Naim dan Fita
Hari ini seorang perempuan Jawa minta ijin untuk dinikahi oleh laki-laki pilihannya, seorang putra Betawi tulen.
Keluarga sang putra Betawi pun berbondong-bondong datang dari Jakarta Selatan ke Bekasi Timur, tempat si perempuan muda berada. Semua rapih berdandan, membawa serta berbagai hadiah bagi calon anggota keluarga baru. Semua bersemangat, semua melafaskan doa terbaik sepanjang perjalanan menuju ke tempat ijab kabul akan dilaksanakan.
Tiba di masjid, keluarga mulai mencari tempat terbaik untuk menyaksikan momen sakral nan indah itu. Kedua calon pengantin nampak tampan dan cantik. Garis-garis ketegangan terlukis tegas di wajah sang lelaki. Hari ini akan merubah hidupnya. Perempuan itu akan menjadi sahabatnya dalam susah dan senang, sehidup semati.
Komat-kamit ia mengulang kalimat yang harus ia katakan dengan tegas untuk mensahkan niat menjalin masa depan berdua. Sang perempuan hanya diam menunduk, sesekali tersenyum pada canda ringan yang dilempar seorang teman. Hatinya mungkin berdetak kacau, tapi ia menyembunyikannya dengan baik. Terjaga tingkah laku, anggun tak terperi.
Kurang lebih 20 menit penghulu terlambat. Makin kencang muka sang mempelai pria. Momen itu mungkin terasa lebih besar dari dirinya. Ia tidak ingin apapun mengacaukannya. Penghulu pun bukan sengaja ingin membuatnya semakin gelisah, bapak itu tak lama datang menunggang motor tuanya. "Habis mengawinkan," ujarnya beralasan. Acara yang dinanti pun segera dimulai.
Setelah ustadz menghaturkan doa untuk kemudahan bagi semua yang hadir dan terutama bagi yang akan menikah, penghulu kemudian mengambil alih. Fita Satriani, sang mempelai wanita, dengan penuh haru meminta ijin dari sang kakak yang mewakili almarhum ayahnya. Dengan yakin ia mengutarakan niat untuk menikahi Mochamad Naim, si ganteng yang wajahnya masih juga tegang. Seketika seisi masjid dilanda haru. Suara lembut si pengantin perempuan menyiratkan kesungguhan, sekaligus kerendahan hati.
Lalu tibalah saatnya Naim mengatakan kalimat yang sudah berhari-hari ia hafalkan. "Usahakan agar ketika kakak dari Fita selesai mengatakan kalimatnya, Naim langsung menyambung ya. Biar afdol," ujar Pak Penghulu. Pasti makin ramai jantung Si Naim. Lalu tibalah saatnya... "Saya terima nikahnya Fita Satriani binti......" Tanpa jeda, tanpa gagap, tanpa lidah yang keseleo. Naim melakukannya dengan sempurna. Lalu penghulu dengan tak kalah sigap bertanya kepada para saksi, "Sah? Sah?" Ketika persetujuan diberikan, seisi masjid kemudian mengucap Alhamdulillah. Naim mendadak sumringah, dan senyum termanis seketika muncul di wajah Fita.
Dua anak manusia kini jadi sepasang suami istri. Ada hak dan kewajiban yang berat di balik upacara singkat di hari Kamis pagi ini. Semoga kalian selalu temukan jalan keluar dari setiap permasalahan dan senantiasa memiliki cinta yang cukup besar untuk dapat menerima yang tidak bisa diubah.
Selamat menempuh hidup berdua, Naim dan Fita. Hari ini istimewa. Kalian berdua istimewa. Terima kasih karena memperbolehkan aku menjadi bagian dari hari bahagia kalian.
Peluk dan Kecup,
Andini
Keluarga sang putra Betawi pun berbondong-bondong datang dari Jakarta Selatan ke Bekasi Timur, tempat si perempuan muda berada. Semua rapih berdandan, membawa serta berbagai hadiah bagi calon anggota keluarga baru. Semua bersemangat, semua melafaskan doa terbaik sepanjang perjalanan menuju ke tempat ijab kabul akan dilaksanakan.
Tiba di masjid, keluarga mulai mencari tempat terbaik untuk menyaksikan momen sakral nan indah itu. Kedua calon pengantin nampak tampan dan cantik. Garis-garis ketegangan terlukis tegas di wajah sang lelaki. Hari ini akan merubah hidupnya. Perempuan itu akan menjadi sahabatnya dalam susah dan senang, sehidup semati.
Komat-kamit ia mengulang kalimat yang harus ia katakan dengan tegas untuk mensahkan niat menjalin masa depan berdua. Sang perempuan hanya diam menunduk, sesekali tersenyum pada canda ringan yang dilempar seorang teman. Hatinya mungkin berdetak kacau, tapi ia menyembunyikannya dengan baik. Terjaga tingkah laku, anggun tak terperi.
Kurang lebih 20 menit penghulu terlambat. Makin kencang muka sang mempelai pria. Momen itu mungkin terasa lebih besar dari dirinya. Ia tidak ingin apapun mengacaukannya. Penghulu pun bukan sengaja ingin membuatnya semakin gelisah, bapak itu tak lama datang menunggang motor tuanya. "Habis mengawinkan," ujarnya beralasan. Acara yang dinanti pun segera dimulai.
Setelah ustadz menghaturkan doa untuk kemudahan bagi semua yang hadir dan terutama bagi yang akan menikah, penghulu kemudian mengambil alih. Fita Satriani, sang mempelai wanita, dengan penuh haru meminta ijin dari sang kakak yang mewakili almarhum ayahnya. Dengan yakin ia mengutarakan niat untuk menikahi Mochamad Naim, si ganteng yang wajahnya masih juga tegang. Seketika seisi masjid dilanda haru. Suara lembut si pengantin perempuan menyiratkan kesungguhan, sekaligus kerendahan hati.
Lalu tibalah saatnya Naim mengatakan kalimat yang sudah berhari-hari ia hafalkan. "Usahakan agar ketika kakak dari Fita selesai mengatakan kalimatnya, Naim langsung menyambung ya. Biar afdol," ujar Pak Penghulu. Pasti makin ramai jantung Si Naim. Lalu tibalah saatnya... "Saya terima nikahnya Fita Satriani binti......" Tanpa jeda, tanpa gagap, tanpa lidah yang keseleo. Naim melakukannya dengan sempurna. Lalu penghulu dengan tak kalah sigap bertanya kepada para saksi, "Sah? Sah?" Ketika persetujuan diberikan, seisi masjid kemudian mengucap Alhamdulillah. Naim mendadak sumringah, dan senyum termanis seketika muncul di wajah Fita.
Dua anak manusia kini jadi sepasang suami istri. Ada hak dan kewajiban yang berat di balik upacara singkat di hari Kamis pagi ini. Semoga kalian selalu temukan jalan keluar dari setiap permasalahan dan senantiasa memiliki cinta yang cukup besar untuk dapat menerima yang tidak bisa diubah.
Selamat menempuh hidup berdua, Naim dan Fita. Hari ini istimewa. Kalian berdua istimewa. Terima kasih karena memperbolehkan aku menjadi bagian dari hari bahagia kalian.
Peluk dan Kecup,
Andini
Comments
Post a Comment