Dua Puluh Enam: Pak Pram dan Cintanya yang Penuh Amarah

26 (Dua Puluh Enam)


Saya cinta Indonesia karena...
Pramoedya Ananta Toer.

Ketika saya diminta oleh saudara sepupu saya, Andini, untuk menuliskan alasan mencintai Indonesia, saya teringat akan satu nama yaitu Pramoedya Ananta Toer, Pak Pram. Mungkin anak muda sekarang sangat sedikit yang mengetahui siapa itu Pak Pram, mungkin mereka lebih mengenal Bung Karno, Bung Hatta, A.H Nasution atau mungkin Soeharto, bahkan tidak sedikit dari mereka yang mungkin tidak mengetahui siapa Sjahrir ataupun Tan Malaka.

Pak Pram merupakan seorang penulis dan juga seorang pejuang yang selalu dizalimi oleh rezim kekuasaan baik dari zaman Orde Lama, Orde Baru bahkan reformasi. Hampir setengah hidup Pak Pram dihabiskan di dalam penjara, dari Salemba, Bukit Duri, Nusa Kambangan sampai Pulau Buru yang terkenal dengan kekejamannya. Begitu kejamnya hingga tempat itu disamakan dengan kamp konsentrasi pada zaman penjajahan Nazi.

Tidak terhitung karyanya, hasil buah pemikirannya, dibakar oleh rezim berkuasa. Baginya, pembakaran buku ataupun karya hasil pemikirannya merupakan pelanggaran atas hak yang paling hakiki karena sama saja dengan membunuh yang membuatnya. Tidak hanya buku, sebuah rumah di daerah Rawamangun pun ikut disita dan ditempati secara sewenang-wenang tanpa peralihan hak yang sah. Selain itu penahanan Pak Pram dilakukan tanpa pernah adanya putusan pengadilan dan tidak pernah ada surat dakwaan atas dirinya.

Perlakuan begitu buruk, oleh bangsanya sendiri, telah diterima dirinya. Ironisnya, masyarakat internasional begitu kagum kepadanya, dapat dilihat dengan banyaknya penghargaan yang ia raih dan berulang kali dicalonkan sebagai calon penerima hadiah nobel dalam bidang kesusastraan. Meskipun begitu, Pak Pram tetap mencintai dan mempunyai harapan agar Bangsa Indonesia menjadi lebih dewasa, beradab dan lebih maju. Walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit.

Ketika seseorang yang dizalimi hampir separuh hidupnya masih mempunyai rasa cinta dan harapan, meskipun diiringi amarah dan dendam, terhadap bangsa ini. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencintai dan berharap pada bangsa ini, Bangsa Indonesia yang telah ada sejak 1928.

"Yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda." - Pramoedya Ananta Toer


Handy Trinova

Handy adalah seorang Sarjana Hukum yang saat ini bekerja sebagai PNS di Departemen Keuangan. Ia juga seorang calon ayah.

Comments

Popular Posts