Air
Delapan tahun lalu untuk pertama kalinya aku menginjak tanah Nusa Tenggara Timur. Kupang jadi pintu masuk sebelum sebuah pesawat kecil membawaku dan seorang teman ke bagian timur Pulau Flores. Larantuka menyambut kami dengan kesederhanaan dan cinta. Kota mungil ini telah melewati berbagai hal. Tsunami besar adalah salah satunya.
Dua malam kami habiskan di Larantuka yang terkenal dengan perayaan upacara Paskah-nya. Meski demikian bukan hanya mereka yang Katolik yang membuat Larantuka istimewa. Persaudaraan di sini dimaknai jauh lebih besar daripada agama. Bukankah demikian yang seharusnya?
Hari pertama di Larantuka kami langsung menuju sebuah danau di atas bukit. Danau Asmara namanya. Kami temukan informasinya di buku Lonely Planet, keluaran 9 tahun yang lalu. Namanya sungguh membuat penasaran bukan? Sudah terbayang bagaimana romantisnya danau ini dan sekitarnya.
Perjalanan menuju Danau Asmara ini cukup menantang. Untungnya pengemudi yang mengantar kami adalah orang lokal yang tahu bagaimana harus mengatasi tanjakan dan batuan yang tergelar bagai karpet di sepanjang jalan. Dalam upaya menuju Danau Asmara aku menyadari betul makna sebuah kalimat bijak yang mengatakan bahwa yang terpenting bukanlah tempat yang kau tuju tetapi perjalanan menuju tempat itu.
Musim kering sedang melanda Nusantara ketika aku berada di Flores. Dan di NTT hal itu berarti kering kerontang. Menumbuhkan bahan-bahan makanan menjadi sesuatu yang teramat sulit, terutama karena pada dasarnya tanah di NTT memang tidak subur. Di sepanjang jalan menuju Danau Asmara hanya ada satu macam tumbuhan yang terlihat sepanjang mata memandang dan itu adalah pohon jambu mete. Pohon ini ternyata tahan panas dan haus. Ya, mereka bisa bertahan hidup ketika pohon-pohon buah yang lain menyerah mati karena kurang air.
Di masa kering, air menjadi lebih dari sekedar pelepas dahaga. Air adalah kehidupan itu sendiri dan apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya. Desa-desa yang kami lewati dalam perjalan menuju Danau Asmara mendefinisikan kata miskin, namun manusia-manusianya kaya semangat dan cinta. Tidak pernah kulihat mata-mata yang lebih berbicara daripada yang ada di sana.
Anak-anak dan orang dewasa semua punya senyum, meski bagi orang tak dikenal, meski mereka haus dan lapar. Anak-anak kecil, bertelanjang kaki atau dengan sandal jepit yang sudah hampir putus, jalan berkilo-kilometer menuruni bukit, mencari air dan kembali mendaki bukit dengan ember-ember berisi air di kepala mereka. Mereka yang tua juga melakukannya. Anjing-anjing yang kurus menggerogoti buah-buah mete, karena di dalamnya ada -paling tidak- setitik air.
“Selamat, Mama!” ujar pengemudi mobil sewaan kami, selalu dengan beberapa kali membunyikan klakson. Si “mama” akan membalas sapanya dengan senyum yang membentang lebar dan tangan melambai-lambai. “Bapak sering ke sini ya? Kenal dengan ibu itu?” tanya saya ketika pertama kali ia menyapa seorang perempuan tua yang sedang mengangkut ember berisi air di kepalanya. “Ah, tidak,” jawabnya pendek tanpa penjelasan, seakan sudah sewajarnya aku mengerti mengapa ia melakukannya.
Dan pada akhirnya aku mengerti. Di tengah kungkungan panasnya Flores aku akhirnya mengerti. Hidup yang keras tidak serta merta harus membuat seseorang menjadi keras. Manusia yang didera derita masih boleh tersenyum, masih bisa tertawa, masih mampu menyapa.
Danau Asmara itu sendiri tidak terlalu istimewa. Lumayan cantik, namun tidak teramat sangat. Meski demikian di sana aku menemukan penghargaan lebih terhadap hidup yang dijalani berbeda-beda, terhadap mahluk bernama manusia yang ternyata punya daya tahan luar biasa dan perhargaan terhadap air yang biasanya kupandang sebelah mata.
Maka kini, setiap kali kulihat keran yang tidak ditutup kencang di WC umum aku akan mencoba setengah mati untuk menutupnya. Kini, setiap kali aku menenggak air dengan es batu yang berdenting-denting ketika beradu dengan gelas aku bersyukur. Sungguh bersyukur, karena jauh di sana, di timur pulau bunga, ada kaki-kaki kecil yang setiap hari menjajal kilometer demi kilometer untuk mendapatkan seember air bagi seluruh keluarga.
Semoga Tuhan senantiasa berkenan meringankan langkah-langkah kecil mereka.
Comments
Post a Comment