Satu pertanyaan yang tidak bisa dihindari sebagai orang Indonesia adalah: "Aslinya dari mana?". Bingung sekali menjawab pertanyaan ini. Mau bilang, "Aslinya dari Jakarta.", tapi kok rasanya hanya orang Betawi yang pantas bilang begitu. Mau jawab, "Dari Jawa." tapi saya tidak bisa bahasanya pun mengerti tradisinya. Jadi apa saya ini benar orang Indonesia kalau tidak punya "aslinya"?
Saya itu penggemar naik taksi. Bukan hanya karena nyaman (meski mahal!), tetapi karena saya senang ngobrol dengan supirnya.
Nah, pertanyaan soal "aslinya" saya itu paling sering datang dari pengemudi taksi. Saya biasanya menjawab diplomatis, "Lahir
sih Jakarta, Pak. Tetapi eyang saya orang Solo." Untung bapak supirnya tidak pernah menjawab: "Peduli setan, nenek loe dari mana."
Eyang-eyang saya dari pihak ibu memang asli Solo. Eyang-eyang saya dari bapak asli Jawa Timur. Saya biasanya menjawab Solo karena saya lebih sering dibawa ke Solo untuk kenal kota itu dan segala keunikannya sejak kecil. Saya dan saudara-saudara sepupu saya yang totalnya berjumlah 12 dahulu sering sekali
road trip bersama orangtua-orangtua kami ke sana. Kenangan masa kecil bersama mereka di Surakarta membekas di ingatan dan hati saya. Maka saya sering kangen Solo meski tiada lagi saudara dekat yang berada di sana.
Hari Senin hingga Kamis lalu saya berada di Solo bersama ibu dan adik saya. Sejak sebulan yang lalu saya sudah sibuk meneror mereka untuk pergi ke Solo ketika saya pulang ke Tanah Air. "Ngapain sih ke Solo?" tanya suami saya selalu. Wisata kuliner itu pasti, tetapi bagi saya lebih penting lagi berjalan kaki dan naik becak di sana, mendengar orang-orang Solo berbicara, memberikan komentar-komentar lucu, atau berperilaku unik. Karena sungguh, orang-orang Solo itu unik. Kalem, santai, cuek,
nyeleneh, mereka punya jawaban dan solusi untuk (hampir) segalanya. Dan itu yang membuat Solo
ngangenin. Manusia-manusianya.
Setelah lama sekali tidak melihat Solo, saya cukup terkejut mendapati banyak sekali hotel-hotel baru. Desainnya mentereng, harganya pun terjangkau. Tetapi kami memilih hotel bintang 1 yang sudah puluhan tahun jadi andalan. Sanashtri namanya. Di sebelah Solo Grand Mall lokasinya.
Sanashtri sudah tersengal-sengal dilibas jaman, tetapi dia masih berdiri dan oleh karenanya kami memilih menginap di sana. Sanashtri terasa seperti rumah sendiri. Sanashtri membuat saya ingat Eyang Uti.
Di hari terakhir, kami makan durian di depan kamar sambil bersila di lantai dan memandangi taman mungil yang asri dengan kolam buatan dari semen. Mall di sebelah hotel sibuk dengan acara musik di depan lobby. Dua perempuan yang jadi MC sibuk bicara campur-campur bahasa Indonesia - Jawa - Inggris. Solo sudah berubah, tetapi ada beberapa hal yang tetap sama. Saya sungguh bersyukur untuk semua yang belum berubah itu.
Setelah mempertimbangkan rasa dekat dan kenal di hati, sepertinya (saat ini) saya paling sreg bilang Solo sebagai "aslinya" saya. Mungkin saya memang tidak lahir di sana, tidak bicara bahasa Jawa, pun tidak punya kelembutan ala Putri Solo (sebenarnya siapa sih si Putri Solo ini dan apakah dia betul-betul lembut?), tetapi Eyang Uti dan Eyang Kakung saya tercinta berasal dari sana.
Kedua eyang saya, terutama Eyang Uti, seumur hidup berusaha menularkan cintanya kepada Solo kepada anak dan cucu yang lahir dan besar di berbagai tempat di Indonesia. Rasanya kini saya tahu mengapa eyang melakukan itu; selalu bicara tentang Solo, selalu ingin pergi ke Solo dan mengajak kami. Mungkin sesungguhnya eyang menginginkan supaya anak cucunya selalu bisa bilang kalau mereka (dan saya) punya "aslinya" ketika ditanya. Karena ternyata sebagai orang Indonesia, penting punya sub-identitas. Penting punya "aslinya". Untung saya punya.
|
Pengangkut bawang di Pasar Legi |
|
Pak Becak juga manusia |
|
"Fotonya dari depan dong, Mbak, supaya yang bakar juga kelihatan." |
|
Penjahit di dalam gerobak |
|
"Ini saya difoto buat apa, Mbak?" - "Buat saya pandang-pandang di rumah, Pak." |
|
Berjalan kaki sampai tak terasa lagi kedua kaki |
|
Pahlawan Nasional |
|
Teater Sriwedari, tempat wayang terjadi |
|
Seru sendiri |
|
Rumah-rumah di dalam gang |
|
Nasi Pecel Bu Kis |
|
Kaset belum bukan barang langka |
|
Sekedar becak |
|
Moga-moga dia petugas PLN |
|
Pasar Gede menyambut Imlek |
|
Sampai sekarang saya masih tidak mengerti artinya gosen |
|
Lesehan Mbak Tini, terang, lezat, bersih! |
|
Si Mbah dan Konde Cemoro Ayu ukuran XL |
|
Bubur Lemu dan gudeg ceker (Keprabon) |
saget mbak dini...
ReplyDeleteSaget tenan, Mas Tata.. Hihihihi..
Delete