Menjadi Indonesia

Tepat satu minggu yang lalu, si suami pulang kantor dengan muka ditekuk. Begitu sampai pintu rumah ia langsung mengeluarkan rokok dan membakarnya. Aku menunggu. Biasanya ia akan berbicara tentang ada apa gerangan. Dan benar saja. "I feel irritated," ujarnya. Entah mengapa dia memakai bahasa Inggris. Saya lalu jadi ikut-ikutan, "What happened?"

Si Suami bekerja di salah satu perusahaan minyak di Houston. Minggu lalu dia mengikuti training yang diberikan oleh seorang ahli berkebangsaan Amerika. Hanya si suami seorang yang berkebangsaan Indonesia. Ketika seluruh peserta training diberi tugas untuk menyelesaikan sebuah kasus, si trainer berkeliling ruangan dan menceritakan berbagai pengalamannya selama bekerja di bidang perminyakan. Lalu sampailah ia kepada cerita tentang pengalamannya ketika dikirim bekerja di Indonesia.

Nampaknya si suami kurang terlihat Indonesia atau memang trainer tersebut kurang perhatian, karena kemudian mengalirlah cerita-cerita kurang sedap tentang Indonesia dari mulut si pelatih ini. Cerita-cerita ini semua pada dasarnya memang benar-benar terjadi. Sebagai seorang ekspatriat yang dikirim ke Jakarta, si pelatih ini ditantang dengan berbagai kendala, mulai dari anjingnya yang dikarantina begitu lama karena dianggap "kotor", hingga berbagai permasalahan birokrasi yang itu-itu lagi, itu-itu lagi. Tentu, ada cerita tentang pegawai imigrasi yang dengan senang hati melupakan masalah yang dibuat-buatnya sendiri ketika akhirnya si trainer menawarkan "jalan damai". Lalu, kata suami saya, "Dia kemudian menirukan cara si petugas imigrasi mengucapkan terima kasih, "Terima kasih, Bapak."."

Setelah selesai "berkicau" tentang pengalamannya di Indonesia, si pelatih membalik badan dan melihat si suami yang sedang pura-pura sibuk mengerjakan tugas yang diberikan. Si suami sudah selesai dari tadi. Dia terlalu pintar untuk selesai belakangan. Haha. "Where are you from, Aris?" tanya si pelatih. Si suami menjawab, "Indonesia." Mendadak ada keheningan yang menggantung. Awkward silence, bahasa Inggrisnya. "You heard everything that I said before?" tanyanya dengan nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan. "Oh yes I did. I heard everything," ujar suami pendek. "I hope you're not offended by anything I said, Aris," ujar si pelatih. Semakin panik. Bukan apa-apa, secara profesional, orang ini sudah melanggar code of conduct dari perusahaan tempat si suami bekerja. Pembicaraannya di depan umum menyangkut SARA dan hal ini sama sekali tidak dibenarkan. Ada hukum yang mengatakan bahwa ia dapat dituntut dengan melakukan hal ini di tempat kerja. Suami menjawab, "Nope, I'm not offended." Dan selanjutnya suami bercerita kalau orang itu berusaha bersikap sangat ramah padanya. Terlanjur, suami sudah terlanjur tersentil.

"Aku bukannya offended. Aku enggak marah sama orang itu. Tapi aku merasa sedih," si suami melanjutkan ceritanya. Kami bicara panjang malam itu. Bicara tentang Indonesia. Bicara tentang rasa tidak berdaya. Bicara tentang hal-hal yang dibicarakan si pelatih. Bicara tentang melihat negara itu dari luar. Kami bicara tentang Indonesia dan bagaimana ternyata kami masih mencintai negara itu. Kami bicara tentang menjadi orang Indonesia.

"Mungkin ini cara Tuhan menegur aku ya?" tanyanya. Saya kemudian meminta dia menjelaskan. "Iya, aku mungkin sudah lupa bahwa aku itu orang Indonesia. Aku belum berhasil nunjukin bahwa aku jauh lebih baik dari semua cerita-cerita itu. Mungkin sudah keenakan aku tinggal di sini. Mungkin aku sudah lupa," ujarnya. Saya merasa ia terlalu keras pada dirinya. Tapi kemudian ia melanjutkan, "Mau seperti apapun negara itu, tetap saja aku lahir dan besar di sana. Mau sepintar apapun aku bicara bahasa Inggris, aku tetap lebih fasih bicara bahasa Indonesia. Bapak ibuku orang Indonesia. Aku orang Indonesia. Aku sedih sama keadaan yang ada, tapi aku cinta sama negara itu." Saya mengerti perasaan itu.

Baru kali ini saya mengerti rasanya jadi kaum minoritas. Benar-benar mengerti. Hidup di negara orang, mengikuti aturan-aturan yang baru dan kadang terasa sungguh asing, menjadi terasing di tengah wajah-wajah yang begitu asing, makanan-makanan yang asing, cuaca yang asing. Di tengah keterasingan ini, saya (dan mungkin hanya saya) jadi semakin mengerti mengapa saya mencintai Indonesia. Tentu, tentu saja saya tidak memungkiri semua kebusukan, kekacauan dan ketidakteraturan yang tersedia 24 jam di Indonesia, tetapi saya juga tidak bisa memungkiri bahwa rumah saya ada di sana. Hati saya ada di sana. Sentimentil? Terlalu sentimentil? Maafkan, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menjadi sentimentil.

Tadi malam seorang teman bercerita lewat Yahoo Messenger tentang rapat paripurna DPR yang berubah kacau balau. Di ruang rapat berisi dewan rakyat yang terhormat, terjadi caci maki dan hujan interupsi. Perkelahian antar anggota DPR terjadi di depan mata rakyat lewat siaran langsung salah satu TV swasta. Ya, wakil rakyat berkelahi di muka penonton televisi, kasus-kasus masih bisa dijual beli, hutan-hutan kita yang berharga masih terus ditebangi, oknum-oknum di pintu-pintu masuk negara masih saja mengintimidasi. Semua terjadi di depan mata. Tapi entah mengapa saya masih ingin pulang. Saya tidak ingin selamanya ada di sini.

Comments

  1. I share your sentiments 100%, mbak Andini.

    Saya juga tinggal di luar sejak 5 tahun lalu, setiap tahun tambah kangen Indonesia, tp juga prihatin, dari Indonesia seringnya dengar kabar-kabar tidak mengenakkan terus.

    Salut sama mbak Andini dan suami, karena masih cinta indonesia meskipun sudah merasakan kemudahan hidup di luar Indonesia.
    Setidaknya di negeri sendiri kita enggak akan jadi minoritas ya mbak.

    Saya baru menyadari perasaan sebagai minoritas setelah 2 tahun, jadi agak telat. Ketika sudah siap memanggil negara baru sebagai rumah, tiba-tiba, datang itu yg namanya nasty surprises. Mbak beruntung sekali bisa menyadarinya lebih awal.

    msg yahoo saya vigor_eyes, feel free to say hello anytime.

    ps: saya cinta anjing dan alam juga. Terutama anjing St. Bernard :-)

    ReplyDelete
  2. Mbak Anin, terimakasih sudah mampir dan menyempatkan untuk membaca. Segala perasaan ini baru muncul ketika saya jauh dari Indonesia. Dengan segala kemudahan yang ada, ternyata yang namanya Tanah Air tetap satu-satunya tempat untuk pulang, meski carut-marut. Hehehe.. Saya add ya YM nya, Mbak.

    ReplyDelete
  3. wah mbak andini blognya keren banget ya..no wonder kalo ari sampe terkagum-kagum..

    ReplyDelete
  4. @Dayu: Wah, ini Mba Made nya Ari ya? Salam kenal! :) Terima kasih sudah mengunjungi blog ku. Blog Fatihah Tao nya juga menggemaskan sekali! Terus menulis yah.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts