Kecantikan (Tidak) Datang dari Dalam Diri


Banyak hal yang perempuan lakukan untuk memastikan ia tampil luar biasa. Tentu, keluarbiasaan adalah sesuatu yang selamanya subjektif.

Datang ke salon sendirian kemarin untuk memotong rambut membuat saya bebas memperhatikan. Salon yang saya pilih terletak di PIM 2. Cukup terkenal, cukup mahal. Karena itulah saya jarang sekali ke salon untuk potong rambut, kalau tidak butuh sekali. Dan kemarin saya butuh sekali, karena ibu saya sudah mulai mengeluarkan jurus sindir paling mutakhir untuk membuat saya memotong rambut setelah 4 bulan sama sekali tidak tersentuh tangan-tangan pekerja salon. "Rambut kamu tipis amat sih? Bagian bawahnya kurus gitu. Enggak sehat deh. Kayak anak kebanyakan main di matahari," ujarnya santai sambil memegang-megang rambut saya. Lumayan menohok. Maka saya pun pergi ke salon.

Di tengah menunggu giliran dilayani, saya memperhatikan para pekerja salon yang berbanding lurus jumlah pegawai laki-laki dan perempuannya. Lalu saya teringat sebuah salon amat sederhana di dekat rumah eyang saya di Cinere. Nama salonnya: Emon. Diambil dari nama si pemilik. Pekerja salon hanya 2 orang. Si Emon dan satu orang asisten. Hanya dengan Rp.15.000,- seorang pelanggan sudah mendapatkan potongan rambut ala Krisdayanti atau Bunga Citra Lestari yang miring-miring itu, langsung dari Emon sendiri, si top stylist di Salon Emon. Salon saya kemarin mematok harga sepuluh kali lipat dari Emon untuk stylist termurahnya. Saya pilih yang termurah tentunya.

Di sebelah saya ada seorang perempuan muda yang sedang mendapat perawatan creambath, sekaligus back massage. Kalau tidak salah lihat, harga perawatan ini lebih dari Rp.100.000,-. Kembali pikiran saya terbang ke tempat lain, ke salon di depan kompleks rumah saya, namanya "Kenes". Cukup Rp.25.000,- saja untuk creambath. Itu sudah termasuk pijat punggung dan tangan.

Tak lama setelah saya mendapat giliran untuk dilayani, masuk seorang ibu paruh baya yang penampilannya stylish luar biasa. Ia datang untuk di-facial. Saya tidak tahu harga facial di salon itu. Pastinya tidak mungkin lebih murah dari creambath. Menurut saya wajah ibu itu sempurna. Kulitnya, meski sudah menunjukkan tanda-tanda usia lanjut, tetap cerah dan halus. Proporsi wajah sempurna. Hidung bangir, mata besar dan teduh, bibirnya tipis, namun tanpa keriput di sekitarnya. Melihat perempuan itu saya teringat pada sebuah investigasi yang dilakukan salah satu stasiun televisi beberapa tahun lalu terhadap praktek-praktek kecantikan murah di Indonesia, mulai dari produk-produk kecantikan palsu yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya, hingga upaya untuk "menyempurnakan" wajah oleh seseorang yang mengaku ahli kecantikan. Perempuan-perempuan yang ingin mendapatkan hidung mancung atau dagu lancip kemudian melalui sebuah "prosedur bedah" yang sama sekali tidak layak. Sepotong plastik buatan pabrik yang dibentuk sendiri oleh si ahli kecantikan agar muat di hidung atau dagu lalu dimasukkan begitu saja lewat prosedur yang membuat ngilu dan dilakukan di dalam rumah kontrakan sederhana dengan lampu remang-remang. Belum lagi penyuntikan silikon pabrik ke bagian-bagian wajah yang ingin dibuat terlihat lebih istimewa. Biayanya tentu super murah dibandingkan datang ke ahli bedah plastik sesungguhnya. Hasilnya pun jauh dari mereka yang mampu bayar mahal.

Kembali ke salon saya yang mahalnya keterlaluan, setelah ibu cantik tadi berlalu, saya menenggelamkan diri pada sebuah majalah perempuan tentang gaya hidup. Dari depan ke belakang majalah ini hanya berceloteh tentang produk-produk kecantikan, fashion dan cara mengambil hati laki-laki. Foto perempuan-perempuan berkulit halus, penuh makeup, rambut berkilauan, tubuh ramping dan kaki jenjang bertebaran dari halaman pertama hingga ke dua ratus berapa. Tentunya bukan hanya majalah, TV pun melakukan hal yang sama. Lucunya, media-media yang sama juga berkoar-koar soal "kecantikan datangnya dari dalam diri". Termasuk dan terutama ketika kontes kecantikan berskala nasional atau bahkan internasional disiarkan di TV, kemudian 3B dibangga-banggakan; Brain Beauty Behaviour. Upaya cuci tangan yang kutu kupret, kalau menurut saya.

Pertanyaannya adalah mengapa perempuan ingin tampil cantik dan terus mempercantik diri? Untuk diri sendirikah atau orang lain? Karena keinginan yang datang dari diri sendiri, atau karena keharusan yang sebenarnya tidak ada? Kadang-kadang saya merasa semua kehebohan tentang kecantikan dan ritual mempercantik diri adalah masalah kompetisi semata. Seperti ayah saya yang dulu kalau menyetir tidak mau berada di belakang mobil lain, sehingga terus-menerus saja berupaya menyusul kendaraan di depannya, saya rasa kadang perempuan melakukan hal yang sama. Masa iya, BMW (meskipun keluaran tahun 1978) mau sabar saja di belakang bajaj?


Comments

  1. ayah dipeluk dan digigit anakOctober 2, 2009 at 6:27 PM

    Ini pengalaman sekitar.
    Liat tulisan gue di sini deh.
    http://akumassa.org/kontribusi/pasar-minggu-jakarta-selatan/pada-hari-minggu-ku-ke-pasar-minggu/#more-2354

    nyoba nulis tentang sekitar juga.

    ReplyDelete
  2. Posting loe di web itu keren.. Itu web apa sih sebenernya?

    ReplyDelete
  3. ayah dipeluk dan digigit anakOctober 3, 2009 at 4:15 PM

    itu website yang dibangun sama forumlenteng.
    Jadi projek tentang sekitarlu.
    Karena kan forumlenteng punya jargon
    film yourself then society.
    Jadi apa yang paling deket dengan lu sendiri.
    Ya kaya blog lu ini.
    Suka cerita2 yang personal dan membantu kita untuk bertutur.
    Sesuai taglie-nya lah di akumassa itu:
    jurnal tentang aku & orang orang sekitar.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts