Terwelu
Saat ini saya sedang suka sekali dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Terlalu banyak yang bilang pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari terasa terlalu kaku dan terdengar norak. Terutama bila dipergunakan dalam konteks tertentu, seperti misalnya percintaan. Seorang pujangga, pengarang lagu atau bahkan orang biasa yang sedang jatuh cinta, akan memiliki risiko dibilang norak dengan penggunaan kata-kata semacam "rindu", "patah hati", "terpuruk", "nelangsa", "kekasih", dan sebagainya. Mendadak mereka yang menggunakan kata-kata semacam itu dicap puitis. Padahal kalau sudah dipergunakan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata-kata itu. Mari kita coba:
"Kekasih, aku rindu setengah mati. Nelangsa tanpa kamu di sini."
Bagaimana? Tidak terlalu buruk bukan? Beri waktu, mungkin Anda belum terbiasa.
Tanpa maksud sok nasionalis atau apapun, saya menulis posting ini. Sesungguhnya saya sungguh iri kepada mereka yang mampu menulis berpanjang-panjang tentang segala hal yang menyangkut perasaan, entah itu cinta, benci, kagum, haru, dan sebagainya, dengan menggunakan kata-kata dari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal itu sulit sekali. Bagi saya, meskipun tidak memiliki perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris yang amat mumpuni, seringkali kata-kata yang ingin saya pergunakan malah muncul dalam versi bahasa Inggris. Kemudian saya jadi menyadari bahwa ternyata perbendaharaan kata bahasa Indonesia saya lebih terbatas lagi! Mengerikan.
Malu rasanya jika bolak-balik menggunakan kata-kata yang sama. Saya merasa sungguh tidak kreatif dan kecil. Jika dibandingkan dengan sastrawan dan pencipta lagu Indonesia, seperti Rendra, Pramoedya Ananta Toer, grup musik KLA atau Kartika Jahja dari Tika and The Dissidents, maka saya adalah anak kepik bersanding dengan gajah. Mungkin lebih tepatnya tahi kepik. Bukan tai, tae, e'ek, atau pup, tapi tahi. Ya, tahi.
Maka saat ini saya sedang berupaya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukan, sekali lagi bukan karena saya seorang nasionalis yang fanatik, tetapi karena saya merasa bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang indah dan sensual. Hahahaha.. Tidak, saya tidak sungguh-sungguh meyakini persoalan sensualitas itu, karena baru saja terbersit sebuah kata yang sering saya dengar waktu kecil dan sama sekali tidak ada yang sensual dengan kata ini. Pernahkah Anda dengar kata "terwelu"? Nah, mari coba memasukkan kata ini ke dalam kalimat:
"Terwelu kecilku, aku tidak sabar ingin melumat bibirmu."
Bagaimana? Meskipun terwelu adalah mamalia yang sangat menggemaskan, namun jika kekasih memanggil saya dengan terwelu, saya mungkin akan segera ambil langkah seribu dan kehilangan niat untuk melakukan kegiatan sensual apapun.
Akhir kata, pembaca yang budiman, saya mohon tetaplah mengunjungi blog ini meski Anda menganggap saya norak. Mungkin setelah diberi kesempatan dengan dibaca atau didengar berkali-kali, bahasa Indonesia akhirnya tak lagi jadi warga kelas dua bagi masyarakatnya sendiri.
Peluk dan Kecup!
Andini
Comments
Post a Comment