Layar Terkembang
Sulit rasanya mengakui bahwa saya baru saja mulai membaca Layar Terkembang. Sebagai orang yang mengaku mencintai sastra Indonesia, hal ini sangat memalukan. Sebagai upaya bela diri termudah, saya akan menyalahkan sistem pendidikan kita karena tidak mengharuskan anak-anak Indonesia membaca karya sastra terbaik anak bangsa sedari dini.
Kalau mau lebih jujur lagi, Layar Terkembang adalah buku pertama dari Sutan Takdir Alisjahbana yang saya baca. Dari sekian banyak judul buku yang ditulisnya, buku-buku yang masuk sebagai "buku wajib baca dalam khasanah sastra Indonesia", saya baru akan mulai membaca salah satunya. Bukankah hal ini sangat memalukan?
Dari sebagian kecil yang sudah saya baca, Layar Terkembang menghembuskan semangat feminisme yang kuat berbalut setting cerita di masa pergerakan pemuda menuju kemerdekaan. Bukan ingin sok feminis, tapi membaca buku yang demikian ini membuat mata terbuka tentang betapa berbedanya masa yang dulu dan kini dalam hal peran perempuan di masyarakat, di mata masyarakat, serta di mata perempuan itu sendiri. Saya berkaca dari teman-teman perempuan dan diri sendiri. Kami adalah generasi yang baru. Kita adalah generasi yang berbeda. Peran mereka yang terdahulu tentu luar biasa untuk segala yang dapat kita lakukan dan nikmati hari ini.
Lebih dari soal-soal perempuan, Layar Terkembang adalah buku yang sangat sesuai dengan minat dan selera saya. Sebagai pembaca sastra Indonesia, saya selalu tertarik kepada buku-buku yang memiliki setting pra-kemerdekaan RI, di mana nasionalisme lekat membalut jalan cerita dan keadaan fisik Indonesia di masa lalu jelas tergambar lewat kata serta tata kalimat yang sangat berbeda dengan buku-buku masa kini. Buku-buku yang membuat saya jatuh cinta biasanya dilahirkan oleh sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan angkatan '50-'60an.
Pengakuan selanjutnya adalah bahwa seringkali saya merasakan kesulitan ketika memahami apa yang sesungguhnya dimaksudkan Sutan Takdir Alisjahbana dalam buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 itu, karena perbedaan susunan kalimat dan pilihan kata dari yang biasa kita pergunakan dewasa ini. Meski demikian, itu lah yang membuat saya sangat tertarik kepada buku ini. Tantangan ini menyenangkan dan sudah lama tidak saya rasakan.
Apakah Anda sudah membaca Layar Terkembang? Apa pendapat Anda tentang buku ini? Apakah buku sastra Indonesia favorit Anda?
Saya akan menuliskan lebih lanjut tentang buku ini pabila sudah selesai membacanya. Semoga tidak lama lagi!
Tabik!
Comments
Post a Comment