We Speak the Same Language

One of the biggest tragedies in this century is undoubtedly the tsunami wave that hit Asia in the final days of 2004. The aftermath was gruesome. The death toll was horrific. Too many people lost their loved ones, homes and, basically, their whole way of living. It was a global disaster and people cried for the loss of people that lived miles away, even continents away. It brought the whole world together. I cried for their lost but I also shed a tear of relief for the rise of humanity. We speak the same language when it comes to pain. And we also speak the same language of happiness and love. Your tear is my tear and your smile is my smile. It doesn't matter if we don't speak the same language or live the same way of living. It should not even matter. Ever.

Indonesiaku Menangis

Maka runtuhlah hati
Kesombongan dan bangga diri
Saudara-saudara terbujur kaku dan tidak lagi hangat
Badai besar dan guncangan bumi
Tak ada yang tersisa
Hanya tangis dan doa
Bagi mereka yang telah terbujur
Dan tiada kabar
Hilang ditelan laut
Atau terkubur diantara puing-puing

Maka runtuhlah garda
Kamu tidak lagi kamu
Dan aku tidak lagi aku
Di saat ini aku dan kamu adalah satu
Saat kamu menangis, hati ku ikut hancur
Tidak ada doa yang tidak untukmu
Permohonan untuk ketabahan dan kekuatan
Allah Yang Maha Baik tidak tidur
Kasih yang sejati tidak akan diam

Maka runtuhlah amarah
Kau saudaraku
Tanpa terkecuali
Di saat ini merah putih diuji
Anak bangsa tidak terkecuali
Selamanya kita satu
Tidak ada yang terpenting selain rasa yang satu
Selamanya kita serasa, walau tak selalu sebahasa
Kamu tidak sendiri
Sungguh, saat kau menangis, air mata ku pun luruh

Maka runtuhlah semua kehebatan
Manusia sungguh kecil dan tak sedikitpun berkuasa
Tapi saat ini
Di saat yang pilu ini
Bahkan pasir yang sebutir itu dapat menjadi berarti
Saat air mata tertumpah dan tangan terulur tulus
Manusia menjadi berarti
Paling tidak, garda amarah dan kehebatan tak lagi ada
Kamu saudaraku dan tidak ada yang lebih penting

Andini
29 Desember 2004