Flores, Saya Ingin Kembali!

Sahabat di Puncak Kelimutu

Pukul 05.30, udara dingin manjakan lamunan
Langit belum lagi nila saat seorang bapa tua datang mendekat
“Teh atau kopi, Nona?” tawarnya ramah
“Tidak, nanti saja,” jawabku
Lalu kulanjutkan lamunanku
Tiga danau ajaib di puncak Kelimutu ada di hadapan
Kini tinggal menunggu sang mentari terbangun dari lelap
Tak lama, langitpun berubah warna
Gradasi itu mempesona
Nila, jingga dan biru
Betapa berbakatnya pelukis alam pagi itu
“Nona beruntung. Tidak ada kabut di Kelimutu pagi ini,” suara berat buyarkan lamunan
Bapa tua nyalakan rokok dan menatap langit
Tiada kabut di Kelimutu berarti banyak rejeki baginya
Maka kembali ia tawarkan, “Teh, Nona?”
“Berapa harganya?” tanyaku
Bapa tua berbisik,“Harga lokal Rp 3.500, harga bule Rp 5.000“
Aku tertawa,“Kalau begitu, Saya minta satu, yang harga bule.”
Tawa bapa tua berderai
Lalu teh pun diseduh dan bapa tua temani nikmati pagi pertamaku di Kelimutu
Aroma rokok kretek dan teh panas hangatkan inderaku yang kedinginan
Bapa tua kemudian bertanya,“Nona mau beli ikat?”
Kugelengkan kepala. “Sudah terlalu banyak,” jawabku
Bapa tua tersenyum
Sudah terlalu jamak ia dengar jawaban macam itu
Bapa tua sudah puluhan tahun di Kelimutu
Termos tua, gelas-gelas gompal dan tenun ikat buatan mama tua, jadi alatnya menyambung hidup hari demi hari
“Anak tiga, semua sudah tidak sekolah,” keluar dari mulutnya tanpa beban
Senyumku kecut, hatiku sakit
Kelimutu sahabat bapa tua tidak tiap hari bawa rejeki
Bapa tua bisa pulang hampa tangan jika Kelimutu sedang angkuh
Sembunyi di balik kabut, bak kapas dari langit yang tutupi cantiknya danau
“Turis tidak datang, tidak minum, tidak beli ikat, bapa pulang tangan kosong,”
Bapa tua beri penjelasan minim emosi
“Tapi bapa tidak putus asa, kalau tidak hari ini, mungkin besok rejeki datang,”
Bapa tua eratkan mantel dan kencangkan simpul ikat di kepalanya
Ku tak mampu berkata, kuteguk teh ku
Berharap bapa tua tahu, aku kagumi semangatnya
Sejurus hangat mentari menyapa pipiku
Langit berubah jingga kekuningan
Birunya danau Kelimutu turut elokkan alam
Wajah bapa tua kini jelas terlihat
Gurat-gurat usia terlukis di wajah
Rambut kelabu mengintip dari balik ikatnya
Senyumnya mengembang seiring hangat mentari menyapu Kelimutu
Ribuan kali mentari Kelimutu terbit di depan mata dan baginya semua istimewa
Kemurahan alam bagi bapa tua
Bapa tua lalu beranjak pergi
Tawarkan teh dan kopi pada turis-turis berkulit putih
“Sebentar Nona, Bapa mesti tanya apa dorang butuh minum. Kita tidak tahu tho?”
Ada senyum di akhir kalimatnya
Sejumput doa teriring saat bapa tua melangkah menjauh
Namun turis kulit putih bilang,“No, thank you. Sudah minum di hotel.”
Bapa tua hanya tersenyum lalu beralih ke kulit putih berikutnya
Hatiku remuk
Doaku kini tak hanya sejumput karena hatiku telah tertinggal di Kelimutu
Bersama sahabat yang menjinjing termos tua dan gelas-gelas gompal
Sahabat yang ucapkan perpisahan dengan melepaskan ikat di kepalanya dan mengalungkannya di leherku
Sampai jumpa lagi, sahabat di puncak Kelimutu
Semoga Bapa di Surga selalu jaga Kelimutu mu
Agar gelas-gelas gompal selalu penuh terisi tiap hari…

Andini Haryani
Ende, 16 Oktober 2005




Nama bapak tua itu adalah Johanes. Saya pernah menulis tentang dirinya dan Flores di awal-awal blog ini. Anda dapat membaca tulisan itu di sini. Hari ini mendadak saya kembali ingat padanya. Salah satu tokoh penting dalam cerita hidup saya. Aneh, padahal hanya satu kali saya bertemu dengannya. Ngobrol pun mungkin tidak lebih dari setengah jam. Entahlah, pria ini sangat berkarakter dan berhasil meninggalkan kesan yang mendalam.

Pertemuan dengan Bapa Johanes terjadi di tahun 2005, ketika saya masih bekerja sebagai reporter untuk Majalah TAMASYA. Bersama Kelik Broto, fotografer, saya dikirim untuk meliput Flores, Nusa Tenggara Timur.

Perjalanan kami dimulai dari Jakarta kemudian transit di Denpasar, Bali untuk berganti pesawat dan lanjut ke Kupang, NTT. Menghabiskan satu malam di Kupang, lalu terbang ke Larantuka dengan pesawat yang hanya muat beberapa belas orang, kemudian kami berkendara ke Maumere, Ende, Kelimutu, dan kembali ke Maumere lagi. Supir kami waktu itu bernama Pak Petu, kependekan dari Petrus. Pak Petu berasal dari Sumba, tapi bekerja di Larantuka. Tubuhnya tinggi, besar dan kulitnya hitam. Ia pria yang sosoknya benar-benar menyeramkan, namun ternyata juga sangat baik hati. Pak Petu suka menggesek-gesekkan giginya dan memasang lagu-lagu berbahasa Manado, salah satunya adalah "Balada Pelaut". Pria itu juga karakter yang tiada dua. 



Perjalanan ke Flores adalah salah satu perjalanan paling bermakna dalam hidup saya. Dahulu tidak pernah saya bermimpi bisa sampai ke sana. Tempat itu, sebelumnya, tidak pernah terasa nyata. Saya sering mendengarnya, tentu, tetapi tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari saya akan sampai ke sana. Dan ketika saya akhirnya tiba di Flores, saya langsung jatuh cinta. Pemandangan alamnya, manusia-manusianya, sejarahnya, dan budayanya membuat Flores menjadi sebuah tempat yang sangat menarik dan ya, ngangenin

Seluruh perjalanan menuju, di dan dari Flores terasa bagai sebuah petualangan. Saya tidak pernah tahu apa yang akan ditemui. Dari Denpasar ke Kupang, ada seorang bapak yang memutuskan untuk berdiri ketika pesawat akan mendarat. Tidak ada seorangpun yang dapat membuatnya berubah pikiran. Ia ngotot untuk berdiri, seakan sedang berada di bus kota. Perjalanan darat dari Larantuka ke Maumere yang "dinakhodai" Pak Petu adalah sebuah uji nyali berkat jalan yang berkelok-kelok mengikuti alur-alur pegunungan dan manuver-manuver sang pengemudi. Salah satu hal yang sangat berkesan bagi saya adalah kenyataan bahwa kebanyakan orang Flores sangat ramah. Pak Petu selalu membunyikan klakson dan menyapa dengan sungguh-sungguh setiap kendaraan dan manusia yang ditemuinya di jalan kecil atau sempit yang membuat kendaraan kami harus berjalan lebih pelan. Jadi dengan ramahnya ia akan melambaikan tangan kepada seorang ibu tua yang sedang berjalan sendirian dan menyapa, "Selamat pagi, Mama!" Dan tentu, si "mama" membalas dengan sapa yang tak kalah ramah.

Banyak kejadian lucu di Flores. Dua yang paling saya ingat adalah ketika berada di salah satu desa adat dan anak-anak kecil setempat berteriak-teriak memanggil kami, "Mister, good morning mister!" Sapaan itu untuk saya dan Kelik. Dua hal yang aneh. Pertama, selama ini saya mengira saya terlihat seperti perempuan dan yang kedua adalah saya, juga Kelik sama-sama punya muka Jawa tulen. Ternyata, kata Pak Petu, kami berdua disangka turis Jepang, berkat kamera SLR berlensa tele yang dipanggul Kelik. Tetap saja, kami berdua ini tidak cocok jadi bule, apalagi Jepang. Hal lucu kedua adalah ketika saya kebelet buang air kecil di tengah perjalanan. Tentu saja tidak ada pom bensin. Sepanjang mata memandang hanya jalan yang berkelok-kelok dan truk pengangkut pisang. Ketika akhirnya kami melewati beberapa rumah yang berdiri di tepi jalan, Pak Petu menghentikan mobil dan mengatakan bahwa saya sebaiknya meminjam kamar kecil si empunya rumah. Ketika itu, ada beberapa anak remaja sedang duduk-duduk di depan rumah DAN kamar mandi mereka terletak di luar rumah, tak jauh dari pintu masuk tempat mereka duduk. Saya tidak ambil pusing, sudah tidak sanggup lagi menahan pipis. Maka dengan sopan saya minta ijin dan mereka mempersilakan. Dinding kamar mandi itu tidak terbuat dari beton. Tepatnya dari kayu triplek yang lumayan tipis. Suara dari luar dengan mudah masuk ke telinga saya yang sedang jongkok dan merasa bahagia karena akhirnya bisa buang air kecil. Tiba-tiba saya mendengar anak-anak remaja itu berkasak-kusuk. Kalau saat itu mereka berusaha berbisik, mereka gagal total, karena saya bisa mendengar seluruh percakapan mereka. "Itu kan artis *******. Yang ada di televisi. Iya, benar itu dia. Lihat baik-baik kalau nanti dia keluar," ujar salah satu anak. Saya yang masih jongkok mendadak jengah luar biasa. Rasanya saya lebih cocok dibilang Jepang daripada artis yang mereka sebutkan. Ketika saya keluar, anak-anak itu senyum-senyum salah tingkah dan memperhatikan saya dari ujung kaki ke ujung kepala. Saya bilang terimakasih dengan terburu-buru, kemudian segera melesat pergi.

Ketika saya ke Flores di tahun 2005, banyak infrastruktur yang masih berantakan dan rusak tak tersentuh akibat tsunami beberapa tahun sebelumnnya. Maumere yang dahulu merupakan kota pelabuhan yang ramai dengan turis yang ingin menjajal bumi bawah laut Flores yang cantik luar biasa, saat itu sepi. Hotel-hotel yang dahulu ramai, meriah dan terurus, menjadi sepi dan setengah mati berusaha bertahan. 

Listrik saat itu digilir. Jadi saya ingat sekali suatu malam ketika kami sudah seharian berkeliling meliput ini-itu dan ingin beristirahat dengan nyaman di hotel, tiba-tiba listrik mati. Bersama dengan listrik, hilang juga angin dari kipas angin yang membuat kamar menjadi sejuk. Dan saya berakhir telentang setengah telanjang di lantai, berusaha keras membuat diri dingin. Entah bagaimana keadaan Maumere kini. Sudahkah kota itu kembali mendapatkan pijarnya?

Di tahun 2005 lebih banyak turis asing yang datang ke Flores daripada yang lokal. Hotel-hotel sederhana yang kami tempati 99% berisi turis asing, para backpackers dari Eropa atau Australia. Ketika itu, saya dan Kelik dipersilakan oleh kantor untuk memilih sendiri hotel yang kami inginkan. Dana akomodasi sudah disiapkan dan kami boleh berpintar-pintar mengatur dana itu. Maka pilihan hotel selalu kami jatuhkan kepada yang kelas-kelas Melati atau ya, mentok-mentok, bintang satu. Jadi tentu saja semua hotel pilihan kami sangat sederhana, namun tetap bersih dan nyaman. Lagipula, memang jarang sekali ada hotel berbintang di sana.



Hotel kami di Ende memiliki nama yang sangat saleh. Ah, saya lupa namanya, tetapi kalau tidak salah pemiliknya adalah seorang Haji. Masyarakat Flores kebanyakan memeluk agama Katolik, namun mereka hidup dengan damai bersama pemeluk agama lainnya. Nah, hotel kami di Ende itu setiap pagi menyediakan sarapan. Sarapan disesuaikan dengan keinginan kami. Biasanya hanya sarapan sederhana, seperti nasi goreng, atau telur rebus dan roti, atau roti panggang, atau panekuk. Kebanyakan hotel di Flores pun begitu. Panekuk sepertinya disesuaikan dengan banyaknya tamu mancanegara. Ketika di Ende itulah saya jatuh cinta pada banana pancake milik hotel kami. Porsinya lumayan besar dan potongan pisangnya banyak. Panekuknya sendiri tebal dan empuk. Nyam!

Dari Ende kami berkendara ke Moni, di mana Gunung dan Danau Kelimutu berada. Hotel-hotel di Moni kebanyakan adalah rumah-rumah penduduk yang dibuat menjadi penginapan. Saya ingat sekali bahwa di tahun itu kamar di hotel (hmmm mungkin lebih tepatnya losmen) yang kami pilih harga per malamnya hanya Rp.50.000,-. Tapi ya itu, tidak ada air hangat (dan air di Moni itu dingin sekali). Meski demikian kami disambut dengan rasa kekeluargaan yang luar biasa. Di malam kami menginap di Moni, pemilik penginapan dan kawan-kawannya, semua bapak-bapak, duduk main kartu di depan kamar kami. Penginapannya memang kecil. Jadi kamar-kamar berjejer seperti kontrakan sederhana dan begitu membuka pintu kami langsung disambut teras kecil dan dapur beralas tanah. Bapak-bapak ini sebenarnya berada di dapur. Ketika mereka melihat saya dan Kelik keluar dari kamar, dengan ramah mereka menyapa dan mengajak kami bergabung. Tepatnya bukan bergabung main kartunya, tetapi untuk ikut menghabiskan arak khas Nusa Tenggara Timur yang dibuat dari lontar. Ya, tentu saja dengan senang hati kami bergabung, tetapi membatasi arak yang kami minum karena keesokan paginya kami harus bangun pukul 03.30 pagi dan memulai perjalanan ke Danau 3 Warna Kelimutu.



Kenapa pagi sekali? Karena pemandangan matahari terbit di Kelimutu adalah yang paling indah dan jika lebih siang lagi, biasanya kabut akan menutupi puncak dan para hiker akan kesulitan menemukan jalan pulang. Beberapa waktu sebelum saya berkunjung ke Kelimutu, seorang pendaki Belanda hilang tak jelas nasibnya. Ia tidak mengikuti jalur yang sudah ditetapkan dan kabut sudah turun menyelimuti Kelimutu. Tim pencari dari Indonesia dan Belanda datang untuk mencarinya, tapi ia tidak pernah ditemukan.

Trek menuju puncak Kelimutu cukup panjang, namun tidak terlalu hard core. Ada jalur yang tersedia, bahkan tangga di bagian tanjakan. Bukan medan yang berat. Tentu sepatu trekking tetap diutamakan. Senter dan tongkat kayu pun akan berguna dalam pendakian itu. Di bagian puncak tersedia area untuk menikmati seluruh pemandangan yang disajikan Kelimutu. Di situlah saya bertemu Bapa Johanes.



Laki-laki tua itu berkerudung tenun ikat dan menenteng dua termos, serta gelas-gelas. Satu termos berisi kopi dan lainnya teh. Ia mondar-mandir menyapa setiap "tamu" Kelimutu pagi itu. Menawarkan teh atau kopi. Mungkin turis-turis asing itu sebelumnya sudah di-brief untuk tidak membeli apapun di Kelimutu. Atau mereka merasa ilfil pada gelas-gelas Bapa Johanes? Entahlah, yang pasti hampir semua mengatakan, "No. Kami sudah sarapan di hotel." Bapa Johanes menerima jawaban apapun dengan senyum, lalu beralih ke turis berikutnya.

Sejak tiba di puncak Kelimutu saya sudah memperhatikan beliau. Laki-laki tua itu punya aura yang sangat positif. Ia tidak pelit memamerkan gigi-giginya, bercanda-canda dengan bahasa Inggris terbatas, berlaku layaknya tuan rumah yang bertanggungjawab agar tamu-tamunya merasa diterima dan kerasan. Ketika akhirnya ia tiba padaku, bahasa Indonesia langsung keluar dari mulutnya. Lucunya ia tidak langsung menawarkan teh atau kopi. Ia mengeluarkan rokok kretek dan duduk di sampingku. Lalu kami mulai mengobrol. Tentang apa saja. Tentang panen vanili yang gagal tahun itu, tentang kehidupan di Moni, tentang anak-anaknya, tentang Kelimutu, tentang tenun ikat, dan tentang istrinya yang membuat tenun ikat. Di Moni para pria biasanya hanya bekerja ketika musim tanam dan panen. Selain daripada waktu-waktu itu, para perempuan yang bekerja membuat tenun-tenun ikat dan para pria biasanya membantu menjual. Di Flores Anda akan menemukan banyak sekali penjual tenun ikat. Biasanya mereka menggelar dagangan di depan rumah. Bapa Johanes pun membantu sang istri menjual hasil-hasil karyanya. Tenun ikat yang ia pergunakan mengerudungi kepalanya, agar telinga tetap hangat juga buatan si istri.



Bapa Johanes kemudian menawarkan teh atau kopi kepadaku. Aku mengiyakan. "Berapa harganya?" tanyaku. "Harga lokal Rp.3.500,-, harga bule Rp.5.000,-," bisiknya. Saya menjawab, juga sambil berbisik, "Saya minta satu, yang harga bule." Ia tertawa. Lalu kami kembali mengobrol ditemani teh manis hangat. "Nona mau beli ikat?" tanyanya kemudian. Saya menolak. Sudah banyak sekali tenun ikat yang saya beli di Sikka. Sikka adalah sebuah desa yang terkenal sebagai produsen tenun ikat di Flores. Di Sikka saya dan Kelik diserbu ibu-ibu penjual ikat. Benar-benar diserbu, sampai kami kabur ke salah satu rumah penduduk.




Kembali ke Bapa Johanes. Ia adalah karakter yang luar biasa lucu dan hangat. Ia tidak memaksa ketika saya tidak ingin membeli tenun ikatnya. Ia berbagi cerita tentang Kelimutu seakan gunung itu adalah rumahnya tercinta dan ia mengenalnya lebih dari siapapun juga. Sudah puluhan tahun ia "menjaga" Kelimutu. Ketika sudah cukup lama berbicara denganku, ia kemudian permisi untuk menyapa turis-turis yang baru tiba. Ia harus menawarkan mereka minum, ujarnya. Saya mengangguk, membayar tehnya dan tenggelam dalam pikiran sambil menikmati cantiknya langit di atas Kelimutu pagi itu, dengan matahari yang baru saja terbit. Tiga danau memamerkan warna-warnanya. Cantik.

Ketika matahari sudah benar-benar keluar, sebelum kabut mulai turun. Saya dan Kelik memulai perjalanan kembali ke bawah, ke tempat parkir mobil. Saya mengucapkan selamat tinggal pada Bapa Johanes. Di tempat parkir, ketika saya akan masuk mobil, tiba-tiba terlihat Bapa Johanes memanggil-manggil saya dari kejauhan, setengah berlari. Saya turun lagi dari mobil dan bertanya ada apa padanya. "Terima kasih. Kapan-kapan kunjungi saya di Kelimutu," ujarnya. Ia kemudian melepas ikat dari kepalanya dan mengalungkannya di leher saya, lalu ia mengucap selamat tinggal dan pergi menjauh. Saya terpaku. Pak Petu menjelaskan bahwa itu adalah cara orang setempat untuk mengatakan bahwa seseorang sudah dianggap kawan. Sebuah tanda penerimaan. Saya berusaha keras menahan air mata. Tenun ikat dari Bapa Johanes masih saya simpan dan jaga dengan sepenuh hati sampai sekarang. Setiap melihat ikat itu, rasanya saya kembali ke Kelimutu dan perasaan bahagia yang saya rasakan ketika itu muncul lagi.

Setelah Kelimutu, kami kembali lagi ke Maumere. Dari Maumere kami terbang kembali ke Denpasar, kemudian Jakarta. Mengucapkan perpisahan dengan Pak Petu pun menjadi sesuatu yang berat untuk dilakukan. Berhari-hari kami menghabiskan waktu bersama membuat saya merasa bahwa ia sudah seperti paman sendiri. Apalagi ia begitu protektif dan atentif terhadap kami. He was a really really cool guy. Lagu-lagu yang ia putar di mobil menjadi sesuatu yang saat itu kami hafal juga. Caranya menggesek-gesekkan gigi menjadi tanda bahwa ia terjaga dan awas ketika saya dan Kelik ketiduran di jalan dengan mulut menganga.



Perjalanan ke Flores adalah salah satu pengalaman paling berharga dalam hidup saya. Setiap momen dalam perjalanan itu masih terasa begitu dekat dan menjaga saya untuk tetap rendah hati. Perjalanan itu membuka mata saya terhadap kenyataan yang lain. Kenyataan yang terjadi di luar tempat saya hidup dengan nyaman sebagai anak Jakarta. Flores, saya ingin kembali lagi. Sungguh-sungguh ingin kembali lagi.


Andini Haryani


Comments

  1. huaaaaaaaaaaaa....mewekkkkk deh gue bacanyaa...... :(((((((((((((((
    really missed the OLD TAMASYA *nangis gerunggerung*

    ReplyDelete
  2. Aku pun rindu sekaliiiiiii.. :((

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts