Kabar Baik dari Laut Mentawai
Belum juga pertengahan tahun dan banyak sekali tragedi yang terjadi. Banjir Jakarta, bom di Boston, ledakan pabrik pupuk yang menghancurkan sebuah kota kecil di Texas Barat jadi headline yang bikin murung hingga bulan keempat di tahun 2013. Tetapi sebuah keajaiban terjadi di laut Mentawai beberapa hari lalu. Satu jiwa lolos dari maut setelah 27 jam dirajam kegagahan laut.
Satu jiwa itu adalah milik Brett Archibald, pria kebangsaan Afrika Selatan yang bersama sekelompok temannya mendatangi Mentawai untuk berselancar dan merayakan ulang tahun salah satu anggotanya. Kelompok ini sudah melakukannya berkali-kali. Mereka bukan anak kemarin sore. Brett sendiri usianya 51 tahun, memiliki seorang istri dan 2 orang anak yang tidak ikut ke Indonesia.
Dengan kapal bernama Naga Laut mereka berlayar dari Padang ke Mentawai setelah menikmati hidangan khas Minangkabau di Padang. Perut Brett ternyata tidak cocok dengan hidangan kesayangan kita ini, sehingga semalaman ia tidak bisa berhenti muntah dan ke kamar kecil. Malang bagi Brett, di satu titik ia begitu lemas sehingga hilang kesadaran ketika bersandar pada sisi kapal dan jatuh ke laut. Ketika ia akhirnya sadar, kapal yang membawanya sudah berlayar semakin jauh dan tak terjamah. Kabarnya peristiwa ini terjadi kira-kira di pukul 4 pagi. Pukul 8 pagi, ketika hendak sarapan seluruh isi kapal baru sadar kalau Brett hilang.
Mentawai ramai dengan kapal seperti Naga Laut yang membawa peselancar-peselancar untuk menjajal ombak di sana. Kapal-kapal ini laksana hotel mengapung. Seketika saja kabar tentang hilangnya Brett disebar ke kapal-kapal lain. Serentak upaya pencarian dilakukan meski seakan mencari jarum di tengah jerami karena tidak ada yang tahu persis di mana Brett jatuh atau pukul berapa. Pencarian dilakukan berdasarkan arah dan kekuatan angin, serta doa dan harapan untuk keselamatan laki-laki itu. Laut Mentawai dikenal garang.
Salah satu kapten kapal yang menolak untuk menyerah mencari Brett adalah Tony 'Doris' Eltherington. Ketika malam tiba dan kondisi laut menjadi semakin tidak menentu, Tony tetap tidak mundur. Ia tidak hendak membiarkan anak-anak Brett kehilangan ayah mereka. Setelah malam panjang berlalu tanpa membuahkan hasil, insting Tony mendadak mengatakan bahwa mereka perlu mengarahkan pencarian semakin ke utara dan ia membelokkan kapalnya ke arah itu. Tidak lama kemudian awak kapal mendapati kepala botak Brett yang sudah terbakar matahari dan lengannya yang putih melambai-lambai di udara. Ia selamat meski selama 27 jam dikitari hiu, disengat ubur-ubur, diserang burung camar, terbakar matahari, dan dehidrasi. Manusia itu selamat. Anak-anak dan istrinya terlepas dari nestapa.
Tony adalah teman yang aku kenal ketika mendapat tugas liputan luar kota untuk pertama kalinya dari majalah Tamasya. Ia sudah seumur orangtuaku, tetapi jiwanya tidak sehari lebih tua dari 21 tahun. Beberapa hari lalu ia menyelamatkan seorang manusia dan hari ini ia hendak pulang sejenak ke Australia untuk bertemu keluarganya, 3 anak dan 3 cucu. Manusia ini luar biasa, meski ia tidak berusaha jadi luar biasa. Aku berani bertaruh kejadian ini tidak akan merubahnya barang sedikit. Dan hal itu yang selalu membuatku menaruh hormat padanya. Hal itu yang membuatku bisa berteman dengannya.
Di tengah kegelapan dan kesedihan, kejadian ini membuktikan kalau kemanusiaan masih ada dan nyata. Orang baik bukan legenda, mereka masih ada di antara kita, bahkan kita bisa jadi mereka.
Berikut adalah petikan wawancara majalah Stabmag dengan Tony Eltherington:
As the True World Thunders By
Satu jiwa itu adalah milik Brett Archibald, pria kebangsaan Afrika Selatan yang bersama sekelompok temannya mendatangi Mentawai untuk berselancar dan merayakan ulang tahun salah satu anggotanya. Kelompok ini sudah melakukannya berkali-kali. Mereka bukan anak kemarin sore. Brett sendiri usianya 51 tahun, memiliki seorang istri dan 2 orang anak yang tidak ikut ke Indonesia.
Dengan kapal bernama Naga Laut mereka berlayar dari Padang ke Mentawai setelah menikmati hidangan khas Minangkabau di Padang. Perut Brett ternyata tidak cocok dengan hidangan kesayangan kita ini, sehingga semalaman ia tidak bisa berhenti muntah dan ke kamar kecil. Malang bagi Brett, di satu titik ia begitu lemas sehingga hilang kesadaran ketika bersandar pada sisi kapal dan jatuh ke laut. Ketika ia akhirnya sadar, kapal yang membawanya sudah berlayar semakin jauh dan tak terjamah. Kabarnya peristiwa ini terjadi kira-kira di pukul 4 pagi. Pukul 8 pagi, ketika hendak sarapan seluruh isi kapal baru sadar kalau Brett hilang.
Mentawai ramai dengan kapal seperti Naga Laut yang membawa peselancar-peselancar untuk menjajal ombak di sana. Kapal-kapal ini laksana hotel mengapung. Seketika saja kabar tentang hilangnya Brett disebar ke kapal-kapal lain. Serentak upaya pencarian dilakukan meski seakan mencari jarum di tengah jerami karena tidak ada yang tahu persis di mana Brett jatuh atau pukul berapa. Pencarian dilakukan berdasarkan arah dan kekuatan angin, serta doa dan harapan untuk keselamatan laki-laki itu. Laut Mentawai dikenal garang.
Salah satu kapten kapal yang menolak untuk menyerah mencari Brett adalah Tony 'Doris' Eltherington. Ketika malam tiba dan kondisi laut menjadi semakin tidak menentu, Tony tetap tidak mundur. Ia tidak hendak membiarkan anak-anak Brett kehilangan ayah mereka. Setelah malam panjang berlalu tanpa membuahkan hasil, insting Tony mendadak mengatakan bahwa mereka perlu mengarahkan pencarian semakin ke utara dan ia membelokkan kapalnya ke arah itu. Tidak lama kemudian awak kapal mendapati kepala botak Brett yang sudah terbakar matahari dan lengannya yang putih melambai-lambai di udara. Ia selamat meski selama 27 jam dikitari hiu, disengat ubur-ubur, diserang burung camar, terbakar matahari, dan dehidrasi. Manusia itu selamat. Anak-anak dan istrinya terlepas dari nestapa.
Tony adalah teman yang aku kenal ketika mendapat tugas liputan luar kota untuk pertama kalinya dari majalah Tamasya. Ia sudah seumur orangtuaku, tetapi jiwanya tidak sehari lebih tua dari 21 tahun. Beberapa hari lalu ia menyelamatkan seorang manusia dan hari ini ia hendak pulang sejenak ke Australia untuk bertemu keluarganya, 3 anak dan 3 cucu. Manusia ini luar biasa, meski ia tidak berusaha jadi luar biasa. Aku berani bertaruh kejadian ini tidak akan merubahnya barang sedikit. Dan hal itu yang selalu membuatku menaruh hormat padanya. Hal itu yang membuatku bisa berteman dengannya.
Di tengah kegelapan dan kesedihan, kejadian ini membuktikan kalau kemanusiaan masih ada dan nyata. Orang baik bukan legenda, mereka masih ada di antara kita, bahkan kita bisa jadi mereka.
Berikut adalah petikan wawancara majalah Stabmag dengan Tony Eltherington:
As the True World Thunders By
Comments
Post a Comment