PMP untuk Pemula
Hari Jumat lalu, kami (sekumpulan orang Indonesia yang menghuni Houston) mengucap perpisahan kepada salah satu teman. Sudah bertahun-tahun ia berada di kota ini, dan sudah tiba waktunya untuk kembali ke Tanah Air.
Dalam acara perpisahan yang cukup ceria itu, sang teman pada akhirnya mulai sentimentil. "Dia saudara gue. Bukan saudara darah, tapi karena ikatan emosi." atau "Gue enggak akan menemukan teman-teman yang seperti kalian lagi." menjadi kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Mungkin benar adanya. Ketika seseorang merantau begitu jauh dan keluarga inti tidak mudah terjamah, mereka-mereka yang berbagi kesamaan dengan kita, terutama dalam hal Tanah Air, menjadi keluarga kedua. Dengan mereka itu lah nostalgia tentang "rumah" dibagi, bantuan dalam kesulitan dimohonkan dan bantuan dalam kesulitan diberikan. Maka tentu saja, menjadi sentimentil adalah sesuatu yang sangat wajar.
Di tengah acara itu dan melihat kedekatan si teman yang akan pulang dengan teman-teman yang lain, saya jadi berpikir tentang bagaimana dalam kondisi-kondisi tertentu, kesamaan paling kecil sekalipun dapat menjadi alasan seorang manusia untuk menganggap orang lain sebagai saudara. Pernahkah Anda mendengar cerita tentang temannya teman atau saudara jauh dari saudara sepupu seorang teman pernah lolos dari denda akibat melanggar peraturan lalu lintas hanya karena ia dan si polisi berasal dari daerah yang sama? Misalnya, sama-sama dari Jawa, sama-sama orang Sunda, sama-sama berasal dari Padang, dsb. Karena kesamaan suku maka seseorang menjadi "bersaudara", bahkan kemudian mendapatkan kemudahan. Ya, persamaan yang menyangkut latar belakang dapat menjadi ikatan yang sangat kuat, bahkan di antara dua orang yang sesungguhnya tidak saling mengenal.
Di Indonesia, seringkali seorang manusia didefinisikan dengan suku tertentu, agama tertentu, kelas sosial tertentu. "Dia orang apa?" adalah pertanyaan yang terlalu sering dilontarkan. Lalu segera saja seseorang menjadi berbeda atau sama dengan si penanya. Lucu. Di sini, segala perbedaan itu dieliminasi dengan satu kesamaan yang sederhana.
Maka di hari Jumat kemarin teman saya itu berpisah dengan saudara-saudaranya. Entah apa suku atau agama mereka, karena teman saya itu berpisah dengan saudara-saudaranya sesama orang Indonesia. Dan bukankah memang seharusnya seperti itu? Jauh atau dekat, Jawa atau Sunda, Papua atau Ambon, Islam atau Katolik, Hindu atau Budha, kaya atau miskin, bukankah pada intinya kita sama-sama orang Indonesia?
Posting ini mengingatkan saya (dan mungkin tanpa sadar juga terinspirasi) pada pelajaran PMP ketika masih kelas 3 SD. Sedikit klise, tapi menurut saya, benar adanya. Ya, mungkin bukan hanya anak SD saja yang sesekali perlu diingatkan.
Dalam acara perpisahan yang cukup ceria itu, sang teman pada akhirnya mulai sentimentil. "Dia saudara gue. Bukan saudara darah, tapi karena ikatan emosi." atau "Gue enggak akan menemukan teman-teman yang seperti kalian lagi." menjadi kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Mungkin benar adanya. Ketika seseorang merantau begitu jauh dan keluarga inti tidak mudah terjamah, mereka-mereka yang berbagi kesamaan dengan kita, terutama dalam hal Tanah Air, menjadi keluarga kedua. Dengan mereka itu lah nostalgia tentang "rumah" dibagi, bantuan dalam kesulitan dimohonkan dan bantuan dalam kesulitan diberikan. Maka tentu saja, menjadi sentimentil adalah sesuatu yang sangat wajar.
Di tengah acara itu dan melihat kedekatan si teman yang akan pulang dengan teman-teman yang lain, saya jadi berpikir tentang bagaimana dalam kondisi-kondisi tertentu, kesamaan paling kecil sekalipun dapat menjadi alasan seorang manusia untuk menganggap orang lain sebagai saudara. Pernahkah Anda mendengar cerita tentang temannya teman atau saudara jauh dari saudara sepupu seorang teman pernah lolos dari denda akibat melanggar peraturan lalu lintas hanya karena ia dan si polisi berasal dari daerah yang sama? Misalnya, sama-sama dari Jawa, sama-sama orang Sunda, sama-sama berasal dari Padang, dsb. Karena kesamaan suku maka seseorang menjadi "bersaudara", bahkan kemudian mendapatkan kemudahan. Ya, persamaan yang menyangkut latar belakang dapat menjadi ikatan yang sangat kuat, bahkan di antara dua orang yang sesungguhnya tidak saling mengenal.
Di Indonesia, seringkali seorang manusia didefinisikan dengan suku tertentu, agama tertentu, kelas sosial tertentu. "Dia orang apa?" adalah pertanyaan yang terlalu sering dilontarkan. Lalu segera saja seseorang menjadi berbeda atau sama dengan si penanya. Lucu. Di sini, segala perbedaan itu dieliminasi dengan satu kesamaan yang sederhana.
Maka di hari Jumat kemarin teman saya itu berpisah dengan saudara-saudaranya. Entah apa suku atau agama mereka, karena teman saya itu berpisah dengan saudara-saudaranya sesama orang Indonesia. Dan bukankah memang seharusnya seperti itu? Jauh atau dekat, Jawa atau Sunda, Papua atau Ambon, Islam atau Katolik, Hindu atau Budha, kaya atau miskin, bukankah pada intinya kita sama-sama orang Indonesia?
Posting ini mengingatkan saya (dan mungkin tanpa sadar juga terinspirasi) pada pelajaran PMP ketika masih kelas 3 SD. Sedikit klise, tapi menurut saya, benar adanya. Ya, mungkin bukan hanya anak SD saja yang sesekali perlu diingatkan.
Comments
Post a Comment