Dua Puluh Tiga: Logat Irama Bahasa Daerah. Ratusan Bahasa Daerah!
23 (Dua Puluh Tiga)
Saya cinta Indonesia karena...
keberagaman bahasa daerahnya.
Indonesia dikenal dengan keanekaragamannya. Salah satunya keanekaragaman bahasa. Republik ini memiliki 726 ragam bahasa, terdiri dari 719 bahasa daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang) (Sumber: Lewis, M. Paul (ed.), 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas; Tex.: SIL International; Online version: http://www.ethnologue.com/) Dari sisi keberagaman, negara ini memang sangat unik karena dalam satu propinsi saja bisa dijumpai beberapa ragam bahasa, contoh: Propinsi Bengkulu memiliki 8 dan Pulau Sumatera memiliki 35 ragam bahasa.
Saya sendiri dibesarkan oleh 2 penutur bahasa dari daerah yang berbeda. Ibu saya berasal dari Bengkulu, Ayah saya dari Kalimantan Barat. Dari kecil saya sudah terbiasa dengan bahasa gado-gado; Bengkulu, Melayu Kalimantan dan Bahasa Indonesia. Bertanya dalam bahasa Indonesia dijawab dengan bahasa daerah, demikian pula sebaliknya. Teringat ketika khitanan dulu, saat saudara dari pihak ayah dan ibu berkumpul di rumah, serasa aneh, karena dunia saya serasa terbagi dua; seperti ada dua grup paduan suara yang sedang bernyanyi bersahut-sahutan sementara saya meringis kesakitan karena pengaruh obat bius di "burung" saya mulai lenyap. Mereka berbicara seperti bersenandung, bersahut-sahutan; tipikal bahasa daerah di negeri ini, ada logat dan irama. Yang satu terdengar lemah lembut karena pengaruh bahasa melayu dengan akhiran e, dan yang satu lagi banyak berakhiran o (karena doyan makan pedas barangkali?) dan lantang seperti berteriak-teriak, tipikal penduduk asal Sumatera di bagian pesisir (karena berasal dari pesisir pantai yang anginnya kencang kalau ngomong pelan-pelan gak bakal kedengaran?)
Segitu pentingkah bahasa daerah buat kita?
Dari berbagai sumber yang saya baca, ada sekitar 33 bahasa di Indonesia yang terancam punah dalam waktu dekat. Sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua. Bahasa-bahasa tersebut terancam punah karena hanya memiliki jumlah penutur yang semakin sedikit, seperti Bahasa Hukumina di Maluku dan Bahasa Mapia di Kabupaten Dogiyai, Papua yang hanya memiliki seorang penutur (ethnologue.com) Menurut para ahli bahasa, supaya sebuah bahasa tetap hidup, dibutuhkan jumlah penutur minimal 100.000 orang, dan dinyatakan punah bila yang menerapkan dalam kehidupan sehari-hari maksimal hanya 200 orang.
Tidak jarang saya mendengar teman-teman saya dari berbagai daerah yang mencak-mencak menceritakan saat bertemu teman sepermainan tanpa sengaja di jalan, baik itu Jakarta atau luar negeri; ‘Saya ajak ngomong bahasa kampung halaman kok justru dijawab terus dengan bahasa gaul ‘Jakarta’, Aneh!” Entah malu atau kenapa, ternyata bahasa gaul ini lebih dianggap ‘moderen’ oleh sebagian orang daerah. Buat saya, lebih baik orang-orang yang menganggap bahasa daerah mereka ’tidak moderen’ ini sebaiknya punah sekalian daripada membuat punah bahasa daerah mereka sendiri. Hahaha...
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Lenyapnya satu bahasa adalah sama saja dengan lenyapnya pola pikir manusia. Sejarah intelektual dan budaya suatu bangsa akan tersimpan dalam bahasanya masing-masing; baik lisan maupun tulisan. Hanya melalui bahasa di masyarakat itu saja kita dapat memahami pengetahuan dan budaya suatu bangsa dan daerah terentu.
Rumah, adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah. Orang tua adalah bagian dari mata rantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Ahli bahasa mengatakan bahwa permulaan kematian bahasa adalah ketika seorang anak sudah tidak memakai bahasa suatu daerah yang diturunkan oleh orang tuanya. Hal ini akan membuat jumlah penutur bahasa tersebut semakin berkurang dan sampai pada akhirnya punah.
Memang kita tidak akan mendapatkan keuntungan tertentu lantaran menguasai bahasa daerah, beda bila kita meguasai bahasa asing. Namun bila kita mengaitkannya dengan pelestarian budaya, maka eksistensi bahasa daerah harus dipertahankan. Saya sendiri bertekad akan meneruskan pola komunikasi yang diterapkan ketika saya kecil dulu kepada keluarga dan anak-anak saya nantinya. Saya tidak takut bila ada yang meledek saya kedaerahan, kesukuan, dsb. Yang lebih menakutkan bagi saya adalah lenyapnya keragaman budaya dan hayati kita karena bahasa daerah yang menjadi inti dari keberagaman itu sendiri punah.
Adalah kenikmatan tersendiri bagi saya bisa menyaksikan pertunjukan budaya atau kesenian asli suatu daerah dalam bahasa setempat walau saya tidak mengerti artinya. Yang menjadi nomor satu buat saya justru adalah aura, nuansa dan keaslian tutur pertunjukan tersebut. Juga menjadi kenikmatan tersendiri bagi saya ketika saya bisa berjalan-jalan, belanja dengan bahasa daerah setempat; selain bisa lebih sok akrab, yang pasti juga saya nggak akan dikibuli. Hahaha... Saya juga percaya, membiasakan anak-anak pada keberagaman bahasa daerah orang tuanya akan memudahkan mereka beradaptasi dengan bahasa asing.
Walaupun demikian, bersyukur juga Indonesia memiliki bahasa pemersatu, Bahasa Indonesia. Jadi tidak perlu khawatir kalau mau ke mana-mana. Indonesia tetap satu, walau kita berasal dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Kita tetaplah orang Indonesia sampai kapanpun.
Riza Adrian
Riza atau Eja adalah seorang pembuat film dokumenter, sutradara sekaligus penulis naskah.
Saya cinta Indonesia karena...
keberagaman bahasa daerahnya.
Indonesia dikenal dengan keanekaragamannya. Salah satunya keanekaragaman bahasa. Republik ini memiliki 726 ragam bahasa, terdiri dari 719 bahasa daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang) (Sumber: Lewis, M. Paul (ed.), 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas; Tex.: SIL International; Online version: http://www.ethnologue.com/) Dari sisi keberagaman, negara ini memang sangat unik karena dalam satu propinsi saja bisa dijumpai beberapa ragam bahasa, contoh: Propinsi Bengkulu memiliki 8 dan Pulau Sumatera memiliki 35 ragam bahasa.
Saya sendiri dibesarkan oleh 2 penutur bahasa dari daerah yang berbeda. Ibu saya berasal dari Bengkulu, Ayah saya dari Kalimantan Barat. Dari kecil saya sudah terbiasa dengan bahasa gado-gado; Bengkulu, Melayu Kalimantan dan Bahasa Indonesia. Bertanya dalam bahasa Indonesia dijawab dengan bahasa daerah, demikian pula sebaliknya. Teringat ketika khitanan dulu, saat saudara dari pihak ayah dan ibu berkumpul di rumah, serasa aneh, karena dunia saya serasa terbagi dua; seperti ada dua grup paduan suara yang sedang bernyanyi bersahut-sahutan sementara saya meringis kesakitan karena pengaruh obat bius di "burung" saya mulai lenyap. Mereka berbicara seperti bersenandung, bersahut-sahutan; tipikal bahasa daerah di negeri ini, ada logat dan irama. Yang satu terdengar lemah lembut karena pengaruh bahasa melayu dengan akhiran e, dan yang satu lagi banyak berakhiran o (karena doyan makan pedas barangkali?) dan lantang seperti berteriak-teriak, tipikal penduduk asal Sumatera di bagian pesisir (karena berasal dari pesisir pantai yang anginnya kencang kalau ngomong pelan-pelan gak bakal kedengaran?)
Segitu pentingkah bahasa daerah buat kita?
Dari berbagai sumber yang saya baca, ada sekitar 33 bahasa di Indonesia yang terancam punah dalam waktu dekat. Sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua. Bahasa-bahasa tersebut terancam punah karena hanya memiliki jumlah penutur yang semakin sedikit, seperti Bahasa Hukumina di Maluku dan Bahasa Mapia di Kabupaten Dogiyai, Papua yang hanya memiliki seorang penutur (ethnologue.com) Menurut para ahli bahasa, supaya sebuah bahasa tetap hidup, dibutuhkan jumlah penutur minimal 100.000 orang, dan dinyatakan punah bila yang menerapkan dalam kehidupan sehari-hari maksimal hanya 200 orang.
Tidak jarang saya mendengar teman-teman saya dari berbagai daerah yang mencak-mencak menceritakan saat bertemu teman sepermainan tanpa sengaja di jalan, baik itu Jakarta atau luar negeri; ‘Saya ajak ngomong bahasa kampung halaman kok justru dijawab terus dengan bahasa gaul ‘Jakarta’, Aneh!” Entah malu atau kenapa, ternyata bahasa gaul ini lebih dianggap ‘moderen’ oleh sebagian orang daerah. Buat saya, lebih baik orang-orang yang menganggap bahasa daerah mereka ’tidak moderen’ ini sebaiknya punah sekalian daripada membuat punah bahasa daerah mereka sendiri. Hahaha...
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Lenyapnya satu bahasa adalah sama saja dengan lenyapnya pola pikir manusia. Sejarah intelektual dan budaya suatu bangsa akan tersimpan dalam bahasanya masing-masing; baik lisan maupun tulisan. Hanya melalui bahasa di masyarakat itu saja kita dapat memahami pengetahuan dan budaya suatu bangsa dan daerah terentu.
Rumah, adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah. Orang tua adalah bagian dari mata rantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Ahli bahasa mengatakan bahwa permulaan kematian bahasa adalah ketika seorang anak sudah tidak memakai bahasa suatu daerah yang diturunkan oleh orang tuanya. Hal ini akan membuat jumlah penutur bahasa tersebut semakin berkurang dan sampai pada akhirnya punah.
Memang kita tidak akan mendapatkan keuntungan tertentu lantaran menguasai bahasa daerah, beda bila kita meguasai bahasa asing. Namun bila kita mengaitkannya dengan pelestarian budaya, maka eksistensi bahasa daerah harus dipertahankan. Saya sendiri bertekad akan meneruskan pola komunikasi yang diterapkan ketika saya kecil dulu kepada keluarga dan anak-anak saya nantinya. Saya tidak takut bila ada yang meledek saya kedaerahan, kesukuan, dsb. Yang lebih menakutkan bagi saya adalah lenyapnya keragaman budaya dan hayati kita karena bahasa daerah yang menjadi inti dari keberagaman itu sendiri punah.
Adalah kenikmatan tersendiri bagi saya bisa menyaksikan pertunjukan budaya atau kesenian asli suatu daerah dalam bahasa setempat walau saya tidak mengerti artinya. Yang menjadi nomor satu buat saya justru adalah aura, nuansa dan keaslian tutur pertunjukan tersebut. Juga menjadi kenikmatan tersendiri bagi saya ketika saya bisa berjalan-jalan, belanja dengan bahasa daerah setempat; selain bisa lebih sok akrab, yang pasti juga saya nggak akan dikibuli. Hahaha... Saya juga percaya, membiasakan anak-anak pada keberagaman bahasa daerah orang tuanya akan memudahkan mereka beradaptasi dengan bahasa asing.
Walaupun demikian, bersyukur juga Indonesia memiliki bahasa pemersatu, Bahasa Indonesia. Jadi tidak perlu khawatir kalau mau ke mana-mana. Indonesia tetap satu, walau kita berasal dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Kita tetaplah orang Indonesia sampai kapanpun.
Riza Adrian
Riza atau Eja adalah seorang pembuat film dokumenter, sutradara sekaligus penulis naskah.
Comments
Post a Comment