Selamat Hari Ayah!

Hari ini, pada tanggal 20 Juni, seluruh Amerika Serikat merayakan "Father's Day" alias "Hari Ayah". Indonesia seharusnya pun punya Hari Ayah, karena bukankah ayah adalah sosok yang sama penting dan berharganya seperti ibu yang mendapatkan "Hari Ibu"? Kurang lebih demikian.

Sepanjang hari ini saya mendapatkan pemandangan-pemandangan dan berbagai kata-kata manis seputar ayah-anak. Di sini, Father's Day, seperti juga Mother's Day adalah hari yang cukup penting. Ayah mendapatkan hadiah, kartu dan menghabiskan waktu dengan keluarga tercinta. Setiap pemandangan yang terlihat oleh mata saya membuat muncul setitik ngilu di hati. 

Tadi pagi saya dan suami pergi ke sebuah gereja karena diundang sepasang sahabat yang bayinya akan mendapat pemberkatan dan inisiasi sebagai anggota gereja tersebut. Membuka acara pagi itu, seorang anggota gereja bicara di panggung mengenai Hari Ayah. Ia mengucapkan rasa terima kasih kepada setiap ayah yang ada di sana karena mereka telah bekerja setiap hari dan menjaga keluarga dengan segenap tenaga. Kalau kalimat-kalimat itu diucapkan oleh seseorang di televisi dan saya sedang menyaksikannya di ruang keluarga, tentu saya akan mewek-mewek dengan noraknya. Sayangnya saya sedang di tempat umum yang sama sekali tidak familiar. Maka saya menjaga nafas, melihat ke langit-langit, dan memikirkan tempe bacem. Ya, apa sajalah untuk membuat pikiran teralihkan. Di antara tempe bacem dan langit-langit gereja, saya ingat ayah saya. 

Bapak adalah panggilan untuk ayah saya. Kami sudah saling mengenal selama hampir 28 tahun. Tapi ternyata tak pernah kering kejutan-kejutan baru yang muncul di dalam hubungan kami berdua. Masa-masa menyenangkan, lucu, hangat, hingga marah, sedih, dan kecewa telah kami lewati dan mungkin masih akan ada banyak lagi. 

Hubungan kami adalah hubungan yang sulit didefinisi. Beberapa tahun terakhir hubungan kami adalah hubungan yang intens, tetapi juga berjarak. Terbuka, namun juga penuh misteri. Kadang sangat membingungkan, atau membuat emosi dan energi habis tak bersisa. Hubungan kami layaknya rollercoaster yang ngebut untuk mencapai titik terendah dan mendaki pelan untuk ke puncak. Tapi rollercoaster itu selalu ingin mencapai puncak dan diam di situ saja, tak perlu buru-buru turun lagi. "Ingin" adalah kata kuncinya.

Seiring usia dan pengalaman yang bertambah, saya belajar untuk menerima bahwa orangtua juga manusia biasa. Sama seperti saya yang punya 1001 kekurangan, orangtua saya maksimal punya 1000. Seperti saya yang sering sekali salah, orangtua pun sekali-sekali salah. Dan ternyata, setelah menyadari semua itu, saya malah semakin mencintai bapak dan ibu saya. Meski mereka sudah tidak saling mencintai satu sama lain. Tapi tak apa, bagi saya (kini) itupun sangat manusiawi. Tanpa disadari, mereka memberi kebijaksanaan lewat cara yang tak konvensional, bahkan kadang terlalu ekstrem, tetapi sungguh saya berterimakasih atas semua itu. 

Maka karena hari ini adalah Hari Ayah (paling tidak di sini), saya ingin berterimakasih kepada ayah saya. Terima kasih Pak untuk kesempatan belajar dan menjadi dewasa. Terima kasih atas kegigihan untuk tidak mundur saat saya berlari kabur atau memuntahkan marah. Saya mencintaimu terlepas dari semua yang telah terjadi dan akan terjadi. Jika kita tidak menyerah, mungkin suatu hari nanti rollercoaster itu akan diam saja di puncak dan kita berdua dapat duduk tenang menikmati pemandangan. Saat ini saya memilih untuk mengikuti naik-turunnya. Tidak ada lagi tenaga untuk melawan dan saya berjanji akan menikmatinya. Selamat Hari Ayah, Pak. Semoga Tuhan senantiasa memberi kesehatan dan kebahagiaan.


Comments

Popular Posts