Dua Puluh Empat: Masalah Adalah Harta Karun untuk Belajar
24 (Dua Puluh Empat)
Saya mencintai Indonesia karena...
sumber kekusutan yang tak berujung dan masalah yang tak berakhir serta sebagai (killing) training field yang baik.
Bukannya saya senang dengan Indonesia yang penuh kerusuhan dan berharap negara ini semakin kacau. Bukan juga karena ingin memancing di air keruh. Tetapi justru karena saya percaya dengan pepatah: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Makna pepatah ini bagi saya bukanlah mengenai kesulitan yang mendera dalam kehidupan kita dan kemudian kesenangan pasti menanti di ujung sana, tetapi adalah jika kita ingin menggapai sesuatu, kita harus melewati kesulitan terlebih dahulu, bahkan tak jarang harus ‘berdarah-darah’. Artinya pepatah ini hanya berlaku bagi orang-orang yang punya tujuan dan dapat belajar dari setiap kesulitan yang dialaminya. Hal ini memang harus kita lalui sebagai generasi muda Indonesia yang ingin menjadi individu yang berguna bagi bangsa dan negara kita.
Saya jadi teringat dengan beberapa film animasi Hollywood seperti Madagascar atau Lion King, yang mungkin cocok dijadikan sebagai ilustrasi. Kebetulan keduanya memiliki tokoh yang mirip, yaitu seekor singa.
Ceritanya pun agak mirip, yaitu bagaimana Alex atau Simba belajar untuk mengalahkan si tokoh antagonis, yang kebetulan adalah bangsa singa juga. Dalam ceritanya, kedua singa muda tersebut, adalah singa yang manja yang berusaha menjadi seekor singa sejati, yaitu singa yang ulung dalam berburu mangsa atau yang jago dalam bertarung. Untuk menuju ke sana, ia harus melepaskan kenyamanan masa lalunya dan terjun ke dalam liarnya alam rimba Afrika sehingga akhirnya dapat mengalahkan si tokoh antagonis.
Demikian juga halnya dengan apa yang terjadi di negeri kita. Indonesia penuh dengan masalah dan kekusutan yang seolah tidak ada akhirnya. Ini sebenarnya adalah harta karun bagi kita yang ingin belajar. Tidak benar bahwa keterbatasan (baca: masalah) dapat menghalangi kita untuk menggapai cita-cita.
Cerita mengenai Cosmonout’s Pencil adalah kisah yang terkenal mengenai bagaimana keterbatasan tidak membendung pencapaian cita-cita. Dalam cerita itu dikisahkan bagaimana astronot Amerika pada tahun 60-an menggunakan pena yang bernilai jutaan dolar untuk mengatasi kesulitan dalam menulis di ruang angkasa, sedangkan pada era yang sama kosmonot Uni Sovyet memilih menggunakan pensil. Hasilnya adalah kosmonot Uni Sovyet tetap dapat bekerja di luar angkasa, sama halnya dengan astronot Amerika yang menggunakan pena yang jauh lebih canggih.
Kita semua pasti setuju kalau seorang prajurit disebut berpengalaman jika pernah menempuh medan perang. Atlet disebut berpengalaman jika telah banyak menempuh kejuaraan atau kompetisi. Dan pasti tidak ada pilot yang disebut berpengalaman jika hanya bermain flight simulator saja. Seperti halnya Simba dan Alex, marilah kita mulai sejak dini untuk terjun langsung ke dalam masyarakat dan mulai berbuat sejak dini: dengan satu tujuan yang mulia, yaitu untuk Indonesia yang lebih baik.
Di penghujung abad 20 yang silam, seorang almarhum guru saya pernah berkata:
“Kerjasama yang baik hanya dapat dilakukan jika setiap individu dalam kelompok tersebut memiliki kompetensi yang baik.”
Nah, marilah kita menunjukkan rasa cinta kita kepada Ibu Pertiwi dengan memelihara semangat belajar dan tekad yang baik untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan dapat diandalkan. Dimulai dari diri kita sendiri, berangkat dari hal-hal yang sederhana, yaitu lingkungan di sekitar kita. Mulailah untuk membuka hati dan pikiran kita, dan niscaya ternyata banyak sekali yang dapat kita perbuat untuk negeri ini.
Saya percaya, jika masih ada cinta untuk negeri ini, tentu kita akan selalu berusaha untuk menghasilkan yang terbaik, dan tidak akan ada kata menyerah bagaimanapun kesulitan mendera.
Jack Popo
Jack Popo atau Yahya adalah seorang blogger, pemilik blog http://jackpopo.wordpress.com/ dan penulis buku.
Saya mencintai Indonesia karena...
sumber kekusutan yang tak berujung dan masalah yang tak berakhir serta sebagai (killing) training field yang baik.
Bukannya saya senang dengan Indonesia yang penuh kerusuhan dan berharap negara ini semakin kacau. Bukan juga karena ingin memancing di air keruh. Tetapi justru karena saya percaya dengan pepatah: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Makna pepatah ini bagi saya bukanlah mengenai kesulitan yang mendera dalam kehidupan kita dan kemudian kesenangan pasti menanti di ujung sana, tetapi adalah jika kita ingin menggapai sesuatu, kita harus melewati kesulitan terlebih dahulu, bahkan tak jarang harus ‘berdarah-darah’. Artinya pepatah ini hanya berlaku bagi orang-orang yang punya tujuan dan dapat belajar dari setiap kesulitan yang dialaminya. Hal ini memang harus kita lalui sebagai generasi muda Indonesia yang ingin menjadi individu yang berguna bagi bangsa dan negara kita.
Saya jadi teringat dengan beberapa film animasi Hollywood seperti Madagascar atau Lion King, yang mungkin cocok dijadikan sebagai ilustrasi. Kebetulan keduanya memiliki tokoh yang mirip, yaitu seekor singa.
Simba dalam film Lion King (Courtesy of Wikipedia)
(http://en.wikipedia.org/wiki/Simba)
Ceritanya pun agak mirip, yaitu bagaimana Alex atau Simba belajar untuk mengalahkan si tokoh antagonis, yang kebetulan adalah bangsa singa juga. Dalam ceritanya, kedua singa muda tersebut, adalah singa yang manja yang berusaha menjadi seekor singa sejati, yaitu singa yang ulung dalam berburu mangsa atau yang jago dalam bertarung. Untuk menuju ke sana, ia harus melepaskan kenyamanan masa lalunya dan terjun ke dalam liarnya alam rimba Afrika sehingga akhirnya dapat mengalahkan si tokoh antagonis.
Demikian juga halnya dengan apa yang terjadi di negeri kita. Indonesia penuh dengan masalah dan kekusutan yang seolah tidak ada akhirnya. Ini sebenarnya adalah harta karun bagi kita yang ingin belajar. Tidak benar bahwa keterbatasan (baca: masalah) dapat menghalangi kita untuk menggapai cita-cita.
Cerita mengenai Cosmonout’s Pencil adalah kisah yang terkenal mengenai bagaimana keterbatasan tidak membendung pencapaian cita-cita. Dalam cerita itu dikisahkan bagaimana astronot Amerika pada tahun 60-an menggunakan pena yang bernilai jutaan dolar untuk mengatasi kesulitan dalam menulis di ruang angkasa, sedangkan pada era yang sama kosmonot Uni Sovyet memilih menggunakan pensil. Hasilnya adalah kosmonot Uni Sovyet tetap dapat bekerja di luar angkasa, sama halnya dengan astronot Amerika yang menggunakan pena yang jauh lebih canggih.
AG-7, pena anti gravitasi untuk menulis di ruang angkasa
(Courtesy of www.scientificamerican.com)
(http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=fact-or-fiction-nasa-spen)
Kita semua pasti setuju kalau seorang prajurit disebut berpengalaman jika pernah menempuh medan perang. Atlet disebut berpengalaman jika telah banyak menempuh kejuaraan atau kompetisi. Dan pasti tidak ada pilot yang disebut berpengalaman jika hanya bermain flight simulator saja. Seperti halnya Simba dan Alex, marilah kita mulai sejak dini untuk terjun langsung ke dalam masyarakat dan mulai berbuat sejak dini: dengan satu tujuan yang mulia, yaitu untuk Indonesia yang lebih baik.
Di penghujung abad 20 yang silam, seorang almarhum guru saya pernah berkata:
“Kerjasama yang baik hanya dapat dilakukan jika setiap individu dalam kelompok tersebut memiliki kompetensi yang baik.”
Nah, marilah kita menunjukkan rasa cinta kita kepada Ibu Pertiwi dengan memelihara semangat belajar dan tekad yang baik untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan dapat diandalkan. Dimulai dari diri kita sendiri, berangkat dari hal-hal yang sederhana, yaitu lingkungan di sekitar kita. Mulailah untuk membuka hati dan pikiran kita, dan niscaya ternyata banyak sekali yang dapat kita perbuat untuk negeri ini.
Saya percaya, jika masih ada cinta untuk negeri ini, tentu kita akan selalu berusaha untuk menghasilkan yang terbaik, dan tidak akan ada kata menyerah bagaimanapun kesulitan mendera.
Jack Popo
Jack Popo atau Yahya adalah seorang blogger, pemilik blog http://jackpopo.wordpress.com/ dan penulis buku.
Comments
Post a Comment