Saya vs Jakarta: 0 - 1

Hari ke-4 berada di Ibukota Jakarta. Jalan-jalan raya dan pemakainya sungguh sudah di luar kewajaran. Dua tahun yang lalu saya masih mengendarai mobil kemana-mana, menyetir sendiri. Sekarang saya tidak punya nyali. 

Pilu rasanya melihat bakal jalan layang yang akan melintasi Jalan Antasari, Jakarta Selatan. Tidak ada lagi pohon-pohon besar atau jalan yang teduh. Sebentar lagi hanya gelap karena bangunan raksasa tak sedap dipandang mata yang menutupi area itu. Tak habis pikir mengapa jalan layang yang jadi jalan keluar.

Ngeri rasanya melihat cara manusia-manusia Jakarta mengendalikan kendaraan mereka. Tidak ada lagi belas kasihan atau rasa malu. Menyerobot itu biasa. Jika tidak menindas, kita akan ditindas. Semua orang terburu-buru, memberi jalan rasanya tabu.

Saya tidak bermaksud jadi kacang lupa kulit. Saya lahir dan besar di Jakarta. Saya masih bicara bahasa Indonesia, makan nasi dan suka sambal terasi. Tetapi hidup di Jakarta kini terasa seperti upacara kremasi bagi diri sendiri. Fisik dan batin sama-sama perlahan mati. Terbakar lalu jadi abu. Berlalu. Hingga datang manusia-manusia baru.

Saya tidak punya nyali menyetir di Ibukota. Dan mungkin juga nyali untuk tinggal kembali di Ibukota.

Comments

  1. saat di tanah rantau setahun penuh saya rindu sekali dengan indonesia.terbayang semua keramahtamahan,bau makanan khas,dan segalanya yang sangat nyaman... begitu sampai di soekarno hatta,rasa itu seperti lenyap "inikah rumah yang dirindukan?"-marsha,melbourne.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts