Selamat Ulang Tahun, Eyang!
Cerita pendek ini lahir dari rasa cinta dan kagum terhadap salah satu perempuan paling hebat di dalam hidupku: Lusia Sri Hastuti Siswardi.
Terinspirasi dari peristiwa-peristiwa nyata, namun sebagian besar adalah interpretasi saya sendiri terhadap sosok Lusia Sri Hastuti Siswardi, berdasarkan pengalaman hidup yang saya bagi dengannya. Cerita ini semi-fiksi dan sepenuhnya saya tulis dengan niat baik, tidak untuk menyinggung siapapun. Selamat menikmati.
12 November 1947
Ibu menikah dengan Bapak di Solo. Dengan tekad bulat membangun rumah tangga yang bahagia, tiada dasar materieel. Karena kami sama-sama tak berada. Kekurangan belandja, tekanan ekonomi selalu kami atasi dengan segala akal.
“Eyang, gendong!” suara seorang bocah menghamburkan nostalgia. Cicit pertamanya berdiri di hadapan dengan tangan terbuka dan muka penuh harap. Perempuan itu menutup buku harian yang sudah kumal, bertekad untuk melanjutkan membaca ke halaman-halaman selanjutnya setelah si cicit puas digendong. KALAU ia bisa menggendongnya.
“Enggak usah, Bu. Biar aku saja yang gendong,” suara anak perempuan tertuanya, nenek si bocah. Tak lama bocah itu sudah aman dalam pelukan, jauh dari ubin. “Terima kasih, kalau sampai aku yang gendong nanti patah pinggangku,” jawabnya datar. Ia memperhatikan anak dan cicitnya pergi menjauh.
Kunjungan ke rumah Eyang adalah ritual tiap 2 minggu sekali. Ia berharap ritual itu dapat menjadi seminggu sekali, tetapi ia juga mengerti beragam kesulitan yang harus dijalani anak-anak dan cucunya untuk menemuinya. Dahulu ia juga pernah jadi anak dan cucu seseorang. Dahulu ia juga pernah punya kesibukan lain, selain mengunjungi ibu atau neneknya.
Delapan puluh satu kini usianya. Pernikahan di Solo tahun 1947 dirasanya terjadi ratusan tahun yang lalu. Laki-laki yang dinikahinya pun sudah terlebih dahulu menemui sang Khalik. Sepuluh tahun ia hanya hidup berdua dengan pembantunya yang setia di rumah ini. Rumah yang dibeli ketika ia dan suaminya sudah letih tinggal di kota dan ingin mendiami rumah mungil di pinggir kota. Anak dan cucu mendukung kepindahan itu, tetapi kemudian semakin jarang dan jarang berkunjung.
7 Maret 1966
Sembah syukur kepada Gusti Allah, Bapak diangkat menjadi Direktur II Bank Gemari. Keadaan ekonomi agak lantjar dan Bapak tidak mendjadi silau atas pengangkatan ini. Bapakmu tetap sederhana dan djudjur. Tetapi anak-anakku, ingat selalu bahwa hidup adalah berdjuang dan kesukaran selalu ada. Ingatlah itu selalu ketika nanti kalian mengasuh tjutju-tjutju Bapak dan Ibu.
Betapa ia sangat mencintai pria itu. Pria yang sederhana, jujur, halus tutur katanya dan penyabar. Oh betapa suaminya itu sangat penyabar. Ia bersyukur 60 tahun lalu ia memutuskan untuk menikahinya. Ia tahu, tidak ada pria di seluruh dunia ini yang mampu memahami dirinya seperti suaminya. Tidak ada satu pria pun yang dapat memahami sifatnya yang keras, seperti suaminya. Tidak ada. Dan ia bersyukur karena ia mengambil pilihan yang tepat 60 tahun yang lalu. Segala kesusahan rela dijalaninya dan segala kebahagiaan dengan senang hati disambut, karena ia tahu, pria itu pun rela menjalani surga dan neraka bersamanya.
Dilepaskannya pandangan dari buku harian itu. Matanya menatap lurus ke luar jendela. Meski kekayaan materi tidak pernah jadi milik mereka berdua, tetapi segala petualangan yang terjadi menjadi surga tersendiri bagi pernikahan itu. “Aku bersyukur menemukan kamu. Kamu yang tidak pernah menahanku untuk terbang dan selalu menerimaku ketika aku ingin pulang,” ia bisikkan kata-kata itu ke suaminya. Ia selalu percaya jiwa-jiwa yang dikasihi tidak pernah sungguh pergi. Mereka selalu ada, menjaga.
“Bu, mau titip sesuatu ndak? Aku mau pergi ke supermarket, beli soda sama roti. Atau ibu mau ikut? Eh jangan deh, nanti ibu kecapekan,” suara anak kelimanya memecah keheningan. Ia menggeleng lalu mengatakan bahwa sudah terlalu banyak makanan di rumah, ia tidak ingin apa-apa lagi.
Kadang ia merasa tersinggung ketika anak-anaknya mengatakan hal seperti itu. Melarangnya melakukan ini-itu karena takut ia kecapekan. Ia merasa tua. Tubuhnya terasa dan memang terlihat tua, tetapi jiwanya tidak. Oleh karena itulah ia tersinggung. Ia merasa dikerdilkan, dianggap remeh. Padahal selama ¾ usianya, ia yang memberi tahu anak-anak itu mana yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Mengapa sekarang mereka yang melakukan itu kepada dirinya? Kadang ia merasa ia dianggap bodoh, dilindungi dari hal sehari-sehari yang wajar dan bisa ia tangani. “Saya tua, bukan bodoh,” umpatnya dalam hati. Tiba-tiba ia kesal sendiri.
Baru tiga minggu lalu jantungnya kumat lagi. Ia kesulitan bernafas dan butuh tabung oksigen selama berhari-hari. Untunglah ia tak perlu dirawat di rumah sakit. Ia tak punya uang untuk itu dan enggan meminta anak-anaknya. Ia tahu mereka juga punya banyak kebutuhan lain.
Perempuan itu juga kadang marah pada jantungnya. Ia merasa dikhianati. Seharusnya jantungnya itu semuda jiwanya. Tidak sedikit-sedikit mogok dan rusak. Minggu lalu, ketika ia pergi ke pasar, pedagang buah langganannya dengan manis mendoakan agar ia merasa lebih baik setelah sakit yang dideritanya. Dengan sinis ia menjawab, “Saya akan merasa lebih baik jika dapat berhenti menjadi tua.” Tapi apa boleh buat? Ia tidak punya pilihan lain. Itu salah satu yang ia pelajari dari 81 tahun hidupnya. Hidup dan bekerja dengan apapun yang kamu punya. Jika jantung bobrok yang jadi motormu, maka bergeraklah! Hidup dan berkaryalah!
22 April 1970
Dengan tekad menolong jang miskin, mendidik mereka ke taraf hidup jang dapat dihargai, maka kudirikan sebuah kelas untuk anak-anak gelandangan. Tidak banjak jang dapat kusumbangkan kepada sesama manusia, karena aku hanja seorang.
Berkat bantuan Jang Maha Esa mereka tidak meminta-minta lagi, kecuali 2 anak jang dipaksa orangtuanja. Djadilah ini sebuah tjontoh untukmu anak-anakku tertjinta. Sajang kepada sesama manusia atau machluk tidak selalu dibuktikan dengan materi tetapi dapat dibuktikan dengan bekal kepandaianmu, meskipun hanja sedikit kepandaian jang kau punjai.
Perempuan itu tersenyum membaca tulisannya sendiri. Tanggal 22 April 1970 adalah hari bersejarah. Di hari itu untuk pertama kalinya ia membuka kelas bagi para anak pemulung di kawasan Cideng, tempat tinggalnya dahulu. Ia siapkan buku-buku tulis, pensil, juga krayon yang dibelinya di Asemka. Ruang kelas yang ia maksud adalah sebuah gubuk di perkampungan pemulung yang disewanya dari Pak RT. Di hari pertama sekolah hanya 3 anak yang datang. Mereka tidak banyak belajar hari itu, hanya sibuk berbagi cerita, saling mengenal. Ia langsung jatuh sayang pada anak-anak itu. Pada mata mereka yang berbinar-binar, pada semangat mereka untuk belajar. Ia merasa muda. Anak-anak selalu menjaga jiwanya tetap muda.
Lama-kelamaan makin banyak anak yang datang untuk belajar. Mereka belajar baca dan hitung, juga gambar dan nyanyi. Perempuan itu percaya buku adalah jalan untuk membuka cakrawala dunia, maka seseorang harus bisa membaca, dan kemampuan berhitung adalah cara melawan para tukang tipu, maka seseorang harus bisa berhitung. Sesederhana itu, karena tidak ada lagi yang bisa ia tawarkan kepada anak-anak yang datang kepadanya untuk setitik harapan bagi masa depan mereka.
Bagi perempuan itu, selain anak-anaknya sendiri, anak-anak didiknya adalah prestasi terbaik dalam hidupnya. Dan karena itulah sampai detik ini ia masih menyediakan kelas-kelas sederhana bagi anak-anak usia TK yang tidak mampu secara ekonomi.
28 Djuni 1970
Wabah cholera melanda Djakarta. Beberapa meninggal djuga. Tepatnya sore 28 Djuni 1970, Menik, anak tertuaku djatuh sakit. Rasa badan tak enak, muntah dan kemudian tambah murus. Tak kutunggu lama lagi, Menik kami (Bapak dan Ibu) bawa ke Dokter Purwosudan. Di sana ia disuntik peniciline dan alangkah takutku ketika ia tak sadarkan diri. Denjut djantungnya berhenti. Dokter menolongnja dengan memidjat dadanja tepat pada djantung dan meniup mulutnja. Dokter ketakutan. Hanja beberapa detik sadja maka Menik mengeluarkan suara lagi. Tjepat-tjepat ia diberi gula dokter.
Ia ingat hari itu. Ia ingat sore keparat itu. Buah hatinya, cahaya matanya, hampir mendahuluinya menemui ajal. Diam-diam saat itu ia berdoa agar Tuhan mengambil dirinya saja. Menik seharusnya hidup berbahagia, bekerja, menikah dan memiliki anak. Ia belum lagi lulus sekolah! Ia harus rasakan hidup, bukannya mati karena wabah kolera.
Bagi perempuan itu, kematian bukanlah hal yang menyeramkan. Tetapi menjadi menyeramkan ketika wajah kematian itu ada di hadapan anak-anaknya. Kalau perlu ia akan bergulat dengan malaikat maut jika sampai buah-buah hatinya hendak dibawa pergi. Hidup perlu diperjuangkan dan hidup anak-anaknya adalah hidupnya, maka tanpa mereka, ia tidak perlu ada. Kadang ia merasa betapa anehnya perasaan tentang kematian itu. Betapa ia rela mati demi anak-anaknya. Ia mencintai hidupnya sendiri lebih dari apapun juga, tetapi ternyata tidak sebesar rasa cinta kepada anak-anaknya.
Maka ketika 6 tahun yang lalu putranya nomor 4 meninggal dunia karena serangan jantung, ia murka! “Harusnya aku yang pergi terlebih dahulu, Tuhan! Aku! Kenapa aku masih di sini tanpa suami, dengan jantung yang melemah dan malah Kau ambil anakku yang masih muda! Ia punya anak dan istri untuk diberi makan, Tuhan! Cucu-cucuku kehilangan ayahnya! Kenapa bukan aku? Kenapa?” dalam kesendirian, di malam sebelum anaknya akan dikubur keesokan harinya, ia menantang Tuhan. Ia menangis sampai tertidur dan bangun keesokan harinya dengan tegar. Berusaha terlihat kuat di depan menantu dan cucu-cucunya. “Aku tidak pantas menangis. Mereka yang kehilangan suami dan ayahnya. Aku hanya ibu bagi anakku,” demikian ia menguatkan diri. Melihat jasad anaknya masuk ke liang kubur, ia ingin ikut melompat masuk. Tapi ia hanya memejamkan mata dan berdoa. Ia berdoa. Sekuat tenaga.
20 April 1979
Jam 10.00 Lia diwisuda di Darmaga, Bogor. Anakku nomor 5 kini sudah jadi seorang Insinyur! Tuhan telah memberi karunia kepada kami dengan menganugerahkan gelar sarjana kepada Lia. Ya Tuhan semoga kami yang berdosa ini dapat membaktikan diri bagi kebesaran nama-Mu.
Melihat anaknya berdiri di podium itu, memakai toga dan dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana adalah kebanggaan yang membuat dadanya hampir pecah. Air matanya berurai, jantungnya berdegup kencang dan segala sel dalam tubuhnya mengucap syukur. Kebahagiaan yang sama seperti ketika melihat anaknya menikahi orang yang mereka pilih dan cintai. Baginya, itu adalah bukti bahwa ia sebagai orangtua telah lulus ujian. Bahwa sejak saat itu anak-anaknya sudah menjadi manusia dewasa yang akan ikut mewarnai dunia, membaktikan diri bagi sesama manusia.
“Tak ada kekayaan materi yang bisa Bapak dan Ibu beri. Hanya pendidikan dan pelajaran dalam mengarungi kehidupan yang bisa kami berikan,” dua kalimat yang selalu dibisikkannya ke telinga anak-anak ketika mereka membandel atau malas belajar. Jika tidak berhasil juga, maka ia selalu punya tangannya, untuk mencubit atau memukul pantat mereka. Sifatnya yang keras, terutama soal pendidikan menjadikan perempuan itu ditakuti anak-anaknya, cucu-cucu, bahkan para keponakan! Hanya pendidikan yang mampu ia beri, maka ia pastikan anak-anak itu menerimanya, bagaimanapun caranya.
1 Mei 1985
Operasi leher di St. Carolus oleh Dr. Adhi Yosa. Habis Rp 590.000,-. Masuk rumah sakit pada hari Rabu dan Sabtunya sudah boleh pulang. Tuhan terima kasih. Kami tahu bahwa teman-teman kami senang pada kami. Anak-anak kami memperhatikan kami. Terima kasih Tuhan karena engkau mengkaruniakan anak-anak yang baik.
Berada di rumah sakit selama 4 hari membuatnya memiliki pandangan yang berbeda terhadap semua orang yang berada di dalam hidupnya. Teman-teman datang bergantian mengunjunginya, berdoa bersamanya, mendoakannya. Suaminya tidak sekalipun meninggalkan sisinya. Anak-anaknya bergantian menungguinya dan membawakannya berbagai majalah dan makanan. Mereka membetulkan letak bantal dan selimutnya, memijati kakinya, memegang tangannya sebelum ia masuk ke ruang operasi. Mereka juga membantu membayar biaya operasi dan rumah sakit. Ia begitu bahagia, begitu bangga melihat cara anak-anaknya memperlakukan orangtua mereka.
Dalam 4 hari ia semakin menyadari pentingnya kehadiran seseorang dalam situasi yang sulit dan sedih. Siapapun itu. Ia yakin tanpa kehadiran dan doa dari teman-teman serta keluarganya, ia masih akan terbaring sakit, tidak memiliki keinginan untuk segera saja sehat. Karena di saat susah itu lah akan terlihat teman-teman sejati dan kasih itu sendiri. Tepat di saat itu, saat teman-teman dan keluargamu ada untukmu, itulah rapor hidupmu.
Maka sejak saat itu ia membuat janji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan selalu mengunjungi dan berdoa bagi siapa saja yang ia kenal yang terbaring sakit atau sedang berduka. Dan hingga hari ini, itulah yang ia lakukan. Kadang ia tak peduli kalau itu artinya ia sendiri harus menjadi letih karena bepergian dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Di usianya yang sekarang ini, semakin banyak saja teman dan saudara yang sakit, bahkan meninggal dunia.
Halaman-halaman berikutnya berisikan tulisan mengenai rumah yang dijual, rumah yang dibeli, cucu yang lahir, perjalanan-perjalanan bersama suami, suami yang mulai pikun, dan pekerjaannya. Ya, berbagai macam pekerjaan yang pernah ia lakoni, mulai dari guru bahasa Inggris, sekretaris, sampai administrasi di sebuah diskotik, juga ketika ia menjadi badut bagi ulangtahun cucunya.
Ia selalu suka menghibur orang. Tepatnya, ia suka menjadi pusat perhatian. Dan kalau teman-temannya ditanya, mereka akan sependapat bahwa perempuan ini adalah orang yang selalu dinantikan. Ia tidak malu tampak konyol, namun jangan sekali-kali mencoba membodohi atau bersikap kurangajar. Nilai-nilai tata krama dipegangnya erat. Bagaimanapun juga, ia adalah produk masa lalu, ketika orangtua memiliki posisi yang lebih istimewa daripada mereka yang lahir belakangan. “Jangan pernah lupa itu,” tak pernah ia alpa mengingatkan cucu-cucunya.
Lalu sampailah ia kepada bagian akhir dari buku harian itu. Halaman-halaman terakhir ini ia tulis dengan air mata membanjir, hati yang remuk redam.
15 Oktober 2000
Keluarga sibuk membicarakan perceraian Lia dan suaminya.
Anak-anakku, aku, ibumu, akan sakit hati sekali jika anaknya disakiti hatinya. Sebetulnya ibu lebih mencintai dan mengasihi anak-anaknya daripada suaminya. Ibu selalu berdoa untuk anak-anaknya beserta keluarga mereka, terutama mereka yang sedang mengalami problema. Anak-anakku, kalian memiliki penilaian sendiri. Kuserahkan keputusan kepada kalian. Aku hanya bisa memberi doa.
Berita tentang anaknya yang akan bercerai menjadi luka tersendiri bagi batinnya. Ini bukan hanya perpisahan dua anak manusia, tetapi sebuah keluarga. Sungguh perih hatinya melihat anak-anaknya bergulat dengan problema yang sedemikian berat.
“Ingin aku lindungi anakku dari sakit hatinya. Ingin kubuat keadaan kembali seperti sedia kala. Aku tidak tahan. Aku tidak berdaya terhadap keadaan ini,” suatu ketika ia mencurahkan hatinya kepada seorang sahabat. Di umurnya yang sudah kepala 7 waktu itu, ia sudah lebih dari paham bahwa ada hal-hal di dunia yang tidak bisa diaturnya. Bahwa ia tidak punya kuasa, bahwa Yang Maha Esa sedang bekerja dengan caranya yang misterius. Ia tahu itu, tetapi kadang sulit untuk menerima begitu saja. Kematian dan sakit hati adalah dua hal yang tidak ingin ia lihat mendatangi keluarganya, tetapi ia tak berdaya. Bukankah kita semua pun begitu?
“Bu, tamu-tamu akan datang satu jam lagi lho. Ibu enggak mau siap-siap?” anak laki-lakinya mengingatkan. Sebuah perayaan sederhana untuk ulangtahunnya yang ke-81 akan dilaksanakan hari ini. Ia sudah menyiapkan pakaian terbaiknya. Baru saja diambil dari tukang jahit langganan hari Selasa lalu. “Iya, aku sebentar lagi mandi. Sekarang aku perlu menyelesaikan sesuatu dulu,” jawabnya.
Diambilnya sebuah pena dari dalam laci. Dibukanya halaman yang masih kosong di bagian belakang buku harian itu. Ini akan jadi tulisan terakhirnya di sana. Ia akan membungkusnya dan menyimpannya rapih-rapih dekat surat wasiat dan baju yang ingin dipakainya ketika nanti tiba gilirannya untuk pergi.
7 Mei 2011
Anak-anakku, jadikan buku ini pengingat terhadap aku dan keluarga kita. Hidup kita tidak sempurna, tetapi aku bahagia. Semoga kalian juga demikian.
Jadikan diri dan keluargamu berguna bagi sesama. Bersandarlah pada doa jika kamu rasakan kesusahan.
Semoga Tuhan selalu menjaga dan memberkati kita semua.
Ia tutup buku harian itu dan membungkusnya dengan sebuah kertas kado penuh gambar balon. “Terima kasih, Gusti Allah. Hidupku luar biasa. Sekarang aku siap. Kapanpun, aku siap,” bisiknya dalam doa yang sungguh-sungguh. Dan dalam kesungguhan doa itu, Tuhan mendengarnya.
Terinspirasi dari peristiwa-peristiwa nyata, namun sebagian besar adalah interpretasi saya sendiri terhadap sosok Lusia Sri Hastuti Siswardi, berdasarkan pengalaman hidup yang saya bagi dengannya. Cerita ini semi-fiksi dan sepenuhnya saya tulis dengan niat baik, tidak untuk menyinggung siapapun. Selamat menikmati.
Selamat Ulang Tahun
12 November 1947
Ibu menikah dengan Bapak di Solo. Dengan tekad bulat membangun rumah tangga yang bahagia, tiada dasar materieel. Karena kami sama-sama tak berada. Kekurangan belandja, tekanan ekonomi selalu kami atasi dengan segala akal.
“Eyang, gendong!” suara seorang bocah menghamburkan nostalgia. Cicit pertamanya berdiri di hadapan dengan tangan terbuka dan muka penuh harap. Perempuan itu menutup buku harian yang sudah kumal, bertekad untuk melanjutkan membaca ke halaman-halaman selanjutnya setelah si cicit puas digendong. KALAU ia bisa menggendongnya.
“Enggak usah, Bu. Biar aku saja yang gendong,” suara anak perempuan tertuanya, nenek si bocah. Tak lama bocah itu sudah aman dalam pelukan, jauh dari ubin. “Terima kasih, kalau sampai aku yang gendong nanti patah pinggangku,” jawabnya datar. Ia memperhatikan anak dan cicitnya pergi menjauh.
Kunjungan ke rumah Eyang adalah ritual tiap 2 minggu sekali. Ia berharap ritual itu dapat menjadi seminggu sekali, tetapi ia juga mengerti beragam kesulitan yang harus dijalani anak-anak dan cucunya untuk menemuinya. Dahulu ia juga pernah jadi anak dan cucu seseorang. Dahulu ia juga pernah punya kesibukan lain, selain mengunjungi ibu atau neneknya.
Delapan puluh satu kini usianya. Pernikahan di Solo tahun 1947 dirasanya terjadi ratusan tahun yang lalu. Laki-laki yang dinikahinya pun sudah terlebih dahulu menemui sang Khalik. Sepuluh tahun ia hanya hidup berdua dengan pembantunya yang setia di rumah ini. Rumah yang dibeli ketika ia dan suaminya sudah letih tinggal di kota dan ingin mendiami rumah mungil di pinggir kota. Anak dan cucu mendukung kepindahan itu, tetapi kemudian semakin jarang dan jarang berkunjung.
7 Maret 1966
Sembah syukur kepada Gusti Allah, Bapak diangkat menjadi Direktur II Bank Gemari. Keadaan ekonomi agak lantjar dan Bapak tidak mendjadi silau atas pengangkatan ini. Bapakmu tetap sederhana dan djudjur. Tetapi anak-anakku, ingat selalu bahwa hidup adalah berdjuang dan kesukaran selalu ada. Ingatlah itu selalu ketika nanti kalian mengasuh tjutju-tjutju Bapak dan Ibu.
Betapa ia sangat mencintai pria itu. Pria yang sederhana, jujur, halus tutur katanya dan penyabar. Oh betapa suaminya itu sangat penyabar. Ia bersyukur 60 tahun lalu ia memutuskan untuk menikahinya. Ia tahu, tidak ada pria di seluruh dunia ini yang mampu memahami dirinya seperti suaminya. Tidak ada satu pria pun yang dapat memahami sifatnya yang keras, seperti suaminya. Tidak ada. Dan ia bersyukur karena ia mengambil pilihan yang tepat 60 tahun yang lalu. Segala kesusahan rela dijalaninya dan segala kebahagiaan dengan senang hati disambut, karena ia tahu, pria itu pun rela menjalani surga dan neraka bersamanya.
Dilepaskannya pandangan dari buku harian itu. Matanya menatap lurus ke luar jendela. Meski kekayaan materi tidak pernah jadi milik mereka berdua, tetapi segala petualangan yang terjadi menjadi surga tersendiri bagi pernikahan itu. “Aku bersyukur menemukan kamu. Kamu yang tidak pernah menahanku untuk terbang dan selalu menerimaku ketika aku ingin pulang,” ia bisikkan kata-kata itu ke suaminya. Ia selalu percaya jiwa-jiwa yang dikasihi tidak pernah sungguh pergi. Mereka selalu ada, menjaga.
“Bu, mau titip sesuatu ndak? Aku mau pergi ke supermarket, beli soda sama roti. Atau ibu mau ikut? Eh jangan deh, nanti ibu kecapekan,” suara anak kelimanya memecah keheningan. Ia menggeleng lalu mengatakan bahwa sudah terlalu banyak makanan di rumah, ia tidak ingin apa-apa lagi.
Kadang ia merasa tersinggung ketika anak-anaknya mengatakan hal seperti itu. Melarangnya melakukan ini-itu karena takut ia kecapekan. Ia merasa tua. Tubuhnya terasa dan memang terlihat tua, tetapi jiwanya tidak. Oleh karena itulah ia tersinggung. Ia merasa dikerdilkan, dianggap remeh. Padahal selama ¾ usianya, ia yang memberi tahu anak-anak itu mana yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Mengapa sekarang mereka yang melakukan itu kepada dirinya? Kadang ia merasa ia dianggap bodoh, dilindungi dari hal sehari-sehari yang wajar dan bisa ia tangani. “Saya tua, bukan bodoh,” umpatnya dalam hati. Tiba-tiba ia kesal sendiri.
Baru tiga minggu lalu jantungnya kumat lagi. Ia kesulitan bernafas dan butuh tabung oksigen selama berhari-hari. Untunglah ia tak perlu dirawat di rumah sakit. Ia tak punya uang untuk itu dan enggan meminta anak-anaknya. Ia tahu mereka juga punya banyak kebutuhan lain.
Perempuan itu juga kadang marah pada jantungnya. Ia merasa dikhianati. Seharusnya jantungnya itu semuda jiwanya. Tidak sedikit-sedikit mogok dan rusak. Minggu lalu, ketika ia pergi ke pasar, pedagang buah langganannya dengan manis mendoakan agar ia merasa lebih baik setelah sakit yang dideritanya. Dengan sinis ia menjawab, “Saya akan merasa lebih baik jika dapat berhenti menjadi tua.” Tapi apa boleh buat? Ia tidak punya pilihan lain. Itu salah satu yang ia pelajari dari 81 tahun hidupnya. Hidup dan bekerja dengan apapun yang kamu punya. Jika jantung bobrok yang jadi motormu, maka bergeraklah! Hidup dan berkaryalah!
22 April 1970
Dengan tekad menolong jang miskin, mendidik mereka ke taraf hidup jang dapat dihargai, maka kudirikan sebuah kelas untuk anak-anak gelandangan. Tidak banjak jang dapat kusumbangkan kepada sesama manusia, karena aku hanja seorang.
Berkat bantuan Jang Maha Esa mereka tidak meminta-minta lagi, kecuali 2 anak jang dipaksa orangtuanja. Djadilah ini sebuah tjontoh untukmu anak-anakku tertjinta. Sajang kepada sesama manusia atau machluk tidak selalu dibuktikan dengan materi tetapi dapat dibuktikan dengan bekal kepandaianmu, meskipun hanja sedikit kepandaian jang kau punjai.
Perempuan itu tersenyum membaca tulisannya sendiri. Tanggal 22 April 1970 adalah hari bersejarah. Di hari itu untuk pertama kalinya ia membuka kelas bagi para anak pemulung di kawasan Cideng, tempat tinggalnya dahulu. Ia siapkan buku-buku tulis, pensil, juga krayon yang dibelinya di Asemka. Ruang kelas yang ia maksud adalah sebuah gubuk di perkampungan pemulung yang disewanya dari Pak RT. Di hari pertama sekolah hanya 3 anak yang datang. Mereka tidak banyak belajar hari itu, hanya sibuk berbagi cerita, saling mengenal. Ia langsung jatuh sayang pada anak-anak itu. Pada mata mereka yang berbinar-binar, pada semangat mereka untuk belajar. Ia merasa muda. Anak-anak selalu menjaga jiwanya tetap muda.
Lama-kelamaan makin banyak anak yang datang untuk belajar. Mereka belajar baca dan hitung, juga gambar dan nyanyi. Perempuan itu percaya buku adalah jalan untuk membuka cakrawala dunia, maka seseorang harus bisa membaca, dan kemampuan berhitung adalah cara melawan para tukang tipu, maka seseorang harus bisa berhitung. Sesederhana itu, karena tidak ada lagi yang bisa ia tawarkan kepada anak-anak yang datang kepadanya untuk setitik harapan bagi masa depan mereka.
Bagi perempuan itu, selain anak-anaknya sendiri, anak-anak didiknya adalah prestasi terbaik dalam hidupnya. Dan karena itulah sampai detik ini ia masih menyediakan kelas-kelas sederhana bagi anak-anak usia TK yang tidak mampu secara ekonomi.
28 Djuni 1970
Wabah cholera melanda Djakarta. Beberapa meninggal djuga. Tepatnya sore 28 Djuni 1970, Menik, anak tertuaku djatuh sakit. Rasa badan tak enak, muntah dan kemudian tambah murus. Tak kutunggu lama lagi, Menik kami (Bapak dan Ibu) bawa ke Dokter Purwosudan. Di sana ia disuntik peniciline dan alangkah takutku ketika ia tak sadarkan diri. Denjut djantungnya berhenti. Dokter menolongnja dengan memidjat dadanja tepat pada djantung dan meniup mulutnja. Dokter ketakutan. Hanja beberapa detik sadja maka Menik mengeluarkan suara lagi. Tjepat-tjepat ia diberi gula dokter.
Ia ingat hari itu. Ia ingat sore keparat itu. Buah hatinya, cahaya matanya, hampir mendahuluinya menemui ajal. Diam-diam saat itu ia berdoa agar Tuhan mengambil dirinya saja. Menik seharusnya hidup berbahagia, bekerja, menikah dan memiliki anak. Ia belum lagi lulus sekolah! Ia harus rasakan hidup, bukannya mati karena wabah kolera.
Bagi perempuan itu, kematian bukanlah hal yang menyeramkan. Tetapi menjadi menyeramkan ketika wajah kematian itu ada di hadapan anak-anaknya. Kalau perlu ia akan bergulat dengan malaikat maut jika sampai buah-buah hatinya hendak dibawa pergi. Hidup perlu diperjuangkan dan hidup anak-anaknya adalah hidupnya, maka tanpa mereka, ia tidak perlu ada. Kadang ia merasa betapa anehnya perasaan tentang kematian itu. Betapa ia rela mati demi anak-anaknya. Ia mencintai hidupnya sendiri lebih dari apapun juga, tetapi ternyata tidak sebesar rasa cinta kepada anak-anaknya.
Maka ketika 6 tahun yang lalu putranya nomor 4 meninggal dunia karena serangan jantung, ia murka! “Harusnya aku yang pergi terlebih dahulu, Tuhan! Aku! Kenapa aku masih di sini tanpa suami, dengan jantung yang melemah dan malah Kau ambil anakku yang masih muda! Ia punya anak dan istri untuk diberi makan, Tuhan! Cucu-cucuku kehilangan ayahnya! Kenapa bukan aku? Kenapa?” dalam kesendirian, di malam sebelum anaknya akan dikubur keesokan harinya, ia menantang Tuhan. Ia menangis sampai tertidur dan bangun keesokan harinya dengan tegar. Berusaha terlihat kuat di depan menantu dan cucu-cucunya. “Aku tidak pantas menangis. Mereka yang kehilangan suami dan ayahnya. Aku hanya ibu bagi anakku,” demikian ia menguatkan diri. Melihat jasad anaknya masuk ke liang kubur, ia ingin ikut melompat masuk. Tapi ia hanya memejamkan mata dan berdoa. Ia berdoa. Sekuat tenaga.
20 April 1979
Jam 10.00 Lia diwisuda di Darmaga, Bogor. Anakku nomor 5 kini sudah jadi seorang Insinyur! Tuhan telah memberi karunia kepada kami dengan menganugerahkan gelar sarjana kepada Lia. Ya Tuhan semoga kami yang berdosa ini dapat membaktikan diri bagi kebesaran nama-Mu.
Melihat anaknya berdiri di podium itu, memakai toga dan dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana adalah kebanggaan yang membuat dadanya hampir pecah. Air matanya berurai, jantungnya berdegup kencang dan segala sel dalam tubuhnya mengucap syukur. Kebahagiaan yang sama seperti ketika melihat anaknya menikahi orang yang mereka pilih dan cintai. Baginya, itu adalah bukti bahwa ia sebagai orangtua telah lulus ujian. Bahwa sejak saat itu anak-anaknya sudah menjadi manusia dewasa yang akan ikut mewarnai dunia, membaktikan diri bagi sesama manusia.
“Tak ada kekayaan materi yang bisa Bapak dan Ibu beri. Hanya pendidikan dan pelajaran dalam mengarungi kehidupan yang bisa kami berikan,” dua kalimat yang selalu dibisikkannya ke telinga anak-anak ketika mereka membandel atau malas belajar. Jika tidak berhasil juga, maka ia selalu punya tangannya, untuk mencubit atau memukul pantat mereka. Sifatnya yang keras, terutama soal pendidikan menjadikan perempuan itu ditakuti anak-anaknya, cucu-cucu, bahkan para keponakan! Hanya pendidikan yang mampu ia beri, maka ia pastikan anak-anak itu menerimanya, bagaimanapun caranya.
1 Mei 1985
Operasi leher di St. Carolus oleh Dr. Adhi Yosa. Habis Rp 590.000,-. Masuk rumah sakit pada hari Rabu dan Sabtunya sudah boleh pulang. Tuhan terima kasih. Kami tahu bahwa teman-teman kami senang pada kami. Anak-anak kami memperhatikan kami. Terima kasih Tuhan karena engkau mengkaruniakan anak-anak yang baik.
Berada di rumah sakit selama 4 hari membuatnya memiliki pandangan yang berbeda terhadap semua orang yang berada di dalam hidupnya. Teman-teman datang bergantian mengunjunginya, berdoa bersamanya, mendoakannya. Suaminya tidak sekalipun meninggalkan sisinya. Anak-anaknya bergantian menungguinya dan membawakannya berbagai majalah dan makanan. Mereka membetulkan letak bantal dan selimutnya, memijati kakinya, memegang tangannya sebelum ia masuk ke ruang operasi. Mereka juga membantu membayar biaya operasi dan rumah sakit. Ia begitu bahagia, begitu bangga melihat cara anak-anaknya memperlakukan orangtua mereka.
Dalam 4 hari ia semakin menyadari pentingnya kehadiran seseorang dalam situasi yang sulit dan sedih. Siapapun itu. Ia yakin tanpa kehadiran dan doa dari teman-teman serta keluarganya, ia masih akan terbaring sakit, tidak memiliki keinginan untuk segera saja sehat. Karena di saat susah itu lah akan terlihat teman-teman sejati dan kasih itu sendiri. Tepat di saat itu, saat teman-teman dan keluargamu ada untukmu, itulah rapor hidupmu.
Maka sejak saat itu ia membuat janji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan selalu mengunjungi dan berdoa bagi siapa saja yang ia kenal yang terbaring sakit atau sedang berduka. Dan hingga hari ini, itulah yang ia lakukan. Kadang ia tak peduli kalau itu artinya ia sendiri harus menjadi letih karena bepergian dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Di usianya yang sekarang ini, semakin banyak saja teman dan saudara yang sakit, bahkan meninggal dunia.
Halaman-halaman berikutnya berisikan tulisan mengenai rumah yang dijual, rumah yang dibeli, cucu yang lahir, perjalanan-perjalanan bersama suami, suami yang mulai pikun, dan pekerjaannya. Ya, berbagai macam pekerjaan yang pernah ia lakoni, mulai dari guru bahasa Inggris, sekretaris, sampai administrasi di sebuah diskotik, juga ketika ia menjadi badut bagi ulangtahun cucunya.
Ia selalu suka menghibur orang. Tepatnya, ia suka menjadi pusat perhatian. Dan kalau teman-temannya ditanya, mereka akan sependapat bahwa perempuan ini adalah orang yang selalu dinantikan. Ia tidak malu tampak konyol, namun jangan sekali-kali mencoba membodohi atau bersikap kurangajar. Nilai-nilai tata krama dipegangnya erat. Bagaimanapun juga, ia adalah produk masa lalu, ketika orangtua memiliki posisi yang lebih istimewa daripada mereka yang lahir belakangan. “Jangan pernah lupa itu,” tak pernah ia alpa mengingatkan cucu-cucunya.
Lalu sampailah ia kepada bagian akhir dari buku harian itu. Halaman-halaman terakhir ini ia tulis dengan air mata membanjir, hati yang remuk redam.
15 Oktober 2000
Keluarga sibuk membicarakan perceraian Lia dan suaminya.
Anak-anakku, aku, ibumu, akan sakit hati sekali jika anaknya disakiti hatinya. Sebetulnya ibu lebih mencintai dan mengasihi anak-anaknya daripada suaminya. Ibu selalu berdoa untuk anak-anaknya beserta keluarga mereka, terutama mereka yang sedang mengalami problema. Anak-anakku, kalian memiliki penilaian sendiri. Kuserahkan keputusan kepada kalian. Aku hanya bisa memberi doa.
Berita tentang anaknya yang akan bercerai menjadi luka tersendiri bagi batinnya. Ini bukan hanya perpisahan dua anak manusia, tetapi sebuah keluarga. Sungguh perih hatinya melihat anak-anaknya bergulat dengan problema yang sedemikian berat.
“Ingin aku lindungi anakku dari sakit hatinya. Ingin kubuat keadaan kembali seperti sedia kala. Aku tidak tahan. Aku tidak berdaya terhadap keadaan ini,” suatu ketika ia mencurahkan hatinya kepada seorang sahabat. Di umurnya yang sudah kepala 7 waktu itu, ia sudah lebih dari paham bahwa ada hal-hal di dunia yang tidak bisa diaturnya. Bahwa ia tidak punya kuasa, bahwa Yang Maha Esa sedang bekerja dengan caranya yang misterius. Ia tahu itu, tetapi kadang sulit untuk menerima begitu saja. Kematian dan sakit hati adalah dua hal yang tidak ingin ia lihat mendatangi keluarganya, tetapi ia tak berdaya. Bukankah kita semua pun begitu?
“Bu, tamu-tamu akan datang satu jam lagi lho. Ibu enggak mau siap-siap?” anak laki-lakinya mengingatkan. Sebuah perayaan sederhana untuk ulangtahunnya yang ke-81 akan dilaksanakan hari ini. Ia sudah menyiapkan pakaian terbaiknya. Baru saja diambil dari tukang jahit langganan hari Selasa lalu. “Iya, aku sebentar lagi mandi. Sekarang aku perlu menyelesaikan sesuatu dulu,” jawabnya.
Diambilnya sebuah pena dari dalam laci. Dibukanya halaman yang masih kosong di bagian belakang buku harian itu. Ini akan jadi tulisan terakhirnya di sana. Ia akan membungkusnya dan menyimpannya rapih-rapih dekat surat wasiat dan baju yang ingin dipakainya ketika nanti tiba gilirannya untuk pergi.
7 Mei 2011
Anak-anakku, jadikan buku ini pengingat terhadap aku dan keluarga kita. Hidup kita tidak sempurna, tetapi aku bahagia. Semoga kalian juga demikian.
Jadikan diri dan keluargamu berguna bagi sesama. Bersandarlah pada doa jika kamu rasakan kesusahan.
Semoga Tuhan selalu menjaga dan memberkati kita semua.
Ia tutup buku harian itu dan membungkusnya dengan sebuah kertas kado penuh gambar balon. “Terima kasih, Gusti Allah. Hidupku luar biasa. Sekarang aku siap. Kapanpun, aku siap,” bisiknya dalam doa yang sungguh-sungguh. Dan dalam kesungguhan doa itu, Tuhan mendengarnya.
Andini Haryani
Houston, 16 November 2010
ini tulisanlu paling keren sejauh ini.
ReplyDeleteTerima kasih karena sudah terus membaca :)
ReplyDelete