Suara #1 vs Suara #2

Tadi malam - 22.45

Naik taksi Blue Bird dari PIM 2. Dari seberang PIM 2, tepatnya. Si taksi sedang mangkal dan si bapak supir sedang terlelap di dalamnya. Karena tak ada pilihan lain, ku ketok jendelanya pelan, "Narik, Pak?" Ia mengangguk, lalu segera menyalakan mesin mobilnya. Aku mencoba mencari posisi nyaman dan bersiap bengong sepanjang perjalanan, menikmati Jakarta yang masih lengang.

Sepanjang perjalanan si bapak menyetir dengan kecepatan cukup tinggi, tetapi juga beberapa kali melakukan pengereman yang tidak perlu, kadang bahkan sedikit melenceng ke kanan atau kiri. Sedikit khawatir, aku mencoba memperhatikan wajahnya dari kaca spion. Anda tahu kan wajah seseorang saat sedang ngantuk berat, tetapi tetap memaksa membuka mata? Seringkali mata sebenarnya terpejam, alias tidak melihat apa-apa, tetapi masih dalam posisi setengah terbuka. Ya, seperti itulah wajah si bapak. Aku panik. Bisa mati atau celaka konyol kami berdua.

"Cepat, cepat katakan sesuatu, Din! Ajak ngobrol apa kek. Cepat!" suara di dalam kepala berusaha membuat mulutku melakukan sesuatu. Lalu dengan sangat tidak perlunya, muncul suara lain di dalam kepala, "Tapi ngajak ngobrol apa ya? Katro gak sih kalo tiba-tiba nanya apa gitu? Ketahuan banget cuma asal ngajak ngobrol doang." Tidak penting sama sekali. Di tengah urusan nyawa, si suara nomor 2 (yang setelah kejadian semalam obviously harus segera diacuhkan selamanya) masih sempat-sempatnya memikirkan apa yang dipikirkan si supir kalau aku mendadak sok asik.

Maka segera saja aku lontarkan pertanyaan pertama yang terlintas di kepalaku, "Jalanan belum ramai lagi ya, Pak?" Ia memberikan jawaban dengan cukup cepat, "Belum, mba." Lalu diam. Sial, pertanyaan tertutup. Bodoh, bodoh, bodoh. Sekali lagi terbukti, aku memang payah dalam soal basa-basi. Setengah mati aku mencoba memikirkan pertanyaan terbuka yang dapat menjadi awal dari sebuah dialog panjang antara aku dan si bapak supir yang setengah tertidur. Akhirnya.. "Bapak narik terus dari Lebaran kemarin?" tanyaku dengan sok antusias, kemudian melanjutkan, "Kalau tidak narik selama beberapa hari itu bagaimana sih kebijakan dan sistem dari Perusahaan?" Berhasil. Ia mulai memberikan jawaban panjang dan kami pun mulai ngobrol. Lama-lama makin seru dan sudah tidak ku lihat lagi mata 5 watt yang tadi menghiasi wajahnya dan membuatku panik setengah mati. Fiuuhhh..

Baiklah, suara nomor 2, Anda dipensiunkan. Mulai sekarang, aku hanya akan mendengarkan suara yang pertama kali muncul di dalam kepala. Anda, suara nomor 2, hanyalah pesan sponsor dari ego yang selalu berhasil membuatku takut, ragu dan malu. Tidak mau lagi. Pensiun saja sana.

Comments

Popular Posts