Malam Minggu, Ular dan Polisi


Baru dua minggu yang lalu, saat sedang nongkrong malam mingguan di sebuah tempat berinisial AC di daerah Kebayoran Baru, seorang teman dengan seutas keputusasaan mengatakan, “Sekarang basi banget ya malem minggu. Dulu kayaknya seru banget. Bisa ada aja kejadian yang aneh-aneh.” Teman-teman yang lain mungkin mengakui bahwa kata-katanya benar, namun terlalu malas untuk bernostalgia. “Yah, kita udah makin tua kali yah. Jam segini aja udah ngantuk,” jawab seorang teman setelah melihat jamnya yang “baru” menunjuk angka 11.

Semakin tua mungkin pilihan kata yang overrated. Usia pertengahan 20-an tentunya belum segitu tuanya. Tapi ya memang benar, keinginan untuk heboh dugem atau gila-gilaan tanpa kejelasan dan menghadapi minggu pagi dengan sakit kepala tidak lagi sebesar dulu, alih-alih dibilang tidak ada sama sekali. Mungkin tua, mungkin juga merasa tidak rela menghabiskan duit kerja keras sendiri untuk sesuatu yang tidak berarti.

Tapi ya ternyata, maksud si teman toh bukan semata-mata clubbing. Bahkan bukan itu sama sekali. Esensinya adalah: dulu kemana-mana selalu bareng, impulsif melakukan sesuatu dan berakhir mendapatkan cerita yang begitu melegenda, hingga ketika diulang untuk yang ke-359 kalinya pun masih terasa lucu. Tanpa rencana, tanpa pertimbangan konsekuensi. Kalau masih beruntung, biasanya akan berakhir dengan cerita yang lucu dan melegenda. Kalau sial? Masuk bui atau kena denda. Ya, tetapi bahkan itupun, dalam 10 tahun ke depan akan menjadi suatu kebodohan yang cukup lucu untuk ditertawakan.



Rutinitas Urban
Berbekal rencana malam minggu paling standar di dunia: makan malam dan nonton bioskop, berangkatlah aku, pacarku dan 3 orang teman ke Grand Indonesia. Nonton di Blitz Megaplex karena belum ada yang pernah nonton di sana. Kasian deh. Tapi ya sudahlah, kami hanya mencoba jadi bagian rutinitas urban di lokasi yang tak kalah urbannya.

Kebiasaan leyeh-leyeh dan tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat membuat kami baru meninggalkan Bintaro pukul 20.45. Film yang kami ingin tonton pukul 21.30. Itu pertunjukan terakhir. Berbekal positive thinking kami berangkat dengan pikiran, “Ah, jam segini, lewat Tanah Kusir lalu arteri PI pasti cepet.” Cepet my ass. Malem minggu di Jakarta kok ngarep enggak macet? Berani taruhan kalau minggu depan rencana serupa diadakan lagi, kami akan tetep berangkat mepet dan berakhir telat. Dan ya, kami memang telat untuk nonton di malam minggu itu.

“Makan aja deh yuk,” usul si teman berperut besar. “Yuk!” yang lain menyahut. Jelas sekali bahwa semua kelaparan. Lalu pertanyaan berikut dan reaksi yang menyambung setelahnya jadi bagian dari “ke-standard-an” malam itu. “Makan apa? Gue sih ngikut aja,” lagi-lagi si perut besar. Itu yang paling enak. Ngikut aja. Pandangan kebingungan pun segera terpancar di mata yang lain. Laper, tapi enggak tahu mau makan apa. Berharap ada ide tidak standard yang muncul di tengah ke-standard-an malam minggu kami. Tiba-tiba itu terjadi. “Makan di Kota aja yuk!” tak disangka out of the blue, salah seorang dari kami menyemburkan ide brilian. Yuk! Kami menghubungi tiga teman lain untuk bergabung.

Kuliner Kota
Pilihan makanan terbaik, menurut si teman yang mengusulkan adalah bubur dan nasi hainan. Cocok denganku. Sudah seminggu lebih aku ingin makan bubur dengan telur pitan. Si teman yang sudah berjasa dengan idenya yang tidak standard itu kemudian menjadi guide. Dengan fasih ia menjelaskan berbagai tempat makan enak di daerah Kota. Bukannya berterimakasih, kami malah menghujaninya dengan pertanyaan, “Kok loe bisa kenal banget sama daerah ini sih? Sering ya ke sini? 1001 atau 36?” Tentunya diakhiri dengan tawa sadis dan si teman yang tersipu-sipu. “Gue suka hunting makanan di sini sama bokap gue,” ujarnya membela diri. Dan suara tawa malah makin keras, “Hahahahahaha.. Enggak mungkin!”

Sebelum si teman makin tersipu, kami telah sampai di tujuan. Bubur Mangga Besar. Dengan semangat kami langsung turun. Aku langsung jatuh cinta pada tempat itu ketika melihat telur-telur pitan serta ayam hainan yang sedang dipotong-potong. My kind of place indeed! Tapi tanpa diduga, si perut besar ternyata merasa kurang cocok. Dia ingin makan sapo. Duh, tadi bilang oke, sekarang enggak setuju. Ah, ini saatnya berjuang. Untung saja lebih banyak suara yang menginginkan untuk makan di situ. Perut besar kalah, tapi dengan semangat malah menjadi “pemimpin” utama pemesanan lauk di sana. Lucu sekali.

Setelah menunggu beberapa waktu ditemani liang teh, jus belimbing, teh jasmine dan es teh manis biasa, akhirnya pesanan kami datang juga. Sebagian memesan bubur dan yang lainnya memilih nasi hainan. Lauk yang terdiri atas ayam rebus, ayam panggang, telur pitan, rempela, telur asin dan sayur asin tampak begitu cantik tertata di atas 3 piring oval. Cantiknya tidak terlalu lama karena dalam 10 detik ke depan sudah habis dicomot oleh kami. Dan hidangan itu benar-benar lezat! Daging ayam yang lembut dan bumbunya terasa hingga ke gigitan terakhir, bubur yang gurih dan penuh dengan suwiran ayam, hingga telur pitan yang rasanya sangat khas, semua lezat! Pantas saja restoran itu selalu penuh. Maka makan malam kami pun bisa dibilang sukses dan tidak standard untuk ukuran kami yang biasanya hanya menghabiskan malam di kawasan Kebayoran.

Ketika makanan sudah habis dilahap. Satu persatu mulai permisi untuk merokok di luar. Tinggal kami yang tidak merokok ditinggal di dalam. Sialan, belum pada bayar kok udah keluar. Aku jadi teringat film Warkop DKI. KTP ditahan karena enggak bisa bayar. Ah, tinggal bikin lagi di kelurahan. Sekalian bikin pas foto yang lebih oke untuk di KTP. Loh kok jadi pesimis? Tak perlu ninggalin KTP karena akhirnya bon itu terbayarkan. Totalnya adalah Rp.348.000,- untuk delapan perut. Kalau makan di Duck King pasti sudah jauh lebih mahal.

Godaan Ular
Puas dengan makan malam, kami kemudian melihat jam. Sudah hampir pukul 00.00, saatnya untuk bertolak kembali ke selatan. Tak jauh dari Bubur Mangga Besar, kami melihat warung yang menyediakan ular! Pacarku memang sudah lama ingin makan ular. Ketika dia pulang ke Indonesia tahun lalu rencana itu tidak terealisasi. Aku memandangnya dan bertanya dengan sedikit khawatir, “Kita udah kenyang banget ‘kan?” Dari wajahnya aku tahu jawabannya adalah “Ya. Tapi aku pingin nyoba.” Maka kami pun menepi.

Di bawah gerobak bertenda yang tergolong sangat mungil dibandingkan warung seafood di sebelahnya, penjual daging ular itu menyambut kami dengan sumringah. Pasti ada penjelasan mengapa si warung seafood punya tenda yang lebih besar dan pengunjung yang lebih banyak. “Ular, Mas?” tanyanya. Rp.50.000,- untuk ular (yang katanya cobra) dengan panjang kurang dari 1 meter. Memang bukan hanya ular yang ia jual, di sana ada juga biawak, bulus (semacam kura-kura) dan kalong. Untung saja ketiga binatang terakhir itu sedang “kosong”. Aku tidak akan tega melihat wajah mereka.

Dari kandang sederhana, seekor ular dikeluarkan oleh si abang. Sial sekali dia. Mungkin ketika ditangkap di Serang, ia sedang bersantai-santai di sawah, mencari tikus untuk makan siang. Eh, sekarang ia yang akan jadi makanan di meja manusia. Manusia yang dengan sadis akan segera memenggal kepalanya. Ugh, aku tidak kuat dengan bayangan akan pemandangan itu. Aku memilih untuk memalingkan muka. Ia mungkin “hanya” ular, tapi bahkan binatang itu pun tidak memilih sendiri takdirnya. Siapa juga yang mau jadi ular?

“Udah, Din,” seorang teman berusaha meyakinkan kalau keadaan sudah “aman”. Perlahan kutolehkan kepala. Si ular sedang berada dalam posisi terbalik supaya darahnya mengucur ke dalam gelas yang sengaja disediakan untuk menampungnya. Oke, pemandangan itu cukup sadis, tapi aku cukup tahan untuk menyaksikannya. Ku pikir si ular sedang dalam perjalanan menuju pintu surga (ya, atau neraka). Tetapi aku salah. Ketika ku sapukan pandangan ke arah kiri, tepatnya ke arah kandang, aku melihat sesuatu yang tak akan mungkin aku lupakan. Kepala ular itu masih bergerak-gerak! Arrrggghhh… Sialaaannnnnnn! “Itu masih bergerak deh kepalanya!!!” teriakku panik. Kukira tidak ada yang menyadarinya selain aku. Dengan santai si abang menjawab, “Iya emang gitu, Neng. Masih bisa gigit tuh. Bahaya.” Ya tentu saja ia akan berusaha sampai titik darah penghabisan untuk memberikan pelajaran bagi pemenggalnya dan siapapun yang hanya menontonnya mati dengan sadis. Dan secara harafiah, memang itu yang sedang terjadi.

Setelah kembali memalingkan muka, aku berusaha menghapus bayangan akan kepala yang masih bergerak-gerak itu. Aku hampir berhasil sebelum aku penasaran apakah si ular sudah dikuliti. Ketika mendengar jawaban “sudah”, aku pun kembali membalik badan. Tapi hanya pemandangan yang lebih parah yang aku dapatkan. Sialaaaaannnnnnnnnnnn!!! Si ular yang (CATAT!) sudah TANPA KULIT sedang digantung di ujung tenda dan menggeliat-geliat. Sungguh, sama sekali bukan pemandangan yang menyenangkan. Manusia memang bisa menjadi mahluk yang sangat sadis.

Memalingkan muka adalah pilihan paling tepat dalam situasi saat itu. Aku bukan pecinta ular, tetapi juga tidak membenci atau jijik pada binatang itu. Pun juga tidak menganggapnya sebagai mahluk jahat perlambang setan dan dunia gelap. Ular punya wajah dan oleh karenanya menjadi semakin sulit untuk melihatnya mati pelan-pelan. Dan ketika pada akhirnya ia telah benar-benar mati (tepat saat sumsum si ular ditarik dari tulang belakangnya), aku pun kembali membalikkan badan. Si abang terlihat sedang memotong-motong dagingnya dan menusuknya dengan lidi menjadi 10 tusuk sate. Berakhirlah si ular yang sangar di atas arang panas, berlumurkan bumbu kacang. Ah, nasib…

Kurang dari 5 menit sate telah habis disantap. Hanya oleh tiga orang; si perut besar, pacarku dan aku sendiri. Atas dasar tuntutan dari diri sendiri untuk selalu mencoba yang belum pernah dilakukan, maka aku paksakan diri untuk menggigit satu daging yang berada di salah satu tusuk itu. Pemandangan sadis yang terjadi sebelumnya terbayang-bayang terus di mataku, tapi kupaksakan saja mulut untuk mengunyah. Betapa inginnya aku bisa langsung menelan daging itu tanpa harus mengunyahnya. Heran juga bagaimana kedua orang lainnya bisa memakan sate itu dengan lahap. Setelah “membilas” mulut dengan segelas aqua kami pun pulang.

Selamat Malam, Mas!
Aku bukan orang yang percaya pertanda, pun ketika kami mampir di POM bensin untuk numpang pipis dan entah bagaimana, bandul kalungku yang berbentuk kunci besar dan terbuat dari besi tiba-tiba patah. Menyebalkan, padahal kalung itu baru saja diberikan oleh sepupuku sebagai hadiah ulang tahun. Kukantongi bagian yang patah dan segera masuk mobil.

Dalam perjalanan mengantarku pulang, kami berlima di dalam satu mobil. Tiga teman lainnya pisah mobil karena arahnya berbeda. Pacarku yang menyetir, si perut besar (pemilik mobil) di sebelahnya dan aku duduk bertiga dengan dua teman lainnya. Kami memilih Fatmawati sebagai rute malam itu. Lalu.. “Apa tuh rame-rame?” tanya salah seorang teman. Mobil dan motor berhenti di kiri jalan dan lampu polisi berkelap-kelip. Razia. Kami tak khawatir. Tak ada minuman keras, ganja ataupun senjata tajam di mobil. Surat-surat pun lengkap. Dalam beberapa menit tentunya kami bisa melanjutkan perjalanan. Itu yang kami kira.

“Malam, Mas,” sapa Pak Polisi. Kami membalas sapanya. “Waduh, rame bener! Abis darimana nih?” tanyanya. Kami membalas dengan senyum malas dan jawaban seadanya, “Malam mingguan, Pak.” SIM dan STNK kemudian diminta. Pacarku menyerahkan SIM nya dan si perut besar memberikan STNK sementara dari Polsek Pondok Aren karena mobilnya masih baru keluar dari dealer.

Tidak berapa lama si polisi kembali, “Bisa turun sebentar, Mas?” Kami saling berpandangan. Apa masalahnya? Pacarku pun turun disusul si perut besar. Ketika nampaknya terjadi sedikit perdebatan dengan para polisi, kedua teman yang lain ikut menyusul keluar. Aku di dalam mobil saja. Jam 1 pagi dan aku di pinggir jalan kena razia bukan pemandangan menarik bila salah seorang anggota keluarga kebetulan lewat. Lamat-lamat kudengar suara di luar semakin meninggi. Seorang polisi dengan kumis melintang dan ber-rompi kuning spotlight nampak berbicara dengan wajah arogan kepada teman-temanku. Dari wajah-wajah kecut mereka ku tahu pasti ada keinginan untuk menyarangkan tinju di kumis melintang si bapak.

Mendengar suara si kumis yang meninggi polisi-polisi yang lain kemudian mendekat. Seorang dari mereka kemudian menetralkan keadaan. Mungkin mulut besar si kumis sering membuat mereka repot. Tak lama kemudian teman-teman dan pacarku masuk kembali ke dalam mobil. “Udah kelar?” tanyaku. Mereka menggeleng tanpa penjelasan. “Lalu?” aku semakin penasaran. “Kita mesti ke Polsek Cilandak, STNK sementara itu bermasalah,” jelas pacarku.



“Dimakan” Polisi
Polsek Cilandak sepi ketika kami tiba. Razia belum selesai, anggota-anggota masih menjalankan tugas. “Sebentar lagi selesai razianya. Sudah dari jam 12 tadi kok,” ungkap seorang polisi muda yang tugas jaga di pos malam itu. Kami pun mengobrol ringan dengan si polisi yang kurang lebih usianya sepantaran dengan kami. “Kita abis makan ular nih, Pak,” ujar pacarku mencairkan suasana. Tak disangka si polisi kemudian berkisah lebih banyak kalau dia sudah sering sekali makan ular, bahkan kura-kura. Dulu sebelum jadi polisi dia adalah anak buah kapal di Sulawesi. Kapal nelayan tepatnya.

Di samping pos terdapat ruang tunggu ber-AC dengan seorang pemuda tanggung di dalamnya. “Ingin menjenguk seseorang yang sedang berada di sel,” pikirku. Kualihkan pandangan ke dalam sel yang berada kurang lebih 7 meter dari pos itu. Ramai sekali. Semua sedang berusaha tidur. Kaki dan kepala saling bersentuhan kalau beruntung bisa rebahan. Sisanya duduk dan mencari posisi paling nyaman. Walau hanya sehari, berada di dalam sana tentunya sangat menyebalkan. Teman-temanku masih berbincang ringan dengan si polisi yang semakin semangat menyombongkan pengalamannya dengan ular.

Sayup-sayup terdengar suara motor dan mobil. Razia sudah selesai. Mendadak Polsek itu ramai dengan bapak-bapak overweight berbaju cokelat. Polisi. Seorang anak, mungkin usianya baru 14 atau 15 tahun, datang ke Polsek dibonceng seorang polisi muda. “Enggak punya SIM nih. STNK juga enggak ada,” ungkap si polisi pada rekannya. Si ABG kemudian disuruh jongkok di pos. Seorang bapak yang kemudian mengenalkan diri sebagai Kapolsek Cilandak menghampiri kami, Tak terlalu tinggi, gemuk dan berada di usia 50-an dengan wajah Sumatera Utara yang obvious. “Makmur” itu nama yang tertempel di seragamnya. “Ada apa, Mas?” tanya si bapak. Dengan sopan si perut besar menjelaskan kalau kami tadi kena razia dengan STNK sementara yang ternyata bermasalah. Padahal itu keluaran dari Polsek Pondok Aren. “Ya, memang enggak boleh itu, Mas. Besok saja urus kemari lagi, bawa dealer-nya. Mobilnya tinggal di sini,” jawabnya singkat. “Besok ngurusnya sama Bapak?” tanya perut besar lagi. “Lah, masa urusan kecil gitu sama saya?” jawabnya dengan nada sedikit mengejek.

Ketika kami pikir Bapak Kapolsek sudah selesai dengan jawabannya, tiba-tiba ia menyambung, “Kamu kok masih muda udah bisa bawa mobil kayak gitu?” Temanku menjawab dengan malu-malu bahwa CRV keluaran terbaru itu milik kantor. Jawaban yang salah karena pembahasan kemudian semakin heboh, “Wah hebat banget kamu! Memangnya di posisi apa kamu?” Jawaban “keuangan” dilontarkan si perut besar. Lagi-lagi salah, ditambah teman-teman yang lain menambahkan bahwa ia adalah “bos”. “Hahahaha.. Jangan-jangan kamu korupsi ya? Jangan sampai duduk di pemerintahan nih, nanti dia korupsi! Hahahahahaha,” ejek si Kapolsek disambut tawa semua orang yang ada di sana. Terutama karena ia melakukannya sambil menepuk-nepuk perut si perut besar. Belum selesai sampai di sana, polisi-polisi lain yang nimbrung tanpa diundang ikut menggoda si perut besar, juga sambil menepuk-nepuk perut buncitnya. Lucu sekali! Temanku hanya bisa diam dan senyum-senyum gondok. Polisi ngomongin korupsi. Itu bagian paling lucu.

Karena masih harus menunggu surat pernyataan penahanan SIM dan mobil dibuat, kami terpaksa menunggu beberapa waktu lagi di sana. Pak Kapolsek kemudian duduk di pos bersama anak-anak buahnya. Dua orang bapak paruh baya berdiri dengan tampang memelas di depan pos. Entah salah apa. Si ABG masih jongkok di pojokan. Kali ini ditemani seorang pemuda tanggung yang terjaring razia untuk alasan yang sangat konyol; ia kebetulan diboncengi seorang teman yang ketika razia kabur setelah dia turun dari boncengan untuk pemeriksaan tas. Teman yang sangat kurang ajar. Wajahnya ketakutan, entah bila hatinya penuh kemarahan terhadap teman yang sengaja meninggalkannya untuk “dimakan” polisi.

Bapak Kapolsek kemudian memanggil si sial yang ditinggal tebengannya. “Kamu masuk tahanan aja ya!” ujarnya (seperti) menggertak. Si pemuda memohon supaya itu tidak terjadi. Tak disangka, ternyata kata-kata Kapolsek bukan gertakan. Si sial semakin sial karena kemudian ia digiring masuk sel untuk bersempit-sempitan dengan yang lain. Padahal kalau dipikir-pikir, tak ada pasal yang ia langgar. Ia turun dari motor dan bekerjasama untuk pemeriksaan. Kebetulan saja ia berteman dengan seseorang yang cukup brengsek untuk meninggalkannya sendirian. Bukankah hukuman itu sudah cukup? Apakah sekarang ada aturan yang mengatakan kita akan masuk penjara karena berteman dengan seseorang yang tidak tahu artinya tanggungjawab?

Setelah pemuda tanggung itu masuk sel, giliran pemuda tanggung lainnya yang dari tadi ada di ruang tunggu untuk menghadap Kapolsek. Loh, ternyata dia punya salah juga. Kami hanya jadi penonton bagaimana anak-anak ini menghadapi konsekuensi tindakannya malam itu. “Ini yang tadi kena patroli ya?” tanya Kapolsek dengan nada suara tinggi. “Iya nih, kayak enggak punya malu aja, mau diisep-isep di pinggir jalan,” jawab seorang polisi dengan suara yang tak kalah keras dan penekanan yang jelas pada kata “isep-isep”. Entah karena apa, polisi-polisi yang lain kemudian semakin seru memakai kata-kata yang tak kalah menjijikkan untuk menggambarkan keadaan ketika anak muda dan pacarnya itu tertangkap patroli sedang melakukan kegiatan seksual di pinggir jalan. Kuakui, anak ini bodoh sekali. Ia melakukannya di depan gedung BRI dan tertangkap lampu patroli karena rupanya berada dalam posisi yang tidak tersembunyi.

“Umur berapa kamu dan pacar kamu?” tanya Kapolsek lagi. Ia menjawab bahwa usianya 17 tahun dan pacarnya baru 16 tahun. Si Kapolsek kemudian dengan (menurutku) kurang bijaksana melanjutkan, “Ngapain kamu mau sama cewek kayak gitu? Kalau dia mau ngisep-ngisep kamu di pinggir jalan ya pasti bukan cewek baik-baik.” Berat rasanya untuk mendengar penghakiman seperti itu dari seorang Kapolsek. Dia seharusnya bisa lebih arif. Si anak perempuan tidak nampak di Polsek. Entah dimana, semoga sudah pulang dijemput orang tuanya.

“Ayo sana kamu push-up dulu 20 kali. Tangan dikepal!” perintah Kapolsek pada si pemuda 17 tahun. Di bawah tiang bendera ia push-up sebagai akibat dari kebodohannya. Hanya 20? Ah, aneh sekali. Jelas-jelas melakukan kegiatan asusila dengan anak di bawah umur di muka umum hanya disuruh push up 20 kali. Sedangkan pemuda yang tadi ditinggal oleh temannya dikirim bermalam di sel. So much for justice.

“Jangan dipukulin nih. Direndam aja terbalik. Kepala di bawah, kaki di atas,” seru seorang polisi sambil melihat si anak. Kupikir ia sedang bicara pada Kapolsek. Tetapi kemudian, setelah push up-nya selesai, kedua bapak dengan tampang memelas di depan pos tadi menyalami para polisi satu-persatu dan ikut berlalu bersama si pemuda 17 tahun. Ternyata itu bapaknya! Waduh waduh… Kalau sudah begini, mendingan bermalam di Polsek atau pulang dijemput orang tua ya? Ketika si pemuda dan orang tuanya pergi, sekali lagi muncul pernyataan kurang arif dari Pak Kapolsek sambil melirik kepada kami,”Yah, biasalah, kaum sudra.” Duh, Pak…

Surat pernyataan penahanan akhirnya jadi. Sudah pukul 03.00. Adik pacarku datang menjemput kami naik sedan dengan seorang temannya. Masalah selanjutnya datang. Kami berlima. Empat pria berbadan besar dan aku, perempuan mungil. Adik pacarku, perempuan, datang bersama temannya yang laki-laki. Untung saja mereka tergolong mungil juga. Akhirnya mobil sedan itu diisi 7 orang. Sempit. Tapi pasti lebih sempit keadaan di dalam sel Polsek Cilandak tadi. Kami sepatutnya bersyukur masih bisa pulang naik mobil, tanpa ditinggal teman, ketahuan berbuat asusila atau dijemput orang tua. Tapi entah kenapa, tiba-tiba terbersit pikiran: SIM pacarku ditahan, mobil si perut besar juga ditahan dan kalungku tiba-tiba patah. Come to think of it, hanya kami bertiga yang makan ular. Memang kebetulan atau sial karena karma pada si ular? Entahlah. Paling tidak kini kami punya stok cerita baru untuk diceritakan hingga ratusan kali.


Comments

  1. hmm.. ular yg dimakan bareng2, gw yakin ga ngerasa kalo dia punya salah juga...heee...
    menurut gw makan ular trus sial, kecil kemungkinannya kecuali makan trus ga bayar ato makan ular orang hasil curian :P
    kalo ga kejadian ga ada yg di ceritain dong.. hehe...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts