Papua dan Petualangan Mata Air Asin



Di tengah jalan cepat di atas treadmill tadi pagi, dengan nafas yang satu-satu dan jantung yang berdebar kencang, saya terhisap ke dalam satu momen. Momen di mana saya juga kehabisan nafas dan lebih dari itu merasa yakin saya akan mati bila terus memaksakan diri. Tapi saya tidak mati, malah berhasil mencapai apa yang saya tuju ketika itu. 


Momen itu terjadi di tahun 2006. Saya bertekad mencapai puncak sebuah bukit di Wamena, Papua, karena menurut berita yang beredar, sebuah mata air asin ada di atas sana. Tentu, ini terjadi ketika saya masih bekerja untuk majalah wisata domestik yang satu itu. Di masa-masa itu saya tidak pernah berolahraga dan saya melahap apapun yang terlihat di depan mata. Ketika sebelumnya diberitahu oleh sang pemandu jalan bahwa akan ada "sedikit" tanjakan, maka sungguh-sungguh berpikir bahwa tanjakannya hanya sedikit. Kenyataannya? Tentu sama sekali tidak seperti itu!

Sang pemandu jalan tak lain adalah remaja setempat yang saat itu kebetulan sedang lewat dan bersedia ketika saya meminta jasanya untuk memandu kami (saya dan Donovan, fotografer) ke mata air. Anak laki-laki itu memakai celana pendek dan sandal jepit. Saya siap dengan sepatu trekking, ransel dan sebotol air. Lalu dimulailah perjalanan itu. Si pemandu dengan sigap melangkah dari satu batu ke batu lain dalam keadaan menanjak. Saya berusaha mengikuti. Awalnya bisa, lalu saya mulai terpeleset-peleset karena ketika itu hujan baru saja turun dan semuanya licin. Saya merasa sungguh lemah.

Setiap kali saya tanya seberapa jauh perjalanan yang masih harus kami tempuh, pemandu tercinta hanya berkata, "Sudah dekat. Nanti di depan kita belok kanan, lalu kiri, lalu kanan lagi dan sampai mata air." Itu jawabannya setiap kali saya bertanya. Lima menit sekali. Anehnya, apa yang dimaksud dengan dekat adalah jauh, karena belokan kanan pertama saja tidak kunjung kami temui. Boro-boro yang belok kiri lalu kanan lagi. Saya sampai sempat berpikir bahwa kami tidak akan pernah sampai ke mata air itu dan akhirnya harus bermalam di bukit itu, kehausan dan hampir mati. Berlebihan ya? Coba saja dulu naik mencapai mata air itu.

Di sepanjang perjalanan itu saya terus bersumpah serapah dalam hati. Bukan, bukan karena jauh dan terjalnya perjalanan itu, tetapi karena saya yang tidak pernah olahraga dan pemalas. Di tengah perlawanan terhadap rasa ingin menyerah, kami bertemu beberapa penduduk lokal. Di antaranya adalah seorang kakek yang juga hanya memakai sandal jepit dan sedang dalam perjalanan menuruni bukit dan seorang ibu tua yang membawa batu-batu di kepalanya. Mereka menyapa kami dengan riang. Tak ada jejak-jejak nafas tersengal atau muka yang keletihan. Tepat di saat itu saya malu sendiri. Mengapa saya berkeluh-kesah? Seharusnya saya bersyukur karena diberi kesempatan berada di sana dan terenggut dari kenyaman yang jujur saja semakin lama semakin bikin manja. Oh ya, dan semua yang kami temui selalu mengucapkan kalimat, "Mata air? Sudah dekat. Hanya sedikit lagi!" Dan tentu, dekatnya saya dan dekatnya orang lokal berbeda jauh. Jauh sekali.


Ketika akhirnya kami tiba di atas, hampir 3 jam kemudian, ada kebahagiaan yang tidak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Kebahagiaan ini muncul dari rasa bangga terhadap diri sendiri yang rasanya baru saja memenangkan sebuah lomba. Tetapi lebih dari itu, juga karena saya tidak menyerah. Saya terus saja melangkahkan kaki (juga terpeleset dan terjerembab) walaupun dengan mudah saya dapat memutuskan untuk berhenti, berbalik arah dan mencari cerita lain untuk ditulis di majalah tempat saya bekerja. Bisa jadi itu adalah salah satu prestasi terbaik saya seumur hidup. Menyedihkan? Sedikit.

Mata air di puncak bukit itu tidak terlihat istimewa. Diameternya kecil dan terlihat layaknya sebuah kolam biasa. Luar biasanya adalah bagaimana di atas sebuah bukit terdapat mata air asin dan bagaimana setiap hari penduduk setempat naik dan turun dengan jerigen-jerigen air demi memenuhi kebutuhan mereka akan garam. Luar biasa bukan apa yang dapat dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya? Ketika itu saya baru benar-benar menyadari bahwa apa yang bagi saya terasa sederhana dan mungkin tidak berarti bisa jadi sangat berharga bagi orang lain.


Setelah mendaki selama hampir 3 jam, kami hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk mengambil foto dan merasakan asinnya air itu. Perjalanan menuruni bukit tidak sesulit dan seberat menaikinya. Entah bagaimana saya juga lebih lincah memilih pijakan, alhasil berkurang episode-episode tergelincirnya. Lumayanlah, pemandu tercinta pasti sedikit bangga ketika itu.

Saya mungkin tidak akan pernah lagi melihat mata air itu. Juga tidak ingin kembali ke sana. Tetapi saya sungguh ingin kembali ke Papua dan membiarkan diri saya ditantang lagi.

Tulisan lain tentang Papua bisa Anda baca di sini: Papua 101

Comments

  1. you should take your husband to Papua, Din :D
    supaya dia ngerti why i want BP to stay away from my forests and oceans in Papua hehehehe

    ReplyDelete
  2. We will go there someday, Mba. And he'll love that island! :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts