Ansing Berkisah

Bagiku, naik taksi (Blue Bird dan hanya Blue Bird) senantiasa menjadi salah satu bentuk plesir dan kemewahan tersendiri. Aku menikmati naik taksi, terutama bila sendirian. Bila Forrest Gump menganalogikan hidup dengan sekotak cokelat, maka untuk ku, taksi adalah kotak tersebut; kita tidak tahu supir seperti apa yang akan didapatkan.

Setelah sekian lama tidak naik taksi, kemarin aku memutuskan untuk menikmati transportasi umum itu, menuju dan dari tempat liputan di Mega Kuningan. Hujan besar yang tidak kunjung berhenti dan kemacetan parah membuat ku tidak rela menyetir sendirian.

Supir taksi pertama tidak banyak memberi kesan. Ramah, namun tak banyak bicara. Aku cukup fleksibel dengan berbagai macam tipe supir taksi. Jika dia pendiam maka aku senang karena bisa bengong dan tenggelam dalam pikiran sendiri. Jika ia bawel, maka aku bisa mengimbangi dengan pura-pura peduli atau menimpali karena memang sungguh-sungguh tertarik dengan topik yang diajukan. Topik paling standar tentu saja soal jalanan macet dan rusak atau kondisi sosial politik negeri tercinta. Obrolan Sospol hampir selalu bikin ilfil, karena isi pembicaraan biasanya selalu sama; keluhan dan keluhan terhadap pemerintah khas pembicaraan Warung Kopi. Tapi tak apa, aku akan tetap menanggapi karena tentunya sangatlah membosankan untuk berada di dalam mobil sepanjang hari mengantarkan orang-orang asing yang kadang menyebalkan. Maka mari mengobrol, Pak. Saya mendengarkan.

Supir taksi kedua adalah salah satu supir taksi favorit sepanjang karier ku sebagai penumpang taksi. Namanya Ansing. Aku lupa mencatat nomor taksinya. Usianya mungkin hampir 50 tahun. Tubuhnya kecil, sedikit berisi, kepalanya botak plontos dan matanya sipit. Ia bicara dengan logat Jawa Tengah yang mengingatkan ku pada si mbok yang berasal dari Kebumen. Cara bicaranya santai dan tak berusaha membuat lelucon-lelucon garing. Obrolan dibuka dengan pembicaraan standar mengenai Jakarta yang banjir melulu. Bukannya mengeluh tentang betapa bobroknya cara Pemerintah Daerah mengatasi masalah yang datang hampir tiap tahun itu, Ansing malah membuka diskusi tentang para tukang sapu jalanan. Lewat pengamatan langsung ia sering melihat kebiasaan para tukang sapu jalanan untuk memasukkan sampah-sampah yang sudah mereka sapu ke dalam saluran air. "Ya, itu sungguh terjadi, Mba," ujarnya mencoba meyakinkan. Lalu kami bicara tentang bagaimana prosedur pengangkutan sampah yang berceceran di jalanan. Anda sering melihat karung-karung putih di sisi selokan? Nah, karung-karung itu berisi sampah dari selokan yang dibersihkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Tata Air dan seharusnya diangkut truk sampah dari Dinas Kebersihan segera. Tetapi terlalu banyak karung-karung semacam itu yang berulangkali mengalami masa basah - kering dan masih saja teronggok di sisi jalan.

Kami kemudian ngobrol ringan tentang kebiasaan membuang sampah sembarangan yang masih dimiliki sebagian anggota masyarakat. Obrolan kemudian bergeser kepada keberadaan sungai, serta bantaran kali yang seringkali dipakai sebagai tempat tinggal atau lokasi bisnis dan "bisnis". Bantaran kali yang seharusnya bisa menampung air yang meluap dari sungai tak lagi bisa berfungsi maksimal. Ketika pembicaraan bergeser ke masalah relokasi bagi anggota masyarakat yang menempati bantaran sungai, Ansing mengingatkan bahwa topik itu sangat sensitif. Ia sendiri pernah menjadi salah satu penghuni Rumah Susun Sangat Sederhana Sehingga Selonjor Saja Sulit yang berada di daerah Pluit dan disediakan oleh pemerintah antara lain untuk menampung para penghuni Kali Jodo. Ya, the infamous Kali Jodo.

Ah, di sini kemudian pembicaraan jadi makin seru, karena lika-liku Kali Jodo ternyata diketahui oleh Ansing yang mengaku sering beredar di daerah itu di akhir '80-an sebagai "intel" bagi penguasa daerah Pecenongan di masa itu yang bernama Hans Solomon dan berasal dari Rote, Nusa Tenggara Timur. Penguasa Kali Jodo (yang jadi target pengawasan Ansing) di masa itu bernama H. Usman yang asli Mandar, Sulawesi Barat. Ia konon memonopoli arus distribusi barang-barang konsumsi yang dijual di area Kali Jodo. "H. Usman itu kaya sekali, Mba. Kalau dia masuk warung untuk makan, semua orang yang ada di situ akan makan gratis karena dia akan membayar semua makanan yang habis, sebanyak apapun," kenang Ansing. Kedua penguasa ini tak saling berselisih. Awalnya mereka bahkan tak saling mengenal. Hans Solomon hanya ingin mengetahui seberapa besar kekuatan H. Usman. Setelah mengukur kekuatan masing-masing mereka malah saling berkenalan dan Ansing mendapatkan sebuah rumah di daerah Tangerang sebagai ucapan terimakasih karena telah mengenalkan keduanya.

Ansing juga bercerita bahwa proses relokasi penghuni Kali Jodo ke Rumah Susun Sangat Sederhana Sehingga Selonjor Saja Sulit yang mewajibkan penghuninya membayar Rp 2.500,-/hari (tahun '95) sangat terbantu oleh keberadaan H. Usman. Tak perlu sulit-sulit mendata, pemerintah cukup meminta H. Usman mendata "warganya" dan kemudian menghimbau mereka untuk pindah. Tak ada yang berani melawan tentunya. "Tapi ya susah ya, Mba. Namanya juga orang kampung. Mikirnya enggak nyampe. Udah bagus dikasih tempat tinggal, mereka malah ngontrakin rumahnya terus tinggal di kolong jembatan atau balik lagi ke Kali Jodo," ungkap Ansing.

Aku selalu suka mendengarkan orang bercerita tentang masa lalu Jakarta, terutama mengenai hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Kisah Ansing ini tentu tak kutelan bulat-bulat. Riset kecil telah aku jalankan. Paling tidak tentang keberadaan kedua penguasa itu. Ia tak berdusta, Hans Solomon dan H. Usman bukan tokoh fiktif. Hans Solomon kini sudah almarhum dan kekuasaannya ikut mati bersama jasadnya. H. Usman sudah tidak seaktif dahulu, namun kelompoknya masih disegani di daerah Kali Jodo. Ansing sendiri jadi supir taksi setelah Hans meninggal. Apakah ia sungguh mata-mata dan tangan kanan Hans Solomon? Entahlah. Ia mungkin hanya supir taksi yang sering mangkal di daerah Kali Jodo dan beberapa kali ikut "berbisnis" di sana. Cerita tentang kedua penguasa boleh jadi diperolehnya dari mulut orang lain. Tetapi aku melihatnya sebagai seorang tokoh yang terlalu menarik untuk disangsikan. Ia telah berhasil menarik perhatianku dan membuat perjalanan kali itu menjadi super seru, walau macet tak terkira terus-menerus menghadang kami.

Sekali lagi aku mendapatkan perjalanan dengan supir taksi yang menarik. Dongeng atau bukan, ia telah membuat sore hariku penuh cerita dan imajinasi. Terimakasih, Pak Ansing!

Comments

Popular Posts