Anies Baswedan di Mata Saya
Ketika segala hal yang negatif dilabelkan pada Indonesia, ketika manusia-manusia Indonesia merasa pesimis pada sesama manusia Indonesia dan kemudian mengisi setiap waktu sadarnya untuk memaki Indonesia serta segala isinya, maka saya bersyukur kepada Tuhan atas Bapak Anies Baswedan. Ia adalah sumber inspirasi dan -dengan segala kerendahan hati- juga harapan.
Salah satu momen paling istimewa dan tidak terlupakan dalam hidup saya adalah ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancara Anies Baswedan. Malam sebelum hari-H saya hampir pingsan karena tidak bisa nafas dan keesokan paginya jantung saya seakan mau melompat keluar dari tubuh. Semakin saya membaca hasil riset dari google, semakin saya merasa kecil dan bodoh. Pemred saya waktu itu sampai menyediakan waktu untuk berdiskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan saya ajukan. Bahwa ia tidak membuang pertanyaan-pertanyaan yang saya buat, hanya menambahnya, membuat saya sedikit percaya diri. Sedikit.
Sampai saat itu saya lebih sering mewawancara tokoh-tokoh di dunia hiburan atau bisnis, tapi tidak intelektual seperti Pak Anies. Maka saya panik, tapi berusaha tenang. Saya berusaha tenang karena tidak bisa membayangkan apa yang akan saya lakukan jika wawancara itu gagal.
Wawancara dilaksanakan di Kampus Paramadina. Saya diminta untuk menunggu sebentar oleh sekretarisnya, karena beliau sedang menerima telepon. Tak lama kemudian saya diantar menuju ruang kerjanya. Ketika itu saya sudah pasrah. Segala pertanyaan yang saya persiapkan seketika menguap entah kemana ketika saya akhirnya bertemu dengan Pak Anies. Ia memperkenalkan dirinya, seakan saya sama sekali belum mempelajari dirinya habis-habisan malam sebelumnya. Saya juga memperkenalkan diri, karena saya tahu ia sama sekali tidak kenal saya.
Wawancara itu berjalan dengan sangat lancar. Begitu lancar hingga saya merasa sedang ngobrol dengan seseorang yang sudah lama sekali saya kenal. Pak Anies bicara dengan ketenangan dan keanggunan yang luar biasa, namun juga dengan semangat dan antusiasme. Ia bicara tentang Indonesia, tentang pendidikan, tentang dirinya, tentang bagaimana dirinya tumbuh menjadi sosoknya sekarang ini. Kami menghabiskan 2 jam lebih berbicara. Sebuah rapat yang harusnya dihadiri tepat setelah wawancara dengan saya kemudian harus diundur, karena obrolan kami tak kunjung tuntas. Ia kemudian meminta maaf karena harus segera pergi. Saya berterimakasih tak habis-habisnya atas waktu yang diberikan.
Pulang dari wawancara itu saya begitu terinspirasi hingga rasanya ada setrum kecil yang mengalir di setiap sel tubuh. Tidak pernah sekalipun dalam hidup, saya menulis artikel dari hasil wawancara dengan begitu lancarnya. Dengan senang hati saya mendengarkan kembali hasil wawancara dan membuat transkrip. Sebuah kegiatan yang biasanya sangat saya benci karena berarti saya harus kembali "menjalani" wawancara dan kemudian menuliskan kata per kata yang terucap dari mulut narasumber. Dengan Pak Anies saya bersemangat untuk kembali mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulutnya. Tidak rela rasanya memotong kalimat-kalimatnya, karena setiap kata terasa begitu berharga.
Artikel saya mencapai titik akhirnya karena ada batasan kata dan halaman dari Editor. Artikel itu naik cetak tanpa banyak revisi dan pada akhirnya tiba di tangan Pak Anies. Anda tahu yang terjadi kemudian? Saya menerima SMS dari beliau, mengatakan hal-hal baik tentang artikel tersebut dan tentang saya. Saya begitu tidak percayanya hingga SMS itu saya baca ulang puluhan kali. Lalu, otomatis, senyum-senyum sendiri. Betapa saya merasa begitu tersentuh karena seorang narasumber mengirimkan SMS yang demikian indahnya. Dari sekian banyak orang yang pernah saya wawancara, tokoh-tokoh hiburan, terutama, tidak ada satupun yang pernah menyampaikan perasaannya tentang artikel yang saya tulis. Pak Anies yang bagi saya begitu luar biasa, malah duluan menghubungi dan menyampaikan apresiasinya terhadap tulisan saya. It was a humbling experience.
Tulisan tersebut bisa Anda temukan di sini: Anies Baswedan: Menggambar Masa Depan
Nah, di tanggal 29 Oktober 2010 lalu sebuah link di twitter Metro TV menarik perhatian saya. Judulnya adalah "Tim Indonesia Mengajar Diterjunkan 10 November 2010". Indonesia Mengajar adalah sebuah gerakan yang digagas oleh Anies Baswedan. Sekali lagi, beliau menyelamatkan saya dari ombak pesimisme dan badai sinisme.
Salah satu momen paling istimewa dan tidak terlupakan dalam hidup saya adalah ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancara Anies Baswedan. Malam sebelum hari-H saya hampir pingsan karena tidak bisa nafas dan keesokan paginya jantung saya seakan mau melompat keluar dari tubuh. Semakin saya membaca hasil riset dari google, semakin saya merasa kecil dan bodoh. Pemred saya waktu itu sampai menyediakan waktu untuk berdiskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan saya ajukan. Bahwa ia tidak membuang pertanyaan-pertanyaan yang saya buat, hanya menambahnya, membuat saya sedikit percaya diri. Sedikit.
Sampai saat itu saya lebih sering mewawancara tokoh-tokoh di dunia hiburan atau bisnis, tapi tidak intelektual seperti Pak Anies. Maka saya panik, tapi berusaha tenang. Saya berusaha tenang karena tidak bisa membayangkan apa yang akan saya lakukan jika wawancara itu gagal.
Wawancara dilaksanakan di Kampus Paramadina. Saya diminta untuk menunggu sebentar oleh sekretarisnya, karena beliau sedang menerima telepon. Tak lama kemudian saya diantar menuju ruang kerjanya. Ketika itu saya sudah pasrah. Segala pertanyaan yang saya persiapkan seketika menguap entah kemana ketika saya akhirnya bertemu dengan Pak Anies. Ia memperkenalkan dirinya, seakan saya sama sekali belum mempelajari dirinya habis-habisan malam sebelumnya. Saya juga memperkenalkan diri, karena saya tahu ia sama sekali tidak kenal saya.
Wawancara itu berjalan dengan sangat lancar. Begitu lancar hingga saya merasa sedang ngobrol dengan seseorang yang sudah lama sekali saya kenal. Pak Anies bicara dengan ketenangan dan keanggunan yang luar biasa, namun juga dengan semangat dan antusiasme. Ia bicara tentang Indonesia, tentang pendidikan, tentang dirinya, tentang bagaimana dirinya tumbuh menjadi sosoknya sekarang ini. Kami menghabiskan 2 jam lebih berbicara. Sebuah rapat yang harusnya dihadiri tepat setelah wawancara dengan saya kemudian harus diundur, karena obrolan kami tak kunjung tuntas. Ia kemudian meminta maaf karena harus segera pergi. Saya berterimakasih tak habis-habisnya atas waktu yang diberikan.
Pulang dari wawancara itu saya begitu terinspirasi hingga rasanya ada setrum kecil yang mengalir di setiap sel tubuh. Tidak pernah sekalipun dalam hidup, saya menulis artikel dari hasil wawancara dengan begitu lancarnya. Dengan senang hati saya mendengarkan kembali hasil wawancara dan membuat transkrip. Sebuah kegiatan yang biasanya sangat saya benci karena berarti saya harus kembali "menjalani" wawancara dan kemudian menuliskan kata per kata yang terucap dari mulut narasumber. Dengan Pak Anies saya bersemangat untuk kembali mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulutnya. Tidak rela rasanya memotong kalimat-kalimatnya, karena setiap kata terasa begitu berharga.
Artikel saya mencapai titik akhirnya karena ada batasan kata dan halaman dari Editor. Artikel itu naik cetak tanpa banyak revisi dan pada akhirnya tiba di tangan Pak Anies. Anda tahu yang terjadi kemudian? Saya menerima SMS dari beliau, mengatakan hal-hal baik tentang artikel tersebut dan tentang saya. Saya begitu tidak percayanya hingga SMS itu saya baca ulang puluhan kali. Lalu, otomatis, senyum-senyum sendiri. Betapa saya merasa begitu tersentuh karena seorang narasumber mengirimkan SMS yang demikian indahnya. Dari sekian banyak orang yang pernah saya wawancara, tokoh-tokoh hiburan, terutama, tidak ada satupun yang pernah menyampaikan perasaannya tentang artikel yang saya tulis. Pak Anies yang bagi saya begitu luar biasa, malah duluan menghubungi dan menyampaikan apresiasinya terhadap tulisan saya. It was a humbling experience.
Tulisan tersebut bisa Anda temukan di sini: Anies Baswedan: Menggambar Masa Depan
Nah, di tanggal 29 Oktober 2010 lalu sebuah link di twitter Metro TV menarik perhatian saya. Judulnya adalah "Tim Indonesia Mengajar Diterjunkan 10 November 2010". Indonesia Mengajar adalah sebuah gerakan yang digagas oleh Anies Baswedan. Sekali lagi, beliau menyelamatkan saya dari ombak pesimisme dan badai sinisme.
Comments
Post a Comment