Hari Ini, Sebelas Tahun yang Lalu

Hari ini, sebelas tahun yang lalu ada kekacauan yang membawa teror. Teror bagi setiap orang tua dan anak kecil, perempuan dan laki-laki, kecuali bagi yang sudah lebih dulu mati. 

Kehidupan memang tak pernah benar-benar damai, teror selalu ada, namun selalu terlalu bisu atau terlalu tak kasat mata. Tetapi hari ini, sebelas tahun yang lalu, teror itu begitu nyata, bisa dirasa, diraba, tetapi tidak dilupa. 

Mei 1998 ternyata menjadi Mei tergelap dalam hidupku dan begitu banyak manusia Indonesia lainnya. Di hari itu kembali kita sudah dikhianati. Ya, sudah berkali-kali kita saling mengkhianati, tetapi Mei 1998 adalah saat pertama aku merasakannya. Dan ketika dikhianati, ada rasa sakit yang tak pernah sungguh-sungguh pergi. Hingga saat ini.

Aku ingat kebahagiaan karena sudah berhasil menyelesaikan ujian kelulusan terakhir di bangku SMP segera menguap, karena orangtua-orangtua sibuk menjemput anak-anak di sekolah dan bergegas membawa mereka pulang. Termasuk orangtuaku. Tak ada jawaban yang memuaskan keluar dari mulut mereka, kecuali, "Kita harus segera pulang." Padahal aku ingin sekali bermain dengan teman-teman, merayakan berakhirnya musim ujian. 

Jalanan lengang. Ada suasana mencekam yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Jalan-jalan yang biasa ku lewati ketika pergi dan pulang sekolah mendadak terasa menyeramkan, padahal aku merasa telah mengenal setiap likunya di luar kepala. Ada yang sangat salah dengan hari itu. 

Suasana ketika tiba di rumah juga tak lebih menenangkan. Para lelaki menjaga setiap pintu masuk kompleks, membawa apapun yang bisa dipakai sebagai senjata. Ibuku sibuk membereskan surat-surat berharga dan entah apa lagi. Helikopter berputar-putar dan sirene meraung-raung. Ketua RT kami sibuk memberitakan "massa" sudah sampai di mana. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa begitu ketakutan. Sampai menelan ludah saja sulit. Aku mengucapkan setiap doa yang aku tahu. Semua campur aduk. 

Teror itu berakhir beberapa jam kemudian, meski para lelaki tetap berjaga hingga keesokan hari. Televisi tak henti-henti menyiarkan keadaan di tengah kota. Jakarta luluh lantak. Lalu kabar yang lebih menyeramkan lagi datang; nyawa-nyawa melayang di dalam mall dan rumah-rumah yang dibakar, perempuan-perempuan disakiti dan kekerasan terhadap etnis tertentu terjadi di tengah kekacauan itu. 

Aku merasa begitu dikhianati. Semua yang sudah repot-repot aku pelajari di bangku sekolah dan rumah ibadah tak lebih dari sebuah topeng. Bangsaku memiliki kemampuan untuk menjadi begitu barbar, begitu pemberang, begitu murah, begitu pengecut! 

Lalu pemimpin tertinggi bangsa turun dari tampuknya. Lalu mendadak negara ini berganti-ganti pemimpin. Lalu ada kemarahan karena kerusuhan Mei '98 yang tak diusut tuntas. Lalu ada gedung-gedung pusat perbelanjaan yang didirikan kembali. Lalu ada bayi-bayi yang lahir. Lalu kehidupan berjalan lagi. Lalu kita kembali mencari uang dan tenggelam dalam kemacetan. Lalu partai-partai baru bermunculan. Lalu wajah-wajah bertopeng berlomba-lomba ingin jadi pemimpin. Lalu kita terjebak dalam kekecewaan yang terlupakan dan mimpi yang tak pernah diberi jalan. Lalu kita lupa. 

Kita lupa bahwa kita pernah dikhianati. Kita pernah mengkhianati. Kita pernah marah dan kita pernah murah. Kita lupa, padahal kita tahu.

Ah, hari ini, sebelas tahun yang lalu..

Muram.

Comments

Popular Posts