Selamat Ulang Tahun ke-66, Indonesia

Tahun lalu untuk menyambut dirgahayu kemerdekaan RI yang ke-65 saya membuat proyek bernama "Tiga Puluh Dua Alasan Mencintai Indonesia". Tiga puluh dua orang membeberkan alasan mereka mencintai Indonesia lewat tulisan dan gambar. Tahun ini berbeda.

Sahabat saya, Marcia, minggu lalu tiba-tiba menanyakan tentang proyek apa yang akan saya buat untuk 17 Agustus tahun ini. Saya memang awalnya memiliki rencana, namun karena satu dan lain hal, saya tidak tergerak untuk melaksanakannya. Pertanyaan Marcia membuat kami berdua berdiskusi.

Marcia baru saja pulang ke Indonesia setelah bertahun-tahun tinggal dan bersekolah di Australia. Ia cinta Indonesia, namun ternyata tetap saja tidak mudah untuk beradaptasi hidup kembali di negara tercinta. Banyak hal berubah dan ia harus membiasakan diri. Banyak hal tidak berubah dan ia juga harus kembali membiasakan diri. Mungkin banyak manusia-manusia Indonesia yang sempat pergi sejenak untuk merantau dan kemudian ketika pulang ke Tanah Air juga merasakan hal ini.

"Makanan selalu membuatku terinspirasi, Din," ujarnya minggu lalu lewat obrolan di Blackberry Messenger. Makanan membuat Indonesia menjadi tempat yang selalu familiar. Saya kemudian menyampaikan ide yang sempat terlintas di kepala, yakni tentang "wajah Indonesia". Lewat diskusi dan lempar tangkap ide, kami lalu sepakat untuk membuat perpaduan tulisan dan foto mengenai mereka-mereka yang menjadi penggerak usaha kecil di Jakarta. Mereka-mereka yang kita temui setiap hari. Mereka-mereka yang kita beli jualannya. Mereka-mereka yang tanpa kita sadari membuat hidup kita jauh lebih mudah.

Titik tolak foto-foto Marcia adalah makanan, tetapi kami sepakat bahwa ada yang lebih besar daripada itu. Perlu disadari, kecintaan manusia-manusia Indonesia terhadap makanan yang kita miliki sungguh luar biasa. Rasanya tidak berlebihan kalau makanan dilihat sebagai sesuatu yang menyatukan kita. Sesuatu yang membuat kita ingat kembali pada asal dan akar. Dan kecintaan ini membuat banyak sekali usaha-usaha kecil dan menengah muncul, bertahan, bahkan maju dan sukses. Luar biasa.

Tentu, restoran-restoran mahal dan bergengsi juga banyak muncul, tetapi tidak sedikit orang-orang yang dengan senang hati makan di bawah tenda setelah sebelumnya menyeruput kopi seharga Rp.35.000 per gelas. Kontradiktif, namun nyata adanya.

Satu yang pasti, saya rindu tukang-tukang makanan yang setiap hari lewat di depan rumah. Saya rindu makan martabak dari warung yang hanya buka di malam hari. Saya rindu makan indomie lengkap dengan kornet, telor dan keju di warung depan Kelurahan Limo, Cinere. Saya rindu kemudahan-kemudahan itu. Saya rindu rasa, aroma dan suasana yang dihadirkan para penjual makanan pinggir jalan serta manusia-manusia yang membeli makanan mereka.

Maka tahun ini, bersama Marcia, kami memberikan hormat kepada mereka-mereka yang kreatif dan tangguh menjalankan usaha di bidang kuliner. Kami tidak mendukung para penjual yang memilih untuk menyajikan makanan mereka lewat cara-cara yang tidak pantas (seperti banyak cerita seram mengenai asal-muasal makanan yang sering kita dengar dari televisi atau bahkan lihat sendiri), tetapi kami ingin menghargai mereka-mereka yang membuat Indonesia punya wajah. Wajah-wajah yang ada di dalam setiap warung, di bawah setiap terpal warna biru, di belakang semangkuk bakso, di balik meja kayu yang sudah reyot, di belakang gerobak sate, juga di belakang tungku panas dan penggorengan. Hormat dan apresiasi bagi mereka dan juga Anda, yang sudah mendukung mereka.


Selamat ulang tahun kemerdekaan, Indonesia.

Comments

Popular Posts