Anies Baswedan: Menggambar Masa Depan

Seperti yang telah dijanjikan, berikut artikel tentang Anies Baswedan
Gatra Living Plus 2/ August - October 2008/My View - Teks: Andini Haryani

Anies Baswedan: Menggambar Masa Depan

Di usia 39 tahun Anies Baswedan dipercaya memimpin Universitas Paramadina. Semangatnya membuncah. Ia optimis pendidikan adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik bagi semua.


Siang itu kampus Paramadina nampak sedikit lengang. Beberapa mahasiswa nampak sedang asik berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Tak jauh dari pemandangan itu, jalan raya penuh sesak dengan kendaraan bermotor. Bising dan tak bersahabat. Kenyamanan kampus mungil ini terasa sangat istimewa.

“Kampus ini mungkin kecil secara ukuran, namun cita-cita yang dimilikinya besar dan mulia,” ungkap Anies tentang kampus yang didirikan oleh Nurcholis Madjid itu. Ia juga menambahkan bahwa Paramadina tidak didirikan untuk mengantisipasi peluang bisnis, melainkan untuk menterjemahkan gagasan dan menjadi tempat persemaian manusia-manusia baru. Tanggungjawab yang diembannya dilihat sebagai sebuah amanah. “Ini bukan sesuatu yang sambil lalu. Di sini kita mencoba untuk melakukan langkah-langkah yang mungkin nampak kecil, namun konsisten dengan ide besar dan efek jangka panjang,” jelasnya.

Pria kelahiran 7 Mei 1969 ini melihat amanat untuk memimpin Paramadina sebagai sebuah keuntungan, karena Ilmu Pendidikan memang tidak pernah dipelajarinya secara khusus. Mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Gajah Mada, ia kemudian memperoleh beasiswa Fulbright dan William P. Cole III Fellowship untuk melanjutkan pendidikan di School of Public Policy, University of Maryland. Dari sanalah ia meraih gelar Master untuk bidang studi International Economic and Security Policy. Ia menjadi peserta Gerald Maryanov Fellow di tahun 2004 dan mendapatkan Gelar Ph.D dari Department of Political Sciences, Northern Illinois University.

Selepas pendidikan di Amerika Serikat, ia kembali ke Tanah Air dan lebih banyak terlibat dengan politik komparatif. Ia pernah menjadi Peneliti Utama di Lembaga Survei Indonesia dan National Advisor bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada Partnership for Governance Reform. Sejak tahun 2005 hingga saat ini ia juga menjabat sebagai Research Director untuk The Indonesian Institute, Center for Public Policy Analysis.

Secara latar belakang akademik dan karir, Anies mungkin “berjarak” dari dunia pendidikan, namun di hati, kampus dan isu-isu yang dihadapi generasi muda senantiasa dekat dengannya. “Secara kultural saya bukan kalangan yang jauh-jauh dari universitas. Bapak dan ibu saya dosen. Rumah saya hanya 500 meter dari UGM. Tempat saya bermain ya lapangan UGM,” ungkapnya sedikit mengenang. Ia tumbuh besar bersama tumpukan-tumpukan skripsi mahasiswa bimbingan kedua orangtuanya, dan terbiasa berada dalam suasana diskusi serta perdebatan yang sehat.

Menggambar Masa Depan
Bagi Anies, pendidikan tidak semata terbatas pada upaya memunculkan manusia baru yang cerdas dan berakhlak, yang bisa menjadi pendorong kemajuan bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Lebih dari itu, pendidikan adalah alat untuk “menggambar” masyarakat masa depan. “Rekayasa struktural masa depan Indonesia ditentukan oleh pendidikan dan Menteri Pendidikan beserta segenap pengelola pendidikan adalah arsiteknya,” ungkapnya. Ia pun menjelaskan bahwa rekayasa struktural pernah terjadi di tahun 50-an lewat Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Karena ketiadaan guru-guru, maka para mahasiswa pun menjadi tenaga pengajar di berbagai SMA yang dibuka pemerintah di hampir seluruh kabupaten di Indonesia setelah kemerdekaan.

Di tahun 60-an terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Jika sebelumnya hanya kaum aristrokrat saja yang dapat mengenyam pendidikan, maka keadaan kemudian berubah drastis. Mereka inilah yang kemudian menjadi kelas menengah setelah memasuki berbagai sektor di Indonesia baru yang masih kosong melompong. “Kelas menengah baru ini kemudian melihat tantangan masa depan dan menyiapkan anak-anak mereka. Kali ini mereka tidak menengok kepada negara. Mereka menengok kepada sekolah-sekolah swasta meskipun mahal, karena mereka mampu,” jelasnya.

Pendidikan adalah bagian dari janji kemerdekaan, dan pada mereka yang merasakan pendidikan berkat PTM, janji itu telah dibayar lunas. “Education adalah kunci untuk menterjemahkan janji kemerdekaan. Dan janji itu untuk seluruh bangsa, bukan hanya sekelompok orang,” ungkapnya tegas. Ia pun menambahkan bahwa kini situasi telah bergeser, “Sedikit demi sedikit quality education adalah fungsi financial power. Orang-orang yang tidak mampu tidak bisa meraihnya. Jadi pendidikan tidak lagi membuat orang bisa naik kelas. Ini adalah time bomb.”

Ayah dari tiga anak ini melihat bahwa yang dibutuhkan masyarakat bukan free admission atau tanpa tes, melainkan tanpa biaya. Sebuah tantangan yang dapat dijawab lewat kehadiran rekayasa struktural masa kini. Tantangan itu dijawab oleh Paramadina lewat program beasiswa bagi anak-anak Indonesia yang berprestasi. “Tahun ini 25% dari mahasiswa yang masuk Paramadina itu full scholarship. Rp 65.000.000,- untuk anak yang tinggal di Jakarta, dan Rp 100.000.000,- untuk setiap anak yang berasal dari luar Jakarta,” jelas Anies.

Persyaratan yang harus dipenuhi setiap anak, selain prestasi akademik yang baik, adalah keaktifan di dalam masyarakat, punya skill khusus dan bisa menulis. Prestasi yang dilihat pun merupakan prestasi kumulatif, mulai dari SD hingga SMA. Logikanya adalah; mereka yang senantiasa berperan aktif dalam masyarakat akan seterusnya memiliki semangat itu bahkan hingga 20 tahun ke depan. “We want people that can change the society, bukan orang-orang yang duduk di belakang meja dan menunggu tugas yang harus dilakukan. No, we want agents of change!” paparnya penuh semangat. Tidak tanggung-tanggung, hingga 17 lembar formulir pendaftaran harus diisi oleh para calon penerima beasiswa, di luar attachment yang jumlahnya juga cukup banyak.

Mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan agar program beasiswa ini dapat berjalan lancar, maka Paramadina pun menggandeng sektor privat untuk mendukungnya. “We do not have money, it’s a small university. Tetapi ketika idelisme dipresentasikan dengan bahasa yang bisa dipertanggungjawabkan secara bisnis dan bukannya bahasa iba, we get the support,” ujarnya. Logika yang menjadi kunci keberhasilan fundraising adalah penginvestasian dana pendidikan si anak setelah dikurangi biaya tahun pertama kuliah. Di akhir tahun keempat investasi itu akan menghasilkan hingga 40% dari jumlah dana yang diberikan. “Apabila dijalankan dalam 10 tahun, program ini akan self sustaining, tidak perlu fund lagi, tinggal grow saja,” jelasnya.

Selain dana pendidikan, para sponsor juga diminta untuk mengajak penerima beasiswa menghadiri acara makan siang atau makan malam minimal satu kali dalam enam bulan di tempat yang mereka pilih. Dengan demikian, si anak akan mendapatkan kesempatan untuk membangun network dan mendengar langsung kisah sukses para sponsor. “Kita mencoba untuk mendidik dan mengangkat mereka. Ini sebuah rekayasa masa depan. Skalanya mungkin kecil, tetapi coba untuk menduplikasinya. Don’t quote my name yang penting rekayasa ini jalan,” paparnya.

Menentang Pesimisme Kolektif
Pengalaman tinggal dan belajar di luar negeri diakui Anies berpengaruh pada cara berpikirnya. “Saya merasa dari barat kita bisa mengadopsi teknik manajemen, tetapi value-nya tetap harus dari kita,” ujarnya. Selama tinggal di Amerika Serikat untuk bersekolah ia mengaku tak pernah merasa disconnected dari Indonesia. Selain senantiasa memonitor lewat internet, ia juga aktif dalam diskusi-diskusi dan menjadi pembicara tentang Indonesia di berbagai forum, termasuk dengan komunitas-komunitas lokal. “Saya selalu bangga ketika memberikan presentasi (tentang Indonesia –red),” ungkap Anies.

Walau pernah bekerja sebagai Research Manager di sebuah asosiasi perusahaan elektronik se-dunia untuk mengembangkan desain riset, instrumen survei, analisa data, dan program penulisan report di Chicago, Anies mengaku tak pernah memiliki keinginan untuk bekerja di luar negeri. Saat itu ia bekerja untuk mendapatkan biaya pulang ke Indonesia, bersama istrinya dan anak-anaknya. Walaupun demikian, ia tidak setuju apabila mereka yang memilih untuk bekerja dan hidup di luar negeri dianggap tidak nasionalis. “Anak-anak muda memang harus memiliki mobilitas tinggi. Go ahead, learn as much as you can. Tapi saya memprediksikan one day mereka akan pulang membawa empat hal, yaitu state of the art knowledge, international network, language proficiency, dan capital,” ungkapnya. Ia kemudian memberikan contoh negara-negara yang kini berkembang pesat setelah “menitipkan” dan “mencangkokkan” anak-anak mereka di barat, seperti India, Cina dan Korea.

Menjadi seorang optimis adalah pilihan Anies. Ketika pesimisme kolektif kencang menerjang bangsa ini, ia memilih untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang berbeda dan percaya bahwa Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain, bahkan lebih unggul. “Kita tidak bisa membedakan antara kritis terhadap pemerintah dengan pesimis terhadap bangsa. Kita bisa tumbuh 6.3% dengan korupsi,dan poverty. Bayangkan bila penyakit-penyakit itu ditumpas dan dengan supply energi yang tumbuh, this country is going to grow like crazy. Kalau kita tidak melihatnya seperti itu, kita akan selalu merasa kalah. Sebaliknya, we are winning,” ujarnya optimis.

Comments

Post a Comment

Popular Posts