Menjadi Warga Dunia
Ini sebuah pengakuan. Pengakuan tentang saya yang akhir-akhir ini merasa kurang "in love" dengan Indonesia. Mengkhawatirkan, karena saya kini selalu ragu untuk meng-update blog ini. Menulis jadi lebih menyenangkan ketika saya jujur melakukannya. Maka kini saya melakukan ini. Membuat pengakuan.
Pertama kali pindah ke Amerika Serikat saya merasakan homesick yang lumayan parah. Begitu parah hingga mungkin hampir 1 tahun saya tidak melakukan apa-apa dengan hidup saya. Tentu masih ada beberapa kerjaan menulis yang saya terima, tetapi di luar itu yang saya lakukan hanyalah menjadi kaktus di dalam rumah. Saya tidak berkarya, tidak mengambil risiko, tidak bergerak. Menyedihkan dan gelap ketika mengingat masa-masa itu.
Lalu sesuatu terjadi. Bola lampu menyala di kepala setelah suamimenyelamatkan menyadarkan saya dari mengasihani diri sendiri dan kerinduan pada Indonesia yang tidak kering-kering. Saya tidak sedang berada di Indonesia tetapi pikiran saya melulu ada di sana, entah mengapa, mungkin saya hanya cari-cari alasan untuk jadi kaktus selamanya atau saya takut. Takut menghadapi perubahan dan ketidaknyamanan. Sesuatu harus dilakukan, maka saya memilih untuk berada di sini, di Houston, Amerika Serikat, lahir dan batin, fisik dan mental. Saya perlu ada di sini. Sepenuhnya ada di sini. Jadi kaktus bukan lagi sebuah pilihan.
Maka saya mulai melakukan berbagai kegiatan yang mengisi waktu dan membuat saya merasa senang. Awalnya hanya itu motivasinya: mengisi waktu dan membuat senang. Tetapi lalu saya bukan hanya merasa senang, saya merasa penuh! Saya merasa ada sumbu yang kembali terbakar dan saya mau terus bergerak. Pergi sudah hari-hari depresi.
Kegiatan yang saya pilih untuk lakukan membuat saya membuka diri terhadap berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang budaya. Tidak rindu Indonesia tidak membuat saya cinta Amerika. Tidak sama sekali. Saya jadi cinta dunia, terpesona pada manusia. Manusia pada umumnya dengan segala latar belakang dan warna-warninya. Saya menjadi tutor bahasa Inggris bagi sesama imigran yang belum fasih bertutur dan menulis bahasa Inggris, saya belajar dan kini mengajar yoga, bertualang dengan suami ke berbagai tempat di Amerika Tengah dan Meksiko, bertemu dengan orang-orang menarik dari berbagai belahan dunia, dan menyadari bahwa saya juga warga dunia, bukan hanya sebuah negara.
Saya akan selalu cinta Indonesia. Bedanya kini saya membuka cakrawala terhadap kemungkinan untuk menjadi warga dunia. Akan selalu ada kebanggaan dan kupu-kupu beterbangan di dalam perut ketika seorang asing bicara tentang keindahan Indonesia, tentang betapa mereka ingin mengunjungi Indonesia atau sekedar terkejut karena saya dan suami berasal dari Indonesia, namun berada di tengah Belize atau Honduras bersama mereka. Ketika seorang asing menyebut Indonesia, rasa bangga masih membara. Akan selalu membara, saya rasa.
Saya akan selalu cinta Indonesia karena terlepas dari semua, dari sanalah saya berasal, di sanalah saya pertama kali merangkak, belajar berjalan, berlari, dan jatuh cinta. Indonesia lah yang membuat saya cinta membaca, menulis dan bertualang, terbang dan mendarat di sebuah tempat yang sama sekali tidak familiar. Indonesia punya ruang permanen di dalam hati. Ruang itu luas, hangat dan aman. Selalu aman, meski kini saya memilih untuk jatuh cinta pada dunia.
Tabik,
Andini
Pertama kali pindah ke Amerika Serikat saya merasakan homesick yang lumayan parah. Begitu parah hingga mungkin hampir 1 tahun saya tidak melakukan apa-apa dengan hidup saya. Tentu masih ada beberapa kerjaan menulis yang saya terima, tetapi di luar itu yang saya lakukan hanyalah menjadi kaktus di dalam rumah. Saya tidak berkarya, tidak mengambil risiko, tidak bergerak. Menyedihkan dan gelap ketika mengingat masa-masa itu.
Lalu sesuatu terjadi. Bola lampu menyala di kepala setelah suami
Maka saya mulai melakukan berbagai kegiatan yang mengisi waktu dan membuat saya merasa senang. Awalnya hanya itu motivasinya: mengisi waktu dan membuat senang. Tetapi lalu saya bukan hanya merasa senang, saya merasa penuh! Saya merasa ada sumbu yang kembali terbakar dan saya mau terus bergerak. Pergi sudah hari-hari depresi.
Kegiatan yang saya pilih untuk lakukan membuat saya membuka diri terhadap berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang budaya. Tidak rindu Indonesia tidak membuat saya cinta Amerika. Tidak sama sekali. Saya jadi cinta dunia, terpesona pada manusia. Manusia pada umumnya dengan segala latar belakang dan warna-warninya. Saya menjadi tutor bahasa Inggris bagi sesama imigran yang belum fasih bertutur dan menulis bahasa Inggris, saya belajar dan kini mengajar yoga, bertualang dengan suami ke berbagai tempat di Amerika Tengah dan Meksiko, bertemu dengan orang-orang menarik dari berbagai belahan dunia, dan menyadari bahwa saya juga warga dunia, bukan hanya sebuah negara.
Saya akan selalu cinta Indonesia. Bedanya kini saya membuka cakrawala terhadap kemungkinan untuk menjadi warga dunia. Akan selalu ada kebanggaan dan kupu-kupu beterbangan di dalam perut ketika seorang asing bicara tentang keindahan Indonesia, tentang betapa mereka ingin mengunjungi Indonesia atau sekedar terkejut karena saya dan suami berasal dari Indonesia, namun berada di tengah Belize atau Honduras bersama mereka. Ketika seorang asing menyebut Indonesia, rasa bangga masih membara. Akan selalu membara, saya rasa.
Saya akan selalu cinta Indonesia karena terlepas dari semua, dari sanalah saya berasal, di sanalah saya pertama kali merangkak, belajar berjalan, berlari, dan jatuh cinta. Indonesia lah yang membuat saya cinta membaca, menulis dan bertualang, terbang dan mendarat di sebuah tempat yang sama sekali tidak familiar. Indonesia punya ruang permanen di dalam hati. Ruang itu luas, hangat dan aman. Selalu aman, meski kini saya memilih untuk jatuh cinta pada dunia.
Tabik,
Andini
Comments
Post a Comment