Saya Ingin Mencaci Maki! Tetapi...
Harus saya akui, di "pulang kampung" kali ini, sulit merasa optimis dan positif tentang Indonesia. Mohon maaf sebelumnya karena hal ini tentunya bertentangan dengan judul dan semangat blog ini. Tapi mari lihat sajalah nanti ke mana tulisan ini akan berkembang.
Kami tiba di Indonesia pada medio Desember 2011, disambut Jakarta yang berpayung lapisan abu-abu yang ternyata tak pernah hilang, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Bukannya "payung" ini belum ada ketika saya meninggalkan Jakarta 2 tahun yang lalu, saya hanya baru benar-benar menyadarinya dan merasa sangat terganggu.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta sekali lagi kalah telak dalam setiap aspek jika dibandingkan bandara-bandara udara lain yang kami singgahi dalam 30 jam perjalanan udara menuju Jakarta, George Bush Intercontinental Airport (Houston, AS), Narita International Airport (Narita, Jepang) dan Changi International Airport (Singapura, Singapura). Bandara udara internasional di Jakarta jorok, pengap, penuh ketidakteraturan, dan minim informasi bagi para penumpang. Tapi hal ini tentu sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara umum.
Selanjutnya adalah kekacauan jalanan dan ketidakdisiplinan para pemakainya, kamar-kamar mandi di tempat-tempat umum yang amit-amit joroknya (dan masih dipungut bayaran!), orang-orang yang nyerobot ketika jelas-jelas ada antrian, kekaguman berlebihan terhadap selebriti yang tidak jelas prestasinya, kekerasan yang masih dipakai sebagai jalan keluar masalah, kisah korupsi dan suap-menyuap yang sudah begitu rumitnya hingga saya tidak bisa lagi memahami awal mulanya, hingga tentu saja birokrasi kompleks untuk menyelesaikan hal-hal yang begitu sederhana.
Kemarin saya bertemu teman yang kini bekerja bagi The Borneo Orangutan Survival Foundation dan kami bicara tentang kendala yang mereka temui di lapangan dalam rangka menyelamatkan orangutan-orangutan penghuni hutan-hutan dataran rendah kita di Kalimantan. Betapa menyedihkan, betapa memalukan. Upaya konservasi masih juga belum mendapat dukungan nyata dari pemerintah Indonesia, pengusaha-pengusaha kelapa sawit dan anggota-anggota masyarakat, sepertikita saya sendiri. Sembilan puluh persen bantuan dana untuk kelangsungan yayasan ini berasal dari negara asing nun jauh di benua Eropa. Lagu lama, kaset kusut. Ketika orang lain sangat peduli pada kelangsungan kekayaan hayati di Indonesia, pejabat-pejabat kita malah masih mempertanyakan kenapa ada orang yang repot-repot mau melakukan upaya konservasi. Seribu satu cacian ada di kepala saya sekarang. Tidak untuk dibagi kepada pada pembaca budiman sekalian.
Ini kah rumah yang saya rindukan selama setahun penuh? Ini kah rumah yang membuat saya selalu ingin pulang? Dari jauh rumah ini tidak terlihat demikian kacau, bahkan cukup indah. Mungkin juga karena saya memilih tidak membaca berita buruk dari dalam negeri bahkan menutup akun twitter yang selalu dibombardir berita tentang Indonesia yang lebih sering menjadi berlebihan daripada proporsional. Ya, saya memilih menutup mata dan tenggelam dalam romantisme nostalgia tentang hal-hal yang indah saja.
Tetapi lalu saya tiba di rumah Cinere. Rumah tempat saya dibesarkan, tempat ibu dan adik saya masih tinggal hingga kini. Rumah itu dan isinya adalah alasan utama kepulangan saya. Selalu. Meski ketika saya tiba, Cinere sedang selalu macet berat akibat pembenaran jalan, namun tetap saja, ketika sampai di rumah saya tidak ingin kemana-mana lagi. It's my sanctuary. My haven. Maka inilah alasan pertama mengapa Indonesia masih istimewa. Sangat personal, memang.
Kemudian saya bertemu keluarga dan teman-teman yang tidak terjamah selagi saya berada di luar sana, kecuali lewat pesan-pesan singkat dan jejaring sosial. Ada alasan mengapa saya berteman dengan mereka-mereka ini. Ada alasan mengapa saya masih selalu ingin bertemu anggota-anggota keluarga setiap saya pulang kampung. Mereka orang-orang yang istimewa. Salah satunya adalah teman saya yang bekerja untuk kepentingan orangutan-orangutan. Namanya Amanda Meirini Sucahyo. Baca blog nya di sini dan mengerti mengapa dia sangat istimewa.
Kepulangan ke Indonesia juga terasa cukup berharga untuk diperjuangkan karena toko buku Gramedia. Hahaha. Ya, itu alasan yang sangat serius! Setelah terus-menerus hanya melihat deretan buku berbahasa Inggris dengan nama-nama pengarang yang tidak akrab di telinga, saya akhirnya "pulang" ke Gramedia, tempat buku-buku berbahasa Indonesia berada. Surga, bung! Saya sempat panik, namun teringat keterbatasan koper untuk kembali ke Houston. Jalan keluarnya adalah membeli semua buku yang saya inginkan dan membaca mereka sebelum kembali ke Houston. Kini tinggal satu buku lagi yang perlu saya selesaikan; Padang Bulan karangan Andrea Hirata. Nah, bagian kedua dari dwilogi itu akan saya bawa saja ke Houston.
Bicara buku, saya telah selesai membaca "Indonesia Mengajar" yang berisi cerita-cerita para Pengajar Muda (Indonesia Mengajar: Setahun Mengabdi, Seumur Hidup Memberi Inspirasi) selama setahun bertugas di pelosok-pelosok Negeri, mengajar anak-anak bangsa. Anies Baswedan selaku penggagas program Indonesia Mengajar selalu membuat saya merasa Indonesia punya harapan. Bahwa ada banyak manusia-manusia Indonesia yang berjuang untuk negeri ini. Dan ia selalu membuat saya ingin menjadi salah satunya. Buku Indonesia Mengajar adalah buku yang wajib dibaca, wajib dimiliki, wajib dipinjamkan kepada yang tidak mampu membeli.
Di pulang kampung tahun lalu, saya terobsesi memakan semua makanan Indonesia yang tidak bisa ditemui di Houston. Tahun ini saya terobsesi diving di Indonesia. Satu-satunya tempat yang bisa kami datangi adalah Tulamben, Bali. Kami menghabiskan 5 malam di Bali, 3 malam di Kuta dan 2 malam di Tulamben. Pantai Kuta sudah tidak menarik sama sekali bagi saya. Kumuh dan padat manusia. Sebaliknya Tulamben sangat damai dan bersih. Tulamben terkenal karena sebuah kapal pembawa barang milik AS yang dirudal oleh Jepang pada Perang Dunia II dan kini bersandar di dasar laut Tulamben. Kini kapal itu sudah dipenuhi karang-karang cantik dan ikan berbagai rupa.
Indonesia juga surganya perawatan tubuh. Bayangkan, sejauh ini saya sudah manicure, pedicure, reflexology, lulur, waxing, dan totok wajah. Semua perawatan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para terapisnya. Secara biaya pun tergolong murah jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan jika saya melakukannya di Houston. Tidak heran ya banyak perempuan Jakarta dan Indonesia yang cantik-cantik!
Semakin panjang tulisan ini, alasan-alasan saya pun terasa semakin superfisial, tetapi paling tidak masih ada alasan. Seperti kata teman saya Rini semalam ketika kami bertemu, "Gue benci negara ini, tetapi cinta negeri ini." Saya merasakan hal yang sama. Saya masih dan akan selalu ingin pulang ke Indonesia. Indonesia dengan alamnya yang luar biasa dan manusia-manusia pilihan di dalamnya yang senantiasa berkarya dengan integritas.
Bicara tentang berkarya, berita tentang mobil buatan anak-anak bangsa yang diberi nama KIAT ESEMKA pun memercikkan kebanggaan di hati. Di tengah kebusukan yang luar biasa, wangi setitik pun jadi pelipur lara yang tiada dua. Walikota Solo, Joko Widodo juga membuat saya memiliki harapan lagi terhadap raja-raja kecil di seantero khatulistiwa. Semoga beliau senantiasa setia pada nuraninya dan mungkin suatu hari nanti setiap pemimpin di negeri ini akan kembali berpihak pada rakyat.
PS: Anda dapat mengambil bagian dalam upaya penyelamatan orangutan-orangutan dengan mengikuti program ini --> Adopsi Orangutan yang digagas oleh The Borneo Orangutan Survival Foundation. Jika kita bisa menghabiskan ratusan ribu hanya untuk makan di sebuah restoran di dalam mall, maka kita bisa menyisihkan uang dan mengadopsi satu orangutan. Kita bisa. Lakukan sekarang. (www.orangutan.or.id)
Kami tiba di Indonesia pada medio Desember 2011, disambut Jakarta yang berpayung lapisan abu-abu yang ternyata tak pernah hilang, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Bukannya "payung" ini belum ada ketika saya meninggalkan Jakarta 2 tahun yang lalu, saya hanya baru benar-benar menyadarinya dan merasa sangat terganggu.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta sekali lagi kalah telak dalam setiap aspek jika dibandingkan bandara-bandara udara lain yang kami singgahi dalam 30 jam perjalanan udara menuju Jakarta, George Bush Intercontinental Airport (Houston, AS), Narita International Airport (Narita, Jepang) dan Changi International Airport (Singapura, Singapura). Bandara udara internasional di Jakarta jorok, pengap, penuh ketidakteraturan, dan minim informasi bagi para penumpang. Tapi hal ini tentu sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara umum.
Selanjutnya adalah kekacauan jalanan dan ketidakdisiplinan para pemakainya, kamar-kamar mandi di tempat-tempat umum yang amit-amit joroknya (dan masih dipungut bayaran!), orang-orang yang nyerobot ketika jelas-jelas ada antrian, kekaguman berlebihan terhadap selebriti yang tidak jelas prestasinya, kekerasan yang masih dipakai sebagai jalan keluar masalah, kisah korupsi dan suap-menyuap yang sudah begitu rumitnya hingga saya tidak bisa lagi memahami awal mulanya, hingga tentu saja birokrasi kompleks untuk menyelesaikan hal-hal yang begitu sederhana.
Kemarin saya bertemu teman yang kini bekerja bagi The Borneo Orangutan Survival Foundation dan kami bicara tentang kendala yang mereka temui di lapangan dalam rangka menyelamatkan orangutan-orangutan penghuni hutan-hutan dataran rendah kita di Kalimantan. Betapa menyedihkan, betapa memalukan. Upaya konservasi masih juga belum mendapat dukungan nyata dari pemerintah Indonesia, pengusaha-pengusaha kelapa sawit dan anggota-anggota masyarakat, seperti
Ini kah rumah yang saya rindukan selama setahun penuh? Ini kah rumah yang membuat saya selalu ingin pulang? Dari jauh rumah ini tidak terlihat demikian kacau, bahkan cukup indah. Mungkin juga karena saya memilih tidak membaca berita buruk dari dalam negeri bahkan menutup akun twitter yang selalu dibombardir berita tentang Indonesia yang lebih sering menjadi berlebihan daripada proporsional. Ya, saya memilih menutup mata dan tenggelam dalam romantisme nostalgia tentang hal-hal yang indah saja.
Tetapi lalu saya tiba di rumah Cinere. Rumah tempat saya dibesarkan, tempat ibu dan adik saya masih tinggal hingga kini. Rumah itu dan isinya adalah alasan utama kepulangan saya. Selalu. Meski ketika saya tiba, Cinere sedang selalu macet berat akibat pembenaran jalan, namun tetap saja, ketika sampai di rumah saya tidak ingin kemana-mana lagi. It's my sanctuary. My haven. Maka inilah alasan pertama mengapa Indonesia masih istimewa. Sangat personal, memang.
Kemudian saya bertemu keluarga dan teman-teman yang tidak terjamah selagi saya berada di luar sana, kecuali lewat pesan-pesan singkat dan jejaring sosial. Ada alasan mengapa saya berteman dengan mereka-mereka ini. Ada alasan mengapa saya masih selalu ingin bertemu anggota-anggota keluarga setiap saya pulang kampung. Mereka orang-orang yang istimewa. Salah satunya adalah teman saya yang bekerja untuk kepentingan orangutan-orangutan. Namanya Amanda Meirini Sucahyo. Baca blog nya di sini dan mengerti mengapa dia sangat istimewa.
Kepulangan ke Indonesia juga terasa cukup berharga untuk diperjuangkan karena toko buku Gramedia. Hahaha. Ya, itu alasan yang sangat serius! Setelah terus-menerus hanya melihat deretan buku berbahasa Inggris dengan nama-nama pengarang yang tidak akrab di telinga, saya akhirnya "pulang" ke Gramedia, tempat buku-buku berbahasa Indonesia berada. Surga, bung! Saya sempat panik, namun teringat keterbatasan koper untuk kembali ke Houston. Jalan keluarnya adalah membeli semua buku yang saya inginkan dan membaca mereka sebelum kembali ke Houston. Kini tinggal satu buku lagi yang perlu saya selesaikan; Padang Bulan karangan Andrea Hirata. Nah, bagian kedua dari dwilogi itu akan saya bawa saja ke Houston.
Bicara buku, saya telah selesai membaca "Indonesia Mengajar" yang berisi cerita-cerita para Pengajar Muda (Indonesia Mengajar: Setahun Mengabdi, Seumur Hidup Memberi Inspirasi) selama setahun bertugas di pelosok-pelosok Negeri, mengajar anak-anak bangsa. Anies Baswedan selaku penggagas program Indonesia Mengajar selalu membuat saya merasa Indonesia punya harapan. Bahwa ada banyak manusia-manusia Indonesia yang berjuang untuk negeri ini. Dan ia selalu membuat saya ingin menjadi salah satunya. Buku Indonesia Mengajar adalah buku yang wajib dibaca, wajib dimiliki, wajib dipinjamkan kepada yang tidak mampu membeli.
Di pulang kampung tahun lalu, saya terobsesi memakan semua makanan Indonesia yang tidak bisa ditemui di Houston. Tahun ini saya terobsesi diving di Indonesia. Satu-satunya tempat yang bisa kami datangi adalah Tulamben, Bali. Kami menghabiskan 5 malam di Bali, 3 malam di Kuta dan 2 malam di Tulamben. Pantai Kuta sudah tidak menarik sama sekali bagi saya. Kumuh dan padat manusia. Sebaliknya Tulamben sangat damai dan bersih. Tulamben terkenal karena sebuah kapal pembawa barang milik AS yang dirudal oleh Jepang pada Perang Dunia II dan kini bersandar di dasar laut Tulamben. Kini kapal itu sudah dipenuhi karang-karang cantik dan ikan berbagai rupa.
Indonesia juga surganya perawatan tubuh. Bayangkan, sejauh ini saya sudah manicure, pedicure, reflexology, lulur, waxing, dan totok wajah. Semua perawatan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para terapisnya. Secara biaya pun tergolong murah jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan jika saya melakukannya di Houston. Tidak heran ya banyak perempuan Jakarta dan Indonesia yang cantik-cantik!
Semakin panjang tulisan ini, alasan-alasan saya pun terasa semakin superfisial, tetapi paling tidak masih ada alasan. Seperti kata teman saya Rini semalam ketika kami bertemu, "Gue benci negara ini, tetapi cinta negeri ini." Saya merasakan hal yang sama. Saya masih dan akan selalu ingin pulang ke Indonesia. Indonesia dengan alamnya yang luar biasa dan manusia-manusia pilihan di dalamnya yang senantiasa berkarya dengan integritas.
Bicara tentang berkarya, berita tentang mobil buatan anak-anak bangsa yang diberi nama KIAT ESEMKA pun memercikkan kebanggaan di hati. Di tengah kebusukan yang luar biasa, wangi setitik pun jadi pelipur lara yang tiada dua. Walikota Solo, Joko Widodo juga membuat saya memiliki harapan lagi terhadap raja-raja kecil di seantero khatulistiwa. Semoga beliau senantiasa setia pada nuraninya dan mungkin suatu hari nanti setiap pemimpin di negeri ini akan kembali berpihak pada rakyat.
PS: Anda dapat mengambil bagian dalam upaya penyelamatan orangutan-orangutan dengan mengikuti program ini --> Adopsi Orangutan yang digagas oleh The Borneo Orangutan Survival Foundation. Jika kita bisa menghabiskan ratusan ribu hanya untuk makan di sebuah restoran di dalam mall, maka kita bisa menyisihkan uang dan mengadopsi satu orangutan. Kita bisa. Lakukan sekarang. (www.orangutan.or.id)
Thank you so much for this post, Din.. And for promoting orangutan adoption. :)
ReplyDeleteDamn! I hope I haven't poisoned your brain with our 2-hour talks! I still need you to be optimistic and romantic, mainly because I'm a helpless case hahaha.. Apparently seeing and knowing too much are not necessarily a good thing :D
It's still a beautiful country. The most beautiful on this planet, I dare say. It's just so sad that most of its residents can't see and appreciate it. But then again ~ to put you back into the right frame of mind ~ many also haven't lived in Houston or in Salt Lake City. Many never even leave their hometowns.
But the government officials and business owners on the other hand.... Well... What can I say.... *puts on short skirt and purple boots* :))
We are surrounded by people who are NOT like these scumbags, though.. Our TAMASYA family and many friends around us do care and take actions as much as they can. Maybe not enough to make "visible" changes, but just seeing you posting this, for me, is already a priceless change. :)
Lah lo tutup Twitter, gue tutup Facebook, kapan ngobrolnya kita ya? Hahahaha ya sudahlah.. Ketemu di sini aja..
Have a safe trip back to the U.S. ya, Din... Salam ama gubernur Texas yg spektakuler itu hahahaha see? Politicians everywhere are just twisted!
And see you next year! AWAS KALO GAK PULANG! :D