Saya Memilih

Bulan Desember tahun 2009 saya membuat sebuah pilihan yang mengubah hidup saya. Salah satu pilihan terpenting dan terbesar yang pernah saya lakukan. Saya menikah.

Ada perempuan-perempuan yang sudah memimpikan pernikahan mereka sejak masih belia. Saya tidak. Bahkan hingga datang sebuah lamaran, saya tidak pernah berpikir akan menikah. Pernikahan bagi saya waktu itu (sebelum menikah) adalah sebuah dunia yang jauh tak terjamah. Sebuah dunia yang cenderung misterius dan tak jelas aturan mainnya. Saya nyaman di dunia yang jelas, yang saya kenal, yang tidak membuat saya deg-degan.

Tetapi juga, untuk adilnya, saya bukanlah seorang yang punya visi ke depan. Saya bukan orang yang punya mimpi. Saya adalah orang yang hidup untuk hari ini. Mungkin minggu depan. Atau bulan depan, kalau ada rencana liburan. Tapi saya tidak pernah punya visi untuk masa depan. Tidak pernikahan, tidak karier, tidak anak, tidak kematian. Saya melayang mengarungi hidup dengan apa yang saya punya di kantong dan kepala.

Kembali ke pernikahan (meski tulisan ini sesungguhnya bukan tentang pernikahan), saya memilih untuk melakukannya. Untuk terjun bebas dan masuk ke dalam dunia yang sama sekali tidak saya kenal bentuknya. Untuk menambah drama, saya pindah negara. Total sudah perubahan yang saya lakukan.

Nah, sebagai manusia dewasa yang sudah bisa memutuskan untuk menikah, seharusnya saya juga mencari tahu risiko yang akan saya temui. Paling tidak membuat sebuah rencana untuk mengatasi hal-hal yang mungkin terjadi. Kali ini saya tidak bicara tentang pernikahannya, tetapi tentang kepindahannya. Mari jujur saja, masalah-masalah yang muncul dalam pernikahan baru mengejutkan ketika terjadi, padahal kita sesungguhnya tak perlu kaget lagi.




Ketika mertua saya mengunjungi kami di sini, dalam suatu kesempatan ibu mertua saya mengatakan, "Mimpi apa Dini bisa tinggal di Amerika?" Ini konteksnya bercanda, karena kami saling bertanya tentang hal itu ke satu sama lain. "Mimpi apa bisa liburan di Amerika?" tanya ayah mertua saya pada istrinya. Lalu istrinya dengan sarkasme yang sama melemparkan pertanyaan retoris lainnya ke Semesta. Obyek penderita: Andini Haryani. (Saya tidak menderita. Sumpah mati.) Sejujurnya, saya juga tidak pernah bermimpi atau bahkan berpikir untuk tinggal di Amerika Serikat, apalagi tanpa kejelasan waktu. Tinggal di sini bagi saya adalah sebuah kenyamanan, tetapi bukan sesuatu yang saya harap-harapkan sejak dahulu. Saya bahagia waktu di Indonesia dulu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, seperti saya juga bahagia di sini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ini hanya geografi.

Masalahnya, geografi dalam hal ini juga menyangkut tata cara melakukan segala sesuatu. Di Amerika Serikat, sebagai istri atau suami dari seseorang yang memegang visa kerja H1B, visa yang saya ini pegang adalah H4. Spouse visa. Kami boleh tinggal selama ijin kerja pasangan tetap berlaku, tetapi kami TIDAK BOLEH bekerja. Kami TIDAK BOLEH mendapat pemasukan. Ini yang saya tidak antisipasi dampaknya. Ini yang saya TIDAK PERNAH mimpikan. Kata yang dipakai untuk menggambarkan saya (pasangan dari para pemegang H1B) adalah: dependent. Dalam pikiran saya kadang terjemahannya adalah: mereka yang jadi beban. Saya tidak pernah memimpikan itu, jadi beban bagi siapapun.

Tapi tak usahlah jadi melodramatis. Itu adalah kenyataannya. Meski tak boleh bekerja, saya boleh sekolah. Tentu, sekolah berarti uang masuk bagi pemerintah Amerika, sedangkan bekerja berarti hal yang sebaliknya ditambah lagi mengambil lapangan kerja bagi orang-orang lokal. Padahal belum tentu juga saya bisa dapat pekerjaan yang saya inginkan.

Sekolah. Waktu saya baru pindah ke sini banyak yang bertanya (atau lebih tepatnya menganjurkan, meski tidak didukung dana) mengapa saya tidak mengambil gelar Master alias S2. Pada dasarnya saya ini pemalas dan ditambah lagi tidak punya mimpi-mimpi "besar" untuk diri saya sendiri, maka saya memutuskan untuk tidak S2. Kata besar saya tanda kutip karena sepertinya mimpi-mimpi saya cenderung kecil dan tidak signifikan bagi ukuran yang ada di dalam masyarakat. Maaf, sedikit nyinyir.

Selama 3,5 tahun di sini, saya merasa cukup dengan apa yang saya miliki. Saya masih menulis, saya mengajar yoga, saya membantu sesama imigran belajar bahasa Inggris, dan saya sudah mulai handal menavigasi diri sendiri di negara ini. Tentu, saya tidak menghasilkan uang di sini. Yah, itu tidak sepenuhnya betul sih karena kadang-kadang saya mengajar yoga dan mendapat tanda terima kasih. Tapi jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding ketika saya menulis untuk majalah-majalah di Indonesia. Saya masih menulis untuk beberapa majalah di Indonesia dan saya bersyukur karena masih mendapat kepercayaan itu. Sangat menolong ego dan kewarasan saya di waktu-waktu tertentu. Hehe.

Ketika saya pindah rumah dan menjadi jauh dari tempat saya melakukan kerja sukarela, saya jadi sering sekali di rumah saja. Bukannya saya tidak suka. Sejak dahulu saya suka berada di rumah, menulis, membaca, atau nonton serial televisi yang bagus. Tapi lama-lama saya takut jadi tumpul. Usia sudah kepala 3, kalau otak tidak diajak olahraga, bisa-bisa saya cepat pikun atau jadi membosankan, terutama bagi diri sendiri. Itu membuat saya takut. Maka akhirnya saya memutuskan sekolah lagi. Bukan untuk mengejar gelar Master di bidang komunikasi, tetapi untuk mengejar gelar D3 di bidang Petroleum Engineering Technology. Pilihan yang aneh bukan? Bagi mereka yang mengenal saya, ketika saya mengatakan hal ini, biasanya saya langsung mencium kekhawatiran di suara mereka (lebih ke suara karena biasanya pembicaraan terjadi lewat telepon). Seperti saya sudah di cuci otak oleh suami dan dipaksa melakukan sesuatu yang saya tidak inginkan.

Sebaliknya, saya sangat menginginkan ini.

Seperti saya bilang, saya ini orang yang hidup untuk hari ini. Paling mentok untuk bulan depan. Saya menyadari itu dan rasanya saya ingin mencoba hal lain. Saya ingin berpikir panjang, punya game plan, punya senjata untuk menghadapi yang tak terduga. Saya ingin menantang diri saya dan keluar dari kotak nyaman yang sudah meninabobokan saya selama 30 tahun. Saya ingin menambah modal dalam menghadapi hidup. Saya tidak ingin selamanya jadi dependent, meskipun suami saya tidak keberatan.

Ini akan jadi salah satu petualangan terbesar dalam hidup saya. Mengerikan, sekaligus mendebarkan, karena saya tidak ingin gagal. Dari 30 tahun bersama tubuh dan pikiran ini, saya tahu bahwa saya bukan orang yang mudah menyerah. Saya boleh malas, tapi ketika saya sudah memilih sesuatu, saya akan menyelesaikannya. Maka ini tantangan yang saya beri pada diri sendiri. Saya merasa seperti sedang berdiri di pinggir kolam renang yang kedalaman dan temperaturnya saya tidak tahu. Saya sedang bersiap untuk loncat masuk. Saya bisa berenang, tetapi jika airnya dingin maka saya pasti akan butuh waktu untuk adaptasi. Mungkin saya akan panik dan setengah kelelep, kemasukan air lewat hidung, kaki keram karena tidak pemanasan, berharap setengah mati ada yang menolong saya. Saya akan ketakutan dan mungkin mengutuk pilihan yang sudah saya ambil, tetapi saya yakin saya akan baik-baik saja. Mungkin saya butuh kelelep dan kemasukan air untuk menyadari bahwa saya bisa berenang. Bahwa selalu ada tepian, bahwa saya akan selalu mampu menyelamatkan diri asal tidak panik.

Saya ingin membuktikan bahwa manusia bisa melakukan berbagai hal dan tidak mendefinisi diri sebagai satu hal saja. Saya ingin bertemu dengan berbagai macam orang, muda dan tua, dari berbagai latar belakang. Sekolah saya akan mengijinkan hal itu, karena di Community College lah berkumpul orang-orang yang numpang lewat, orang-orang yang sungguh ingin memperbaiki nasibnya, orang-orang yang ingin merubah hidup mereka, orang-orang yang tidak punya banyak uang, namun tetap ingin sekolah. Di sini lah tempatnya dan saya akan berada bersama mereka, mengenal negara ini lebih baik lagi, mempelajari manusia, mendapatkan modal yang saya butuhkan untuk menyelamatkan diri ketika keadaan menjadi sulit, membuat otak saya terus berputar, dan pada akhirnya memberikan saya bahan untuk menulis lebih sering dan lebih baik lagi. Ya, pada akhirnya semua kembali pada hal yang paling saya cintai. Saya melakukannya saat ini, jam 5 pagi di depan layar komputer. Pada akhirnya semua selalu kembali pada hal ini. Menulis. Karena saya tahu apapun yang terjadi, ketika semuanya hancur dan berantakan, menulis dari hati adalah hal yang akan menyelamatkan saya.

Maka, sekali lagi, saya menginginkan ini. Saya memilih ini.







Comments

Popular Posts