Jakarta: Keruwetan yang Mengenyangkan

Kata orang, Jakarta itu keras. Menurut saya, bukan Jakarta, tapi manusianya. Bagaimana tidak, selama hampir 24 jam, manusia Jakarta dikondisikan untuk berjuang. Berjuang dalam banyak konteks. Salah satunya perjuangan untuk bermobilitas dari satu titik ke titik lain. Jakarta memang cenderung tidak ramah dalam soal yang satu ini. Jarak tempuh yang pendek dan seharusnya hanya makan waktu sebentar, jadi panjang dan lama. Jika waktu adalah uang, maka di Jakarta orang setiap hari membuang-buang uangnya. Bayangkan, menurut Marco Kusumawijaya, dalam bukunya Jakarta, Metropolis Tunggang Langgang, dikatakan bahwa kerugian akibat kemacetan pada tahun 2002 diperkirakan Rp 8,258 triliun! Permasalahannya bukan hanya saja terletak pada kemacetan, yang juga menjadi masalah bagi banyak metropolis, namun terutama karena kekacauan manajemen dan kualitas fasilitas transportasi umum.

Mungkin ilustrasi berikut menjadi makanan anda setiap hari sebagai warga Jakarta atau warga komuter dari daerah-daerah di pinggir Jakarta (kita sebut saja manusia Jakarta); di pagi hari, manusia Jakarta berjuang melewati kemacetan ibukota. Bahkan tak jarang dimulai dari detik mereka keluar dari rumah. Ditemani duo penyiar di radio kesayangan yang berlomba-lomba menjadi yang terseru, mie goreng yang dimakan sambil menyetir, rol rambut yang masih menempel di kepala, dan anak tersayang yang masih tertidur di kursi belakang. Tidak lupa kaki yang mati rasa karena menginjak kopling. Kemacetan jadi ritual yang mesti diterima dengan lapang dada. Atau dihadapi dengan caci maki kering makna bagi yang sudah hampir gila karena ritual itu. Sore hari, rimba yang sama harus dilalui kembali. Kali ini dengan duo penyiar yang berbeda. Tidak ada mie goreng dan rol rambut, namun dengan mati rasa yang sama. Di kaki, dan mungkin juga di hati. Kemacetan jadi sarapan, makan siang, dan makan malamnya manusia Jakarta. Kenyang!

Kemacetan di Jakarta adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Banyak yang kemudian memilih naik motor, dengan pertimbangan kegesitan yang jauh melampaui mobil. Gesit dalam arti: bisa nyelip diantara dua mobil, bisa lewat trotoar bila macet (sambil marah-marah pada pejalan kaki dan mengutuki PKL yang ada di trotoar), bahkan menyeberang di atas jembatan penyeberangan, sambil mengangkut dua orang dewasa dan tiga anak kecil. Aksi pengendara motor di Jakarta tidak jauh berbeda dengan motor-motor tong setan di pasar malam! Dan para produsen motor dengan jeli melihat kesempatan ini. Maka orang-orang didorong untuk dapat mengkredit motor dengan syarat mudah. Hanya dengan setoran pertama Rp 300.000,-, orang bisa melenggang dengan motor bebek baru. Tak heran jika jumlah motor membludak. Dan kemacetan jadi sesuatu yang juga mengenyangkan para pengendara motor.

Bagaimana dengan transportasi umum? Semua sudah tahu kalau transportasi umum adalah salah satu kunci bagi Jakarta yang bebas macet. Tapi lihat kondisi angkutan umum kita. Tidak terurus, rawan, tidak disiplin, dan jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan yang mesti terangkut. Trans Jakarta adalah pengecualian. Walau pada jam-jam tertentu, naik Trans Jakarta pun bisa menyebalkan, namun angkutan itu adalah kemewahan bagi banyak orang. Pakai AC, pengemudi berjas necis, tidak kena macet (kecuali ada armada yang mogok di tengah rute), tidak pakai anak-anak sekolah tawuran, rampok atau mantan napi, dengan bekas luka tusuk di perut dan tato buatan sendiri di sekujur tubuh, yang minta seribuan karena tidak bisa cari kerja. Bagi sebagian besar warga Jakarta, angkutan umum dengan kondisi busuk adalah sesuatu yang harus diterima. Bagaimana kondisi yang seperti ini tidak membuat manusia Jakarta jadi keras? Semua berlomba-lomba menyelamatkan diri sendiri. Senyum dan sapa pun jadi sesuatu yang mahal.

Jangan lupakan nasib para pejalan kaki. Anda tentunya pernah nonton Sex and The City. Saya iri pada Carrie. Dengan pakaian yang sangat gaya dan rambut melambai genit, ia bisa melenggang, berjalan kaki, sendirian di malam hari, setelah pulang clubbing di club paling happening di metropolis New York. Entah hanya di TV, atau memang begitu yang sesungguhnya terjadi, namun hal seperti itu hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi di metropolis Jakarta. Dengan segala kerawanan yang ada, Carrie akan seperti cacing umpan di kail, yang menggeliat-geliat minta dimangsa oleh ikan di kolam pemancingan. Dan lagi, kita memang tidak terbiasa berjalan kaki.

Tidak seperti masyarakat di negara-negara lain, budaya jalan kaki memang belum akrab dengan masyarakat kita. Padahal budaya berjalan kaki adalah sesuatu yang luar biasa positif. Untuk kesehatan pelakunya dan juga bagi lingkungan, tentunya. Namun di Jakarta, bukan hanya kerawanan yang jadi masalah. Selain udara, yang lebih sering panas menggigit, daripada sejuk menyegarkan, trotoar, yang notabene “hak” nya pejalalan kaki, seringkali disalahgunakan. Trotoar yang lebarnya seadanya, seringkali dijadikan tempat usaha, atau jalur pengendara motor. Maka pejalan kaki jadi tamu di rumahnya sendiri. Dan hal tersebut tidak lagi dianggap luar biasa. Seperti kemacetan, ketidakberesan transportasi umum, dan mantan napi yang tidak bisa cari kerja, semua diterima apa adanya.

Ya, lama kelamaan kita jadi mati rasa. Jadi apatis. Bodo amat. Emang Gue Pikirin (alias EGP, terminologi jadul untuk so what??). Menyeramkan, kita jadi manusia-manusia keras yang apatis. Pada akhirnya kita memang menjadi letih, terus-menerus mempertanyakan, kemana kiranya hak yang seharusnya kita dapatkan? Hak sebagai warga negara dan warga Jakarta untuk dapat hidup dengan aman dan nyaman. Kita telah jadi manusia-manusia yang terlalu letih untuk berjuang karena telah selalu berjuang melewati ritual-ritual yang seharusnya tidak membutuhkan perjuangan.

Ya, siapa juga yang mau jadi gila karena terus-menerus memikirkan permasalahan transportasi di Jakarta tercinta, jika masih ada (terlalu banyak) persoalan perut yang harus dipikirkan terlebih dahulu. Pun kemarahan terus-menerus pada pemerintah, atas kekacauan manajemen, dan keparsialan penanggungan masalah, tak ayal akan membuat siapapun tertekan. Pada akhirnya kita akan membentuk sendiri mekanisme di dalam diri kita untuk dapat menerima semua ketidakberesan yang ada. Ada hal yang tidak kita pikirkan, dan ada hal yang kita pikirkan mati-matian. Keruwetan ibu kota, yang jadi makanan setiap hari bagi warga Jakarta, tidak lagi jadi sesuatu yang dipikirkan. Kita telah menganggapnya sebagai bagian dari keseharian dan bukan lagi sesuatu yang perlu diperjuangkan. Perjuangan dilakukan untuk, dengan selamat, melewati semua keruwetan itu.

Akhirnya kegiatan untuk bermobilitas jadi rutinitas semata. Kegiatan yang seharusnya memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan sesama warga kota (Jakarta), dan melenturkan kekakuan antar individu, sebaliknya membuat kita terkurung dalam ketidaknyamanan dan individualitas semata, karena ketakutan yang beralasan dan tenaga yang memang sudah tak ada. Tidakkah itu menyedihkan?

Tidak bisa tidak, kita butuh suatu penanggulangan masalah transportasi yang menyeluruh. Jika tidak, kita akan jadi manusia-manusia kota yang keras, dengan ketidakpedulian (semakin) tinggi terhadap lingkungan sekitar kita. Permasalahan transportasi yang dihadapi Jakarta telah begitu akut dan menyebar, sehingga tidak mungkin lagi ditanggulangi secara parsial. Kemacetan lahir dari tingginya angka penggunaan mobil pribadi. Dan anehnya, jalan keluar yang diambil adalah melebarkan jalan serta menambah ruas jalan, daripada memperbaiki kualitas transportasi umum. Ini tidak menyelesaikan masalah, karena kita semakin didorong untuk menggunakan kendaraan pribadi, dan membuat kita semakin terkungkung oleh “dinding” yang dibangun kendaraan pribadi dengan kota yang kita diami. Saya percaya bahwa kuncinya adalah manajemen transportasi umum yang tepat. Kita perlu sistem transportasi umum yang menyeluruh dengan komponen yang saling mendukung. Kita harus terbiasa menggunakan fasilitas umum dengan maksimal. Dan yang demikian hanya dapat terjadi apabila fasilitas tersebut cukup aman dan nyaman untuk dipergunakan secara maksimal.

Maka sesungguhnya, tanggungjawab atas metropolis Jakarta yang tertib dan nyaman ada di pundak setiap manusia Jakarta. Dan manusia Jakarta berarti para pengambil keputusan, semua yang kena macet di pagi dan sore hari, semua yang berdesak-desakan di dalam Metro Mini atau KRL, semua yang bertato, semua yang punya bekas luka tusuk, dan yang tidak punya pekerjaan, para PKL, dan semua yang semata meminjam ruang di metropolis Jakarta untuk berkembang sebagai manusia. Pendeknya, saya, anda, dan mereka. Kita punya tanggungjawab untuk tidak melupakan dan mengingatkan mereka yang telah lupa, bahwa kita punya hak untuk mendapatkan Jakarta yang aman dan nyaman. Jakarta dengan fasilitas transportasi umum yang bisa dibanggakan dan melenturkan kekakuan antar manusia Jakarta yang telah terkotak-kotak oleh tembok-tembok tak kasat mata.

Maka mungkin suatu hari nanti, Jakarta jadi metropolis yang tertib, nyaman, dan terlebih, ramah. Karena para manusianya jadi punya waktu untuk saling menyapa dan melempar senyum, tanpa rasa takut dan kecurigaan yang beralasan.

Comments

Popular Posts