Kita Setara, Apapun Kata Mereka

Tokoh perempuan yang pertama kali menarik perhatian saya adalah Kartini. Saat itu TK saya tercinta mengadakan lomba-lomba dalam rangka Hari Kartini. Dengan baju Bodo warna pink, saya gagal merebut juara pertama lomba baju daerah. Teman saya dan kebaya putihnya yang menang. Saya asumsikan kebaya putihnya yang membuatnya menang. Karena warna kebaya Kartini pun putih, paling tidak di gambar yang tergantung di tembok kelas saat itu.

Kemudian saya mengenal Kartini sedikit lebih dalam. Kartini adalah pendiri sekolah untuk anak-anak perempuan di jaman penjajahan Belanda. Dengan usaha yang sangat keras dan dukungan dari suaminya, Kartini memberikan kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk mengenal dunia yang lain selain dapur. Suatu perjuangan yang tidak mudah, karena ia harus melawan anggapan bahwa perempuan tidak memiliki hak mendapatkan pendidikan. Menyedihkan. Bahkan mereka yang sebangsa dengannya, kala itu, menyangsikan perjuangan sang ibu.

Tahun-tahun setelah kekalahan saya dan baju bodo warna pink itu, perayaan-perayaan hari Kartini di dalam hidup saya tetap diisi dengan lomba baju daerah (sampai kini saya masih tidak mengerti apa hubungannya dan bagaimana tradisi itu dimulai). Namun, semakin saya dewasa, Kartini juga menjadi amat sangat identik dengan kata emansipasi.

Kemudian saya pun menyadari, perempuan memerlukan kerja yang dua kali (atau mungkin berkali-kali) lebih keras untuk mendapatkan haknya. Bagaimana tidak, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi memiliki arti: pembebasan dari perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan emansipasi wanita memiliki arti proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi wanita untuk maju dan berkembang. Maka emansipasi sesungguhnya memiliki makna yang dalam, dengan esensi persamaan hak dalam segala aspek yang memang sudah sepantasnya dimiliki oleh setiap manusia.

Kemudian muncul satu pertanyaan di kepala, mengapa Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak memberikan definisi dari emansipasi laki-laki? Mungkin dirasa tidak perlu karena emansipasi hanya terjadi pada mereka yang memperjuangkan dan melepaskan diri dari ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Pendeknya, laki-laki bukan kelompok yang dikalahkan.

Seks dan Gender
Bicara tentang keadilan dan kesetaraan gender, ada baiknya kita bicara terlebih dahulu tentang konsep gender itu sendiri. Ada dua konsep yang dapat digunakan untuk melihat perbedaan antara perempuan dan laki-laki: seks dan gender. Ada perbedaan sangat mendasar antara seks dan gender. Seks mengacu pada jenis kelamin dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Cara pandang kita terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki dari segi biologis adalah konsep seks, dan oleh karenanya tidak mungkin berubah. Perempuan memiliki rahim, indung telur, dan hormon estrogen, maka dari itu perempuan mendapat haid, mengandung, dan melahirkan. Ketiga hal itu menjadi kodrat perempuan.

Sedangkan gender adalah suatu pemahaman yang tertanam berkat adanya pembelajaran yang diterima secara terus menerus. Konsep gender diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Maka konsep gender dapat berubah seiring waktu.

Kesalahpahaman, akan konsep seks dan gender, yang sering terjadi dan akhirnya memojokkan perempuan adalah bahwa kodrat perempuan termasuk: tinggal di rumah, mengurus anak, melayani suami, dan segala kegiatan domestik lainnya. Patokan-patokan itu yang seringkali membuat perempuan menjadi the second sex. Peran publik menjadi milik laki-laki dan peran domestik dimiliki oleh perempuan. Ketidakadilan terjadi karena sesungguhnya peran publik dan peran domestik harus menjadi hak milik kedua jenis kelamin, karena keduanya sama baik dan kompetennya untuk kedua peran itu.

Saat perempuan dihalangi, atau secara sistematis dibawa untuk tidak masuk ke dalam peran publik dan hanya berkutat di sektor domestik saja, ketidakadilan sudah terjadi. Atau sebaliknya, ketika laki-laki dicemooh dan dipandang sebelah mata karena melaksanakan peran domestik, maka ketidakadilan juga terjadi.

Proses pembelajaran yang terus menerus terhadap nilai-nilai, terutama mengenai peran perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat, tak ayal juga mendorong munculnya hal-hal yang wajar dan tidak wajar dilakukan oleh tiap-tiap jenis kelamin. Bahkan proses pembelajaran ini kadang kala menjadi sarana untuk mempertahankan status quo kelompok yang memiliki kekuasaan lebih besar. Maka yang lemah akan terus lemah dan yang kuat akan terus kuat.

Kesetaraan Gender
Hal lain yang juga seringkali dipersepsi dengan salah dan sangat sempit oleh sebagian besar masyarakat adalah mengenai kesetaraan gender. Banyaknya suara yang dewasa ini meneriakkan kesetaraan gender menimbulkan reaksi yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Tuntutan akan adanya perlakuan yang setara, malah sering kali menjadi olok-olok dan dipandang sebelah mata. Bahkan oleh kaum yang sesungguhnya sedang diperjuangkan haknya.

Semalam, teman saya, seorang perempuan, berkata, “Gue tuh selalu bingung kalau ngomong soal kesetaraan gender. Gue nggak mau dibeda-bedain sama laki-laki, tapi gue juga pingin laki-laki tetep ngebantuin gue kalo gue harus ngangkat barang berat atau ganti ban mobil.” Suatu cara berpikir yang seringkali menjebak perempuan dan juga laki-laki. Kesetaraan gender, menurut hemat saya, tidak ada hubungannya dengan otot atau kekuatan fisik. Penelitian memang membuktikan bahwa laki-laki rata-rata memiliki fisik yang lebih kuat daripada perempuan. Namun sekali lagi, bukan itu permasalahannya.

Kesetaraan gender bukan tentang mampu mengangkat meja atau membetulkan genting yang bocor. Kesetaraan gender bukan tentang mampu menyetir mobil atau mengganti ban yang kempes. Bukan juga tentang siapa yang sepatutnya memasak atau pagi-pagi berangkat ke kantor. Kesetaraan gender adalah tentang keinginan dan keberanian untuk mencoba dan melakukan semua kegiatan itu tanpa ada sebersit pun pikiran bahwa apapun yang dikerjakan adalah “tugas” laki-laki atau perempuan. Kesetaraan gender adalah tentang pengakuan, dari diri sendiri dan dari masyarakat pada umumnya, bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara sebagai manusia.

Perjuangan untuk kesetaraan gender sesungguhnya adalah keinginan untuk diperlakukan sebagai manusia. Tentunya dengan segala hak yang patut ia peroleh sesuai dengan keberadaannya sebagai manusia. Perjuangan untuk memperoleh keadilan. Untuk diperlakukan sebagai manusia yang sama-sama memiliki akal budi dan hati nurani, lepas dari segala patokan-patokan kewajaran dan ketidakwajaran. Perjuangan untuk suatu kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara laki-laki dan perempuan sebagai dua pihak yang seharusnya saling melengkapi.

Kata kuncinya adalah kerjasama dan saling melengkapi. Maka sesungguhnya tidak ada yang lebih superior, tidak ada yang lebih baik. Perempuan dan laki-laki sepantasnya menjadi partner yang berada pada level yang sama dalam menjalankan peran apapun, domestik maupun publik. Keadilan terjadi apabila dalam berbagai sektor, baik publik maupun domestik, laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama untuk berperan, berprestasi, dan mengaktualisasikan diri.

Saya bersyukur karena tidak dilahirkan pada jaman atau daerah, dimana perempuan di usia belasan tahun, bahkan seringkali sebelum mendapatkan haidnya yang pertama, diwajibkan untuk menikah. Tak jarang dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Laki-laki yang menjadi pilihan orang tuanya. Hak untuk memilih tidak dimiliki sang gadis. Ia lahir sebagai anak orang tuanya dan kemudian, di saat ia baru saja menginjak masa remaja, ia sudah harus menjadi istri suaminya. Kapan ia menjadi dirinya sendiri?

Tidak ada yang salah dengan pernikahan. Tidak ada juga maksud untuk menyinggung mereka yang memutuskan untuk menikah di usia muda. Situasi yang kita hadapi sekarang sudah berbeda. Terpenting, kini perempuan memiliki hak untuk memilih. Hak yang sama yang dimiliki oleh laki-laki sepanjang sejarah dapat mengingatnya. Hak yang memang sepatutnya dinikmati oleh setiap manusia. Maka pernikahan, pendidikan, anak, atau karir adalah pilihan. Kapan kita mau menikah, dengan siapa kita mau menikah, sampai jenjang apa kita ingin sekolah, bekerja di sektor apa, punya anak berapa, semuanya adalah pilihan. Dan betapa hak untuk memilih adalah sebuah kemewahan. Karena di pilihan yang kita ambil, ada pernyataan sikap dan pengakuan diri.

Adalah adil dan setara apabila semua orang melihat dan dilihat dengan kacamata yang sama. Maka semua orang akan menjadi manusia, lebih dari sekedar laki-laki atau perempuan. Maka semua orang juga akan lahir dengan hak-hak yang sama dan selamanya hidup dengan hak-hak itu. Termasuk dan terutama hak untuk memilih. Jika demikian, maka saya dapat menanggapi teman saya yang bingung dengan kesetaraan gender tadi. Kesetaraan gender adalah tentang berpikir dan bersikap adil, terhadap perempuan dan laki-laki. Kalau tentang bantuan dalam mengganti ban mobil, sebagai sesama manusia, sudah selayaknya kita saling tolong kok!

*Tulisan ini dimuat di Majalah Media Matias edisi Paskah tahun 2005.

Comments

  1. hi,
    thanks for dropping by.
    what a deep thought! i always have the same thought, yet i can never find the right words to express it.

    keep on writing!

    ReplyDelete
  2. Thanks, Deszya!
    Keep on writing to you too... :)

    ReplyDelete
  3. bagus tulisannya andini..:)
    gak panggil mba ya..abis kita seumur :)

    saya lahir mei malah...

    saya besok baca2 lagi disini,..ok..siapa tau jadi bisa tukeran link..

    tapi sejauh ini yang saya baca..OK!

    ReplyDelete
  4. Hai Dina yang lahir di bulan Mei...
    Terima kasih sudah mampir.. Jangan bosan-bosan untuk mampir lagi yah.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts