H.R. Rasuna Said: Membuktikan Perempuan Bukan Hanya Tentang 'Dapur-Sumur-Kasur'
Ternyata bukan saya saja yang tidak tahu kalau H.R. Rasuna Said adalah seorang perempuan. Semua orang yang saya tanya tidak ada yang tahu! Namanya dipakai sebagai salah satu jalan utama di Ibukota Jakarta, tetapi sebagian (bahkan mungkin sebagian besar) penduduk Indonesia tidak tahu bahwa beliau adalah seorang perempuan!
"Kamu tahu tidak siapa H.R. Rasuna Said?" tanya saya pada setiap orang Indonesia yang saya ajak bicara sejak saya sadar tentang jenis kelamin pahlawan nasional itu. "Tahu lah!" jawab mereka. Selalu dengan nada tersinggung karena saya mengajukan pertanyaan itu. "Siapa?" tanya saya kemudian. Biasanya mereka akan langsung menjawab dengan suara yang lebih pelan karena tidak yakin, "Pahlawan." Ketika saya bertanya bilamana mereka tahu bahwa jenis kelamin pahlawan yang kita bicarakan adalah perempuan, biasanya mereka akan terbelalak kaget. Sama seperti saya ketika pertama kali mengetahui hal itu! Saya tidak sendiri! Hore!
Saya memutuskan untuk mencari tahu tentang perempuan itu. Sayangnya tidak banyak informasi di dunia maya tentang beliau. Ini sebagian besar yang saya temukan:
H.R. Rasuna Said atau Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 14 September 1910 dan meninggal di Jakarta pada 2 November 1965. Dalam kurun waktu kehadirannya di dunia, ia gencar memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, baik melalui dunia pendidikan maupun kancah politik.
Setelah tamat SD, H.R. Rasuna Said melanjutkan pendidikannya dengan masuk pesantren Ar-Rasyidiyah. Beliau adalah satu-satunya santri perempuan di sana. Ia kemudian masuk dan belajar di Madrasatud Diniyah lil Banat atau juga dikenal dengan nama Diniyah School Puteri, sekolah khusus perempuan pertama di Sumatera Barat. Sekolah ini didirikan oleh Rahmah El Yunusiyyah, seorang perempuan yang percaya bahwa setiap perempuan memiliki tanggung jawab sosial terhadap kesejahteraan masyarakat, agama dan Tanah Air. Oleh karenanya perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan dan mengembangkan dirinya. Asumsi bahwa kodrat perempuan adalah "dapur-sumur-kasur" ingin dihapuskannya. Beliau kemudian juga mendirikan Diniyah School Puteri di Kwitang, Tanah Abang, Rawasari dan Jatinegara, Jakarta. Seperti H.R. Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah juga menentang poligami. Pendiri sekolah puteri itu memilih cerai pada usia 22 daripada dipoligami. Hingga akhir usia (68 tahun) ia tidak pernah menikah kembali dan mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan perempuan. Ah, ternyata bukan hanya H.R. Rasuna Said saja tokoh perempuan luar biasa yang lolos dari radar saya selama ini!
H.R. Rasuna Said sempat mengajar di almamaternya, Diniyah School Puteri hingga tahun 1930 (tidak jelas kapan ia mulai mengajar di sana). Ia percaya bahwa perempuan berhak mendapat dan memberikan pengajaran. Ia kemudian memilih jalur politik untuk memperjuangkan visinya bagi perempuan-perempuan Indonesia. Rasuna Said tercatat pernah bergabung di Sarekat Rakyat, Soematra Thawalib, bahkan ikut mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi. Tokoh perempuan yang satu ini ternyata handal bicara di muka umum. Kata-katanya membakar semangat dan menyentil pemerintah kolonial Belanda. Alhasil pada tahun 1932 ia pernah ditendang masuk bui di Semarang karena melanggar hukum 'Speek Delict' yang menyatakan bahwa siapapun yang bicara tentang menentang Belanda bisa dijatuhi hukuman.
Selepas dari penjara Rasuna Said tidak berhenti bekerja untuk memenangkan perjuangannya. Ia melanjutkan pendidikan di Islamic College kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Raya. Karena Belanda terus-menerus mengawasi dan membatasi gerak-geriknya, ia kemudian memilih hengkang ke Medan di mana ia mendirikan sekolah Perguruan Putri dan menerbitkan majalah Menara Putri yang membahas isu-isu penting seputar peran perempuan, kesetaraan gender dan ke-Islam-an.
Di era kemerdekaan H.R. Rasuna Said berperan aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia juga mewakili Sumatera Barat di Dewan Perwakilan Sumatera dan dipercaya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) dan masuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga wafatnya di usia muda 55 tahun.
Kenali juga: Rahmah El Yunusiyyah
Foto diambil dari: Republika Online |
Saya memutuskan untuk mencari tahu tentang perempuan itu. Sayangnya tidak banyak informasi di dunia maya tentang beliau. Ini sebagian besar yang saya temukan:
H.R. Rasuna Said atau Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 14 September 1910 dan meninggal di Jakarta pada 2 November 1965. Dalam kurun waktu kehadirannya di dunia, ia gencar memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, baik melalui dunia pendidikan maupun kancah politik.
Setelah tamat SD, H.R. Rasuna Said melanjutkan pendidikannya dengan masuk pesantren Ar-Rasyidiyah. Beliau adalah satu-satunya santri perempuan di sana. Ia kemudian masuk dan belajar di Madrasatud Diniyah lil Banat atau juga dikenal dengan nama Diniyah School Puteri, sekolah khusus perempuan pertama di Sumatera Barat. Sekolah ini didirikan oleh Rahmah El Yunusiyyah, seorang perempuan yang percaya bahwa setiap perempuan memiliki tanggung jawab sosial terhadap kesejahteraan masyarakat, agama dan Tanah Air. Oleh karenanya perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan dan mengembangkan dirinya. Asumsi bahwa kodrat perempuan adalah "dapur-sumur-kasur" ingin dihapuskannya. Beliau kemudian juga mendirikan Diniyah School Puteri di Kwitang, Tanah Abang, Rawasari dan Jatinegara, Jakarta. Seperti H.R. Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah juga menentang poligami. Pendiri sekolah puteri itu memilih cerai pada usia 22 daripada dipoligami. Hingga akhir usia (68 tahun) ia tidak pernah menikah kembali dan mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan perempuan. Ah, ternyata bukan hanya H.R. Rasuna Said saja tokoh perempuan luar biasa yang lolos dari radar saya selama ini!
H.R. Rasuna Said sempat mengajar di almamaternya, Diniyah School Puteri hingga tahun 1930 (tidak jelas kapan ia mulai mengajar di sana). Ia percaya bahwa perempuan berhak mendapat dan memberikan pengajaran. Ia kemudian memilih jalur politik untuk memperjuangkan visinya bagi perempuan-perempuan Indonesia. Rasuna Said tercatat pernah bergabung di Sarekat Rakyat, Soematra Thawalib, bahkan ikut mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi. Tokoh perempuan yang satu ini ternyata handal bicara di muka umum. Kata-katanya membakar semangat dan menyentil pemerintah kolonial Belanda. Alhasil pada tahun 1932 ia pernah ditendang masuk bui di Semarang karena melanggar hukum 'Speek Delict' yang menyatakan bahwa siapapun yang bicara tentang menentang Belanda bisa dijatuhi hukuman.
Selepas dari penjara Rasuna Said tidak berhenti bekerja untuk memenangkan perjuangannya. Ia melanjutkan pendidikan di Islamic College kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Raya. Karena Belanda terus-menerus mengawasi dan membatasi gerak-geriknya, ia kemudian memilih hengkang ke Medan di mana ia mendirikan sekolah Perguruan Putri dan menerbitkan majalah Menara Putri yang membahas isu-isu penting seputar peran perempuan, kesetaraan gender dan ke-Islam-an.
Di era kemerdekaan H.R. Rasuna Said berperan aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia juga mewakili Sumatera Barat di Dewan Perwakilan Sumatera dan dipercaya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) dan masuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga wafatnya di usia muda 55 tahun.
Kenali juga: Rahmah El Yunusiyyah
Comments
Post a Comment