Garuda di Dadaku

Saya benar-benar sudah ada di Indonesia.

Tadi malam tim nasional Indonesia kalah 3-0 lawan Malaysia dalam perebutan piala AFF 2010. Saya ikut nonton bareng, tetapi perasaan saya datar sekali. Menyesali kekalahan tim nasional, tapi tidak ada perasaan yang berlebihan tentang kekalahan itu, atau tentang Indonesia yang dikalahkan oleh Malaysia.

Saya tidak percaya kebencian terhadap sesuatu membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Itu saja yang saya ingin katakan soal Malaysia.

Dari Twitter saya juga baca pendapat teman-teman dan teman-temannya teman-teman tentang pertandingan bola semalam. Tentang kekalahan, tentang apa yang salah ketika permainan berlangsung, tentang para pemainnya, dan terutama tentang rasa nasionalisme.




Lagu "Garuda di Dadaku" dinyanyikan dengan penuh kebanggaan oleh para pendukung tim Indonesia. Sebuah kebanggaan terhadap negeri, sebuah teriakan membela tim nasional, sebuah garda untuk menghadang runtuhnya kebanggaan terhadap Indonesia ketika timnas kalah. Lalu sambil menyanyikan Garuda di Dadaku, Malaysia pun dicerca, dihujat karena dianggap maling, bermain curang dan entah apa lagi.

Kalau memang Garuda yang dibela maka seharusnya ada rasa murka yang jauh lebih besar lagi untuk ketidakadilan, untuk ketidakbebasan beribadah, untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan penduduk Negeri Garuda ini terhadap sesamanya.

Jika Garuda memang ada di dalam dada, maka Malaysia bukan musuh paling utama. Kita yang bodoh, tidak peduli, rakus dan korup adalah musuh terbesar bagi negeri ini. We are our own worst enemy.

Saya ada di Indonesia.

Comments

Popular Posts