seharusnya berpikir bahwa yang salah adalah cara berpikirnya. Cara laki-laki (terutama) memandang perempuan atau perempuan menganggap laki-laki boleh seperti itu. Aku mengerti bahwa ketertarikan seksual adalah hal yang biasa di antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak boleh jadi pembenaran untuk perilaku yang membuat jengah dan kelewat batas.
Sekarang sudah pukul 8 malam waktu Istanbul. Kalau aku sedang berjalan-jalan, jam segini aku sudah harus jalan balik ke Bandar udara. Ah, kesal juga karena tidak jadi berjalan-jalan sendiri. Tetapi mungkin memang waktunya tidak tepat. Dua bulan lagi aku akan terbang kembali ke Houston melewati Istanbul bersama ibu tersayang. Penerbangan itu akan tiba di Istanbul pukul 6 pagi dan berangkat lagi pukul 1 siang. Ada waktu untuk melihat area Sultanahmet meski sejenak. Kami akan melakukannya. Saya bertekad untuk melakukannya. Naik kereta, menjajal daerah turis, makan Turkish meatballs, dan foto-foto dengan dua jari membentuk lambang damai.
Just be present. Suamiku sungguh bijaksana. Kalau aku boleh tambahkan, just be present and create. Menulis tentang hal ini membuat ku merasa lebih baik. Tadi sempat sedih dan ingin menangis lagi karena ingat rumah yang nyaman berisi suami dan anjing-anjingku, bukannya sendirian di Bandar udara Negara yang asing ini. Tetapi saat ini aku memilih untuk ingin ada di sini dan menghargai saat ini. Meski demikian aku sungguh tak sabar untuk segera melihat Jakarta.
Sudah dua tahun sejak kepulangan terakhirku. Selama dua tahun itu kadang muncul perasaan ingin pulang. Rindu rumah. Tetapi sering kali aku lebih sibuk dengan apa yang aku lakukan sehari-hari, menikmati waktu bersama suami, adik ipar dan ketiga anjingku. Kadang ketika komunikasi jarang dilakukan dengan orang yang berada di nun jauh di sana, bisa sedikit hilang rasa rindu itu. Mungkin juga karena aku berusaha menghilangkannya. Perasaan itu bisa sungguh menyakitkan dan seringkali aku tidak ingin menghadapinya.
Ketika aku akhirnya membeli tiket pulang dan memutuskan untuk berlibur di Indonesia selama 2 bulan lebih, aku bahagia luar biasa. Bayangan tentang bertemu ibu, bapak, adik, keluarga besar, dan teman-teman membuatku bersemangat dan ingin segera pulang. Tetapi tebak yang terjadi kemarin atau sejak beberapa hari sebelum aku pulang. Aku tidak ingin pulang. Aku begitu senewen untuk pulang hingga rasanya aku tidak ingin pulang. Sangat menggelikan bukan? Aku menangis berurai air mata ketika mengucap perpisahan dengan anjing-anjing dan suamiku.
Di mobil menuju Bandar udara aku menangis lagi. Sempat aku utarakan kepada suami bahwa aku merasa berat untuk pulang. Bingung dan senewen. Aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi di sana. Dan mungkin bagian terberat adalah suamiku tidak bersamaku. Betapa luar biasa bahwa kini aku sulit sekali berpisah dengan suamiku. Dia manusia yang menyebalkan. Sungguh. Tetapi setiap hari bersamanya adalah berkat yang teramat besar bagiku. Aku sungguh rindu dia saat ini.
Sambil memandangku yang berurai air mata ia mengatakan padaku kemarin di dalam mobil, “Just be present. Kalau kamu pulang, ya kamu harus ada di sana. Kalau kamu di sini ya kamu harus di sini.” Aku tercengang. Itu caraku berpikir jika sedang waras. Aku tidak waras beberapa hari terakhir. Maksud dari kalimatnya, bagi pembaca yang tidak mengerti, adalah: tidak perlu lah rasa cemas itu. Nikmati saja yang terjadi saat ini. Maka aku berhenti menangis. Ingin membantah dan memberikan penjelasan mengapa aku pantas sedih dan menangis, tetapi dia benar. Maka aku berhenti menangis.
Ia mengantarku ke pintu bandar udara, membantuku menurunkan koper dan mengucap selamat tinggal. Aku lebih memilih yang seperti itu. Aku tidak ingin menangis di depan umum jika dia sampai mengantarku ke dalam. Maka kemarin, tepatnya 15 jam yang lalu aku memulai perjalanan panjangku ke Jakarta, sendirian. Total perjalananku sendiri adalah sekitar 32 jam sejak meninggalkan Houston.
Untuk pertama kalinya aku memilih untuk naik Turkish Airlines. Ada waktu tunggu sekitar 8 jam antara kedatanganku di Turki dan keberangkatan pesawatku ke Jakarta. Perjalanan dari Houston ke Istanbul, Turki memakan waktu hampir 12 jam, jadi aku sudah membayangkan untuk membunuh waktu dengan berjalan-jalan di Istanbul, meski hanya beberapa jam sebelum berangkat ke Jakarta.
Warga Negara Indonesia butuh visa untuk masuk Turki. Sungguh gampang untuk mendapatkan visa tersebut. Cukup mempergunakan internet dan printer, maka dalam waktu kurang dari 5 menit visa itu sudah bisa berada di tangan. Harganya $25 sekali masuk Turki. Aku sudah sempat melakukan riset tentang Istanbul dan apa yang bisa aku lakukan untuk layover 8 jam. Banyak orang pernah melakukannya dan hampir semua mengatakan bahwa gampang untuk menavigasi daerah turis Istanbul.
Ada beberapa pilihan dari bandar udara Ataturk. Bisa naik taksi, bisa naik tram atau kereta, dan bisa juga ikut tur kota. Kalau cuma beberapa jam pilihan paling enak adalah naik taksi atau kereta, lalu berjalan-jalan di area Sultanahmet. Tadinya rencanaku begitu. Satu hal yang berbeda antara aku dan orang-orang yang pernah layover di Istanbul dan menuliskan pendapat mereka di internet adalah mereka melakukannya di siang hari. Pesawatku tiba di Istanbul pukul 4 sore dan aku baru keluar pemeriksaan paspor setengah jam kemudian, pukul 4.30. Melihat jam, masih ada waktu untukku berjalan-jalan. Jadi tadi aku sungguh sudah siap untuk berjalan-jalan. Koper aku titipkan di jasa penitipan koper untuk biaya 15 Lira dan aku sudah membeli koin untuk memakai sistem kereta bawah tanah Istanbul. Harga per koin adalah 3 Lira untuk sekali jalan. Kalau ke area Sultanahmet dari bandar udara Ataturk diperlukan 2 koin. Satu untuk Aksaray-Ataturk (airport) ke Zeytinburnu (kata ini tidak diucapkan seperti tulisannya, karena lebih terdengar seperti getinbu -???- sungguh membingungkan) dan satu koin lagi untuk Zeytinburu ke Sultanahmet. Kembali ke bandar udara dengan biaya yang sama lagi.
Nah, tadi aku sudah buru-buru turun dari pesawat dan keluar dari bandar udara untuk mengejar waktu, karena kebanyakan daya tarik wisata di Istanbul tutup ketika matahari terbenam, kecuali Blue Mosque yang legendaris. Maka tadinya aku ingin ke Blue Mosque karena katanya masjid itu cantik sekali di malam hari. Lalu mungkin makan malam di dekat situ. Rencanaku gagal total. Tepatnya, aku pilih untuk gagalkan. Adik iparku melakukan perjalanan yang sama denganku saat ini satu bulan yang lalu. Bedanya adalah ia menginap semalam di Istanbul dan dijemput mobil hotel dari bandar udara.
Sesungguhnya tidak sulit menemukan stasiun Metro (subway) di bandar udara Ataturk, tetapi jalan menuju stasiun itu agak bikin waswas. Bersih sih dan tidak ada gelandangan seperti di New York, tetapi juga agak sepi. Itu yang bikin waswas, terutama karena aku sendirian. Entah mengapa laki-laki di sini suka memandangi perempuan dengan terang-terangan. Benar-benar memandangi dari atas ke bawah, di depan muka si perempuan, seakan yang dipelototi adalah daging rendang dan mereka kelaparan. Sungguh bikin jengah dan sungguh bikin makin rindu suamiku.
Saat ini aku sedang mencoba menganalisa apakah kejadian yang terjadi selanjutnya adalah salahku. Tetapi aku sungguh tidak ingin menyalahkan diriku karena menjadi diriku sendiri. Jadi begini ceritanya..
Sesampainya di stasiun Metro aku kebingungan karena tanda-tanda yang ada sungguh tidak jelas. Ada mesin-mesin untuk membeli koin kereta tetapi aku tidak tahu cara kerjanya atau berapa koin yang harus aku beli. Semua orang terlihat sibuk atau pura-pura sibuk, jadi aku sempat kebingungan sendiri di depan salah satu mesin, mencoba membaca instruksi berbahasa Inggris dengan huruf berukuran kecil. Ketika sedang bingung itu tiba-tiba ada 3 laki-laki menanyakan padaku cara memakai mesin itu. Mereka punya kartu subway dan bingung cara memakainya. Mereka tidak bisa bahasa Inggris dan aku menjawab dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa aku tidak mengerti bagaimana cara kerja mesin tersebut. Satu orang bicara denganku dan yang dua hanya memandangi (lagi-lagi seperti aku rendang Padang) Lalu aku pindah ke mesin yang lain, menjauhi mereka.
Akhirnya salah satu petugas membantuku memakai mesin dan memberitahu rute yang harus aku ambil untuk mencapai area Sultanahmet. Dengan bersemangat aku turun ke bawah, ke tempat tunggu kereta dengan peta Metro di tangan. Jelas sekali aku bukan orang lokal. Turis. Perempuan. Sendirian. Di ujung tangga, ternyata 3 pria itu ada di sana, menunggu kereta. Aku refleks tersenyum dan mengatakan, “You did it. You used the card.” Aku kadang terlalu ramah, entah mengapa. Mungkin karena sudah jadi kebiasaan, terutama sejak tinggal di Texas. Orang suka sekali ngobrol di sana. Pria yang tadi mengajakku bicara kemudian menanyakan aku akan turun di stasiun mana. Atau kira-kira itu yang aku tangkap karena dia bicara bahasa Turki. Aku menunjukkan stasiun yang aku tuju dan si pria bilang mereka juga mau ke sana. Lampu kuning pertama.
Aku mulai merasa tidak enak. Aku tadinya berdiri di dekat mereka, tetapi lalu ketika perasaan tidak enak itu muncul aku segera pindah tempat agak jauh, mencari sekelompok ibu-ibu berjilbab, berharap bisa membuatku merasa aman. Paling tidak aku merasa sesama perempuan harusnya saling melindungi, terlepas pakaian yang dipilih. Orang-orang lain yang sedang menunggu kebanyakan laki-laki dan semua bermuka masam. Aku berdiri di antara ibu-ibu itu selama beberapa waktu dengan tangan tersilang di depan dada, mencoba terlihat segalak mungkin. Ukuran badan ini tidak pernah menjadi alat terhebat untuk mengintimidasi orang-orang yang ingin aku intimidasi. Tidak juga ketiga laki-laki itu, karena mereka mendekati aku lagi. Bahkan yang paling suka bicara itu memutuskan untuk meletakkan tasnya di depanku dan duduk di kursi sebelah kiriku. Sebelum duduk, mereka bertiga bicara dan tertawa-tawa sambil mencuri pandang ke arahku. Dua pria lainnya kemudian berdiri di depanku. Di sebelah kananku ibu-ibu berjilbab, di depanku 2 laki-laki itu dan di kiriku si bawel yang tidak kenal menyerah. Aku mulai merasa dikerubung. Lampu kuning kedua.
Si bawel mulai mengajakku ngobrol lagi dalam bahasa Turki. Ada beberapa kata yang aku tangkap dan aku simpulkan bahwa ia sedang menanyakan aku orang apa, karena ia menyebut “Japan”, “Cina”, dan beragam kata lain yang tidak bisa aku mengerti. Akhirnya, dalam keputusasaan, aku tunjukkan cincin kawinku dan aku bilang, “My husband is Indonesian.” Dia kemudian mengangkat kedua jempol dan bilang, “Oke, Oke.” Aku kira dia mengerti apa maksudku yang sebenarnya: “Get the f*ck away from me, you creepy buttface!” Itu maksudku yang sebenarnya. Aku terlalu sopan untuk mengatakannya. Si bawel tidak mengerti atau pura-pura bloon. Ia kembali bicara, sambil sesekali mencuri pandang ke teman-temannya. Lampu merah.
Sejak pertama kali ia menanyakan aku hendak ke mana dan ia bilang bahwa ia juga akan ke sana, kepalaku sudah penuh dengan strategi untuk tidak terjebak dengan ketiga pria ini dalam jalan-jalanku di Istanbul. Semakin lama, mereka terlihat semakin ngotot dan membuatku semakin takut. Perasaanku mengatakan mereka akan mengikuti aku kemanapun aku pergi dan aku tidak tahu Istanbul dan aku sendirian dan sejenak lagi gelap. Aku ingin pulang ke Jakarta dengan komplit, tak kekurangan suatu apapun. Maka ketika si bawel menarik nafas di antara kalimat-kalimat berbahasa Turkinya, aku ambil langkah seribu, kembali menaiki tangga stasiun langsung ngacir ke bandar udara. Aku berjalan secepat yang aku bisa dengan kaki-kaki pendek yang kupunya, tidak menengok ke belakang satu kalipun.
Ketika aku mengambil koperku dari tempat penitipan, si bapak pemilik bisnis kaget melihatku dan bertanya, “What happened?” Aku tidak menjawab yang sejujurnya, bahwa ada tiga pria yang membuatku ketakutan setengah mati karena mereka mungkin saja berencana menculik dan memperkosaku. Aku hanya menjawab, “Nothing. I just want to wait at Starbucks.” Jadi itu lah yang terjadi. Aku membayar visa Turki sebesar $25 untuk dibuat takut oleh tiga laki-laki di stasiun Metro, bayar 15 Lira untuk koper yang aku titipkan selama 15 menit dan duduk di Starbucks terminal kedatangan di bandar udara Ataturk, minum Café Latte yang rasanya biasa saja. Suara suamiku bolak-balik terdengar di belakang kepala, “Just be present.” Aku sedang mencoba melakukannya. Aku menikmati saat ini, minum kopi di Starbucks (di Turki!) dan menulis tentang perjalanan pulangku ke Jakarta. Oh ya, aku tidak bisa memakai wi-fi di sini karena tidak punya nomor telepon Turki. Tidak masalah, aku suka menulis tanpa gangguan.
Menghabiskan $25 untuk visa yang tidak aku pakai maksimal membuatku sedikit kesal, tetapi aku lebih kesal tentang kejadian menyangkut 3 pria tadi. Aku kesal karena aku merasa aku patut disalahkan. Aku kesal karena aku sempat menyalahkan diriku sendiri karena mencoba ramah kepada mereka. Sesungguhnya bukan ramah juga ya. Awalnya aku hanya memperlakukan mereka seperti aku ingin diperlakukan. Ketika kemudian mereka tidak bisa menangkap sinyal-sinyal dariku untuk menjauh, maka aku menarik batasnya.
Aku kesal karena sebagai perempuan begitu sering aku disalah mengerti. Ketika aku tersenyum, aku dianggap menggoda. Ketika aku menjawab ketika ditanya, aku dianggap mengundang keakraban yang terlalu akrab. Ketika aku pakai baju yang tidak tertutup, aku dianggap murahan. Bahkan ada perempuan yang sudah pakai baju tertutup dan masih dianggap menggoda atau mengirim sinyal-sinyal untuk dilecehkan. Aku capek dengar perempuan terus disalahkan untuk petaka-petaka menyangkut laki-laki yang mereka alami. Aku capek dengar orang bilang: “Ini dunianya laki-laki.” atau “Salah perempuan itu kenapa pakai rok mini naik angkot.”. Ini dunia kita bersama! Perempuan tidak numpang dan tidak ngontrak dengan harus terus-menerus mengikuti aturan laki-laki.
Waktu sekolah dulu, teman-teman pria sering bilang aku feminis. Tentu dengan nada mengolok. Katanya aku pembela emansipasi. Seperti itu adalah sesuatu yang salah. Aku memang pendukung emansipasi, tetapi bukan cuma tentang perempuan bisa jadi pilot atau astronot. Aku pembela rok mini dan bikini. Aku percaya perempuan boleh tersenyum dan ngobrol dengan laki-laki tanpa dianggap menggoda, mengajak tidur, minta dikawinin, mau dipacarin, dan sebagainya. Aku percaya perempuan boleh minta dibelikan emas berlian dan tidak serta merta berarti setelah itu ia harus selalu siap diajak tidur. Aku bahkan percaya PSK tidak boleh dipaksa untuk melayani jika mereka bilang tidak. Aku percaya perempuan punya hak untuk menolak, termasuk dalam hal dapur dan kasur. Terutama kasur. Kalau soal dapur ya anggap saja sumbangan untuk mereka yang tidak
Aku tahu pria-pria tadi mungkin saja hanya ingin ngobrol dan mungkin tidak berencana menculik dan memperkosaku. Tetapi mungkin saja yang sebaliknya kan? Sebagai perempuan aku (kita!) tidak boleh terlalu hati-hati. Lebih baik berpikiran buruk daripada merasa tidak enak karena menyakiti perasaan dan berakhir tragis. Aku memilih untuk tidak berakhir tragis, meski ada kemungkinan aku tidak berakhir tragis. Semoga pembaca yang budiman mengerti maksudku. Dengarkan saja kata hati dan insting. Lakukan segala yang kita bisa untuk melindungi diri. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Ketiga pria tadi tentu tidak merepresentasikan seluruh pria Turki (atau pria pada umumnya). Banyak sekali teman-teman asal Turki dari suami dan adik ipar ku yang baik luar biasa. Tetapi bukan itu intinya. Bukan tentang Turki-nya. Kejadian yang aku alami bisa terjadi di mana saja dan perempuan akan selalu jadi pihak yang dianggap menyebabkan apapun yang terjadi kemudian. Maka jangan biarkan apapun terjadi kemudian.
Kalau soal pria memelototi perempuan, memandangi seperti menelanjangi, aku rasa itu hal yang banyak terjadi di Negara-negara dan area-area yang tingkat pemahaman tentang jendernya masih rendah. Termasuk di beberapa area di Amerika Serikat dan Eropa. Hal seperti itu terjadi di mana-mana. Membuat kita seharusnya berpikir bahwa yang salah adalah cara berpikirnya. Cara laki-laki (terutama) memandang perempuan atau perempuan menganggap laki-laki boleh seperti itu. Aku mengerti bahwa ketertarikan seksual adalah hal yang biasa di antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak boleh jadi pembenaran untuk perilaku yang membuat jengah dan kelewat batas.
Sekarang sudah pukul 8 malam waktu Istanbul. Kalau aku sedang berjalan-jalan, jam segini aku sudah harus jalan balik ke Bandar udara. Ah, kesal juga karena tidak jadi berjalan-jalan sendiri. Tetapi mungkin memang waktunya tidak tepat. Dua bulan lagi aku akan terbang kembali ke Houston melewati Istanbul bersama ibu tersayang. Penerbangan itu akan tiba di Istanbul pukul 6 pagi dan berangkat lagi pukul 1 siang. Ada waktu untuk melihat area Sultanahmet meski sejenak. Kami akan melakukannya. Saya bertekad untuk melakukannya. Naik kereta, menjajal daerah turis, makan Turkish meatballs, dan foto-foto dengan dua jari membentuk lambang damai.
Just be present. Suamiku sungguh bijaksana. Kalau aku boleh tambahkan, just be present and create. Menulis tentang hal ini membuat ku merasa lebih baik. Tadi sempat sedih dan ingin menangis lagi karena ingat rumah yang nyaman berisi suami dan anjing-anjingku, bukannya sendirian di Bandar udara Negara yang asing ini. Tetapi saat ini aku memilih untuk ingin ada di sini dan menghargai saat ini. Meski demikian aku sungguh tak sabar untuk segera melihat Jakarta.
Hai mba mau tanya tentang penitipan koper. Itu 15 lira untuk brapa jam dan brp koper ya? Atau bagaimn sistemnya? Kebetulan sy sekeluarga punya rencana untuk transir 3-4 hari di turki, tp malas untuk membawa koper yg banyak kemana2. Trmksh bnyk infonya mba.
ReplyDeleteHalo Rifki, saya waktu itu cuma bawa 1 koper yang muat masuk di kabin pesawat. Kalau tidak salah 15 lira hanya untuk beberapa jam saja dan tidak semalaman. Harga ditentukan oleh dimensi koper nya.
Delete